“Kamu.., yakin aku bisa?” Seorang pemuda bertanya dengan cemas kepada perempuan di hadapannya. “Kenapa enggak? Gagal bukan berarti perjalanan kita berhenti sampai situ aja. Emang ada orang yang berhasil tanpa pernah gagal?” Dengan nada lembut wanita itu berucap.
“Terkadang, hidup selalu butuh yang namanya kegagalan. Di dunia ini, bukankah keberhasilan terlahir dari kegagalan? Jadi, cobalah kembali persiapkan dirimu untuk kembali menjadi taruna. Bukankah seorang taruna, adalah seorang pejuang? Jika saat gagal saja kamu menyerah, apa pantas kamu disebut sebagai seorang taruna? Ayo bangkit! Aku ingin lihat seorang calon angkatan darat yang berjuang mati-matian demi memperjuangkan harapan orang tuanya.”
Bersamaan dengan hilangnya suara perempuan itu, pria yang tersungkur di tengah luasnya lapangan pun menarik napas panjang. Sepasang mata yang sedari tadi tertutup ia buka perlahan.
Kesadarannya telah pulih sepenuhnya “Terjadi lagi,” batin pria itu.
Amerta Wijaksono, atau yang akrab disapa Wicak, seorang laki-laki yang saat ini sedang berlari untuk menggapai kembali cita-citanya baru saja bangun dari pingsan yang entah sudah ke berapa kali. Semenjak kegagalannya menjadi taruna di kala itu, tubuhnya sering kali dipaksa untuk melakukan latihan ekstrem. Rasa frustrasi, kecewa, dan stres, semua ia lampiaskan pada latihan berat yang diluar batas kemampuan.
Ia tak mau kegagalan itu terulang kembali. Karena itulah, hal seperti pingsan yang berulang ini sudah menjadi hal yang biasa bagi Wicak. Ia hanya tak mau membuat kecewa kedua orang tuanya.
Wicak pun berhenti, kemudian menepi ke sisi lapangan. Diambilnya botol berisi air mineral yang selalu menemani setiap ia berlatih. Bisa dibilang, benda itu adalah saksi bisu perjuangan Wicak. Ia pun kembali melangkahkan kakinya. Tetes demi tetes keringat yang jatuh, menjadi bukti betapa kerasnya ia berlatih.
“Kamu habis dari mana, Nak? Jam segini baru pulang, baiknya kamu belajar, agar ketika melamar pekerjaan, kamu bisa diterima di perusahaan bagus. Tidak usah menjadi abdi negara pun tak apa, masih ada pekerjaan lainnya,” ucap ayahnya yang sedang duduk di kursi teras rumah.
“Bukan dari mana-mana, Ayah. Wicak permisi dulu,” Wicak pun berlalu dengan sisa tenaganya.
Selalu seperti itu, Wicak tahu kekecewaan ayahnya sudah melebihi apa pun. Ia berharap anaknya menjadi abdi negara, sekarang malah menjadi pengangguran yang hanya bisa membebani. Tapi karena peduli dengan itu, Wicak tetap nekat untuk melanjutkan mimpi serta harapan orang tuanya.
Lima bulan berlalu sejak saat itu. Kini, Wicak telah menjadi sosok baru yang seakan-akan terlahir kembali. Wajahnya berseri, langkah larinya pun lebih berirama, dan ia lebih dari siap untuk ikut kembali menjadi peserta Akademi Militer Angkatan Darat.
Notifikasi ponsel Wicak berbunyi, ternyata itu pesan dari kekasihnya. Orang yang lima bulan lalu berhasil menyulut kembali bara semangat dalam dadanya.
“Hey, Wicak! Semangat ya untuk tes hari ini. Aku yakin kamu pasti bisa. Kamu gak akan kalah sama mereka yang ada di sana. Aku percaya kamu jauh lebih hebat dari mereka, Wicak. Aku akan selalu tunggu kabar baik dari kamu di sini. I love you.”
Singkat, tetapi begitu berarti. Lengkap sudah persiapannya. Dari mulai fisik, mental, tekad, dan restu orang tua serta kekasihnya berhasil Wicak pikul di kedua bahunya.
“Hey, Bro! Senyum-senyum sendiri, lihat apa sih?” Ucap seorang lelaki yang terlihat tidak jauh tinggi dari dirinya.
Wicak tersenyum, “Ah, enggak. Ini Cuma pesan singkat saja.”
“Ooh, dari pacar ya?” Pemuda itu kembali bertanya, kali ini dengan nada menggoda.
“Iya, tahu aja,” jawab Wicak malu-malu.
“Oh iya, aku Andre. Ini pertama kalinya aku ikut tes. Salam kenal, ya!”
“Namaku Wicak. Ini kali keduaku ikut tes. Sebelumnya aku gagal karena kurangnya persiapan,” Wicak memperkenalkan dirinya dengan ramah.
“Wow, kalau begitu, good luck, ya! Semoga untuk tes kali ini kamu lolos. Semoga kita bisa sama-sama lolos.”
Kali ini Andre mengulurkan tangannya, mengajak Wicak untuk melakukan salaman khas laki-laki. Salaman pertemanan yang tentu saja disambut dengan ramah oleh tangan Wicak.
Karena nomor peserta Wicak dengan Andre cukup berjarak, mereka tak lagi bisa saling berbincang. Wicak pun melewati lintasan-lintasan sulit sendirian. Lalu, selesailah ia di tahap ketiga.
“Akhirnya, tahap ketiga lulus. Nilai sempurna. Sisa dua tahapan lagi, lari, lalu wawancara.
Setelah itu lolos,” ucap Wicak dalam hati dengan penuh bangga.
Tahun lalu, Wicak kalah telak oleh peserta lain. Ia gagal pada tahap kedua, yaitu berenang.
Sungguh, saat itu ia tenggelam di tengah kolam. Napasnya habis, sontak para pengawas segera melemparkan ban pelampung dan menyelamatkan Wicak.
“Perhatian semuanya! Kita memasuki tes tahap keempat. Tahap ini mudah, kalian hanya harus berlari sejauh dua kilometer dengan waktu maksimal 20 menit. Lebih dari itu, kalian gugur.
Jika kalian berhasil sampai garis akhir dalam 20 menit, nilai kalian 100. Semuanya, apakah kalian mengerti?!”
“SIAP MENGERTI!”
Semua peserta kini sudah berada di lintasan. Dari ribuan peserta, kini hanya tersisa 400 peserta.
Tak disangka, Andre yang beberapa waktu lalu berkenalan dengan Wicak, berada di sampingnya. Ternyata ia juga berhasil lulus sampai sini.
“Hey, Wicak! Lulus juga kamu, tak kusangka kau berhasil sampai sini,” ucap Andre dengan senyuman khasnya.
Wicak sumringah, “iya, aku juga gak nyangka kamu bisa lulus dan berhasil sampai tahap ini.”
“Tapi, jangan senang dulu, Wicak. Kita ini belum 100% lulus. Jadi kita harus berjuang sedikit lagi.”
“Iya benar, Dre. Ayo kita berjuang, Ayo lolos sama-sama!”
“Betul, Wicak. Ayo kita lolos sama-sama!”
Pistol aba-aba ditembakkan ke langit, para peserta mulai berlari, melewati rintangan di setiap lintasan. Tentu ini bukan sembarang lintasan, akan tetapi ini adalah hutan, dan jalan menanjak adalah rintangan paling berat yang harus mereka hadapi.
Lima belas menit berlalu, kini Wicak dan Andre lari bersebelahan. Jarak yang sudah ditempuh sekitar 150 meter. Namun, tak disangka, Andre terjatuh karena ia tersandung akar pohon yang menjalar. Kakinya terkilir, Ia berteriak kesakitan. Wicak yang melihat hal itu pun dipenuhi keraguan, menolong atau meninggalkan. Jika Wicak menolong Andre, ia pasti akan gagal pada tahap kali ini. Namun, bagaimana pun juga, Wicak telah berjanji untuk lulus bersama Andre.
Sekilas, Wicak teringat 19 tahun yang lalu pada saat umurnya 4 tahun, ia bertanya kepada ayahnya, “Ayah! Kenapa nama ku Amerta Wijaksono?” dengan lugunya ia bertanya.
Ayahnya tersenyum, lalu berkata, “Amerta Wijakasono itu bukan sekedar nama, Nak. Tetapi nama itu mempunyai makna. Amerta yang berarti Abadi dan Wijakasono yang artinya peduli sesama, dermawan, tidak mementingkan diri sendiri, patuh terhadap kewajiban, ekspresi kreatif. Lalu arti Wijakasono itu akan selalu Amerta pada diri kamu.
Kini Wicak tidak peduli tentang lulus atau tidak. Mungkin, jika tidak lulus, sepertinya, lebih baik ia bekerja di sebuah perusahaan atau di manapun itu.
Wicak melangkah tepat menuju Andre yang kini tak kuasa menahan rasa sakitnya. “Wicak!
Apa yang kau lakukan, bukankah kau bilang kali ini harus berhasil? Tinggalkan aku, aku bisa mencobanya tahun depan,” Andre memperingati Wicak.
“Dan, bukankah aku bilang, kita harus lulus bersama?”
“Tapi jika begini, kita berdua, tak akan bisa lolos,” ucap Andre sekali lagi.
“Bukankah lebih baik begitu?” Wicak tetap bersikukuh untuk tidak peduli dengan peringatan dari Andre dan tetap membopongnya ke garis akhir.
Semua peserta kini telah sampai di garis akhir. Mereka menyaksikan perdebatan Wicak dan Andre, lalu mulai memberi teriakan penyemangat untuk mereka berdua.
“Lagi pula, kita ini taruna. Apa gunanya sebutan itu jika kita diam saja saat melihat kawan kita terluka, jatuh di medan perang?” Ucap Wicak sambil berusaha menguatkan diri. Andre yang mendengarnya pun terdiam.
Waktu tersisa satu menit, tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di garis finish. Sorak sorai makin terdengar dari para peserta lainnya. Wicak pun mempercepat langkahnya pada detik-detik terakhir. Wicak tahu betul, mereka berdua tidak akan bisa sampai di sana tepat waktu. Dengan sisa tenaga yang hampir habis, Wicak mengambil ancang-ancang untuk membentuk kuda-kuda, segera ia lemparkan Andre ke garis finish agar temannya itu bisa lolos dalam tahap ini.
Tetttttt (Bunyi sirine).
Waktu habis, semua peserta terdiam, Andre berada tepat di garis. Sedangkan Wicak? Ia berada di lima langkah lagi dari garis akhir. Namun, ia lebih memilih mendahulukan kawannya.
Waktu pengumuman pun tiba, Wicak rasa, ia tak perlu melihat papan pengumuman. Ia tahu betul hasilnya akan seperti apa. Wicak pun bersiap pulang.
“Hei, Wicak! Kau Wicak bukan?,” ucap pengawas memastikan.
“Iya, itu aku, ada apa?” Wicak kembali bertanya pada pengawas itu.
“Kau sudah lihat papan pengumuman?”.
“Untuk apa? Aku sudah tahu hasilnya bagaimana,” Wicak pasrah.
“Sudahlah. Ikut saja aku, kita lihat hasilnya,” pengawas itu menarik lengan Wicak.
Kini Wicak berada di depan papan pengumuman peserta yang lolos, ia melihat nama-nama yang lolos di papan itu. Saat ia mulai ke bawah, namanya terpampang jelas, Wicak mengerutkan dahinya, lalu bertanya pada pengawas di sampingnya, “izin bertanya, Pak.”
“Kenapa?” Tanya Sang Pengawas.
“Siap! Izin bertanya, kenapa nama saya bisa ada di papan peserta yang lolos? Padahal saya melewati waktu maksimal saat itu,” ucap Wicak dengan dada yang dibusungkan.
“Ya, kamu peserta spesial itu.”
Wicak mengerutkan dahinya, “spesial?”
Segera pengawas itu mengarahkan Wicak ke sebuah ruangan.
Kini Wicak telah berada di depan sebuah pintu, Wicak mengetuk pintu tersebut. “Masuk” terdengar suara yang familier, sepertinya Wicak mengenalnya.
Ketika pintu di hadapannya terbuka, ia terkejut dengan pria yang saat ini tepat berada di depan matanya, pria dengan bintang tiga di pundaknya, Letnan Jendral.
“ANDRE!,” Wicak terkejut sampai ia berteriak.
“Hey, seperti itukah sikap terhadap Letnan Jendral?,” Andre menggoda Wicak.
“Siap! Maaf! Tapi apa maksudnya ini, Andre, ah maksud saya, Letnan?,” tanya Wicak, mendadak berbicara formal.
“Bukan apa-apa. Tapi, inilah saya. Seorang Letnan Jendral yang menyamar menjadi peserta untuk melihat apakah ada seorang pejuang yang dapat diharapkan. Saya pikir, penyamaran ini akan sia-sia. Tapi siapa sangka, saya dapat mendengar sebuah ucapan yang sangat keren sekali,” ucap Letnan Andre memberikan apresiasi kepada Wicak
“Kita ini taruna, apa gunanya jika kita diam saja saat melihat teman kita terluka, jatuh di medan perang. Itulah yang kamu katakan. Sungguh, saya sangat terkejut mendengarnya.”
Sontak Wicak memeluk Letnan Andre, mengucap banyak-banyak terima kasih kepadanya.
Siapa sangka, yang Wicak pikir semuanya berakhir, tapi malah sebaliknya. Kadang, berjuang dan berkorban itu perlu untuk mendapatkan sesuatu. Kini Wicak memulai karirnya sebagai Prajurit Dua (PRADA). Wicak yang tadinya berpikir ia sudah gagal, tapi ternyata tidak. Apa yang dikatakan kekasihnya memang benar, kesuksesan bisa diraih dengan cara terus berusaha walau jatuh berkali-kali.
Kini, kita tahu bahwa gagal bukankah akhir dari segalanya. Kita memang perlu gagal untuk menjadi sukses itu sendiri, kita perlu sakit untuk merasakan prosesnya. Kegagalan merupakan kunci dari sebuah kesuksesan.
Penulis : Albert Dwi Purwanto – SMK Mitra Industri MM2100
Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.
Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.
Keren banget cerita nya sangat menginspirasi untuk orang lain
Kerennn👍
Cerita yang menarik, inspiratif. Lebih ditambah lagi warna cerita nya. Semangat.
Keren banget anak SMK!!