Menjadi “Orang”

Oleh : Asila Ramadani

Milenianews.com – Selama pandemi, ayahku yang bekerja menjadi bagian SDM GRAB terjebak di padatnya Kota Jakarta. Jabatannya adalah driver, dengan modal motor Vario bekas yang beliau kredit selama 12 bulan. Aku tidak tau gaji pastinya, yang aku tau setiap dua minggu sekali aku mengambil uang transferan dari Ayah. Nominalnya bervariasi, kadang 200.000, kadang bisa sampai 500.000. Kalau di rata-rata, paling tidak kami dijatah 800.000 per bulan. Singkatnya, keluargaku ini miskin. Aku tinggal di sebuah dhusun terpencil bernama Karangpoh, yang apabila ditelusuri detailnya dhusun ini berada di Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Jika ditelusur lebih detail lagi, kabupatenku ini terkenal dengan kasus bunuh dirinya yang tinggi. Mayoritas alasan mengakhiri hidup di sini adalah himpitan ekonomi. Sederhananya, keluargaku adalah keluarga miskin yang tinggal di daerah miskin.

Bersama ibu dan dua orang saudara perempuanku, sejak dilahirkan aku tinggal di rumah sederhana peninggalan kakek nenekku. Aku anak kedua dari  tiga bersaudara. Kakakku kini berkuliah di UNDIP, Semarang dengan beasiswa Bidikmisi juga beasiswa YBM BRI. Dari hubunganku dengan kakakku inilah, ceritaku bermula.

Di dunia ini, kecerdasan dianggap hal yang sangat penting. Para orangtua berlomba-lomba mendidik anak mereka agar diakui sebagai anak yang cerdas. Hukum rimba ini juga berlaku di daerahku. Meskipun daerah miskin, para orangtua tetap berharap anaknya dapat ranking tinggi di sekolah. Begitupun ibuku. Mengetahui suaminya yang lulusan SD hanya menjadi sopir GRAB, ibukku mendorong anak-anaknya untuk menjadi pintar dan punya pendidikan tinggi meski harus hidup kekurangan pada prosesnya. Biar kelak menjadi ‘orang’, katanya. Didikan ibu yang menurutku keras kulihat dari bagaimana kakakku beliau didik. 

Kakakku, sejak di bangku sekolah dasar hanya berteman dengan buku. Kini usahanya telah membuahkan hasil manis. Walaupun hanya memiliki sedikit teman, tapi kakakku berhasil menjadi orang yang populer karena kecerdasannya di bangku SMA. Kakakku mencetak rekor prestasi baru di SMA di mana dalam satu tahun saja, dia bisa menyabet 6 penghargaan. Uang dari hasil lombanya tidaklah sedikit. Aku masih ingat senyum haru ibuku ketika kakakku pulang membawa piala. Hingga kini, beliau masih sering meceritakan kakakku yang berhasil membuatnya bangga itu. Satu yang disayangkan, aku tidak bisa secerdas dia. Jangankan menyaingi kecerdasannya, prestasiku di sekolahpun tidak ada bagusnya. Nilai dan ranking sekolah adalah tolok ukur kecerdasan, jika nilaiku rendah maka sama saja aku bodoh. Hal ini tengah kurenungkan saat mengerjakan soal matematika kelas 3 SMP. Di saat aku seharusnya menuliskan angka, aku justru menggambar karena jenuh –jenuh karena lagi-lagi tidak bisa menjawab soal.

Saat di rumah, ibuku akan memulai ceramahnya lagi. Aku mendengarnya dengan iklas karena sadar diri aku memang bodoh.

“Orangtuamu ini miskin. Kamu harusnya berusaha jadi orang pinter, biar bisa kuliah pake beasiswa seperti mbakmu. Biar besok bisa jadi ‘orang’, biar pas tua ga hidup miskin kayak ibu”, kata ibuku dengan bahasa Jawa tiap kali ‘kumat’.

Aku hanya diam. Bukan karena ndableg, bukan karena menganggap enteng kondisiku. Aku sadar, aku hanya orang miskin, tidak memiliki relasi bagus. Kalau gagal kuliah, hanya bisa menghabiskan hidup dengan kerja pabrik atau jadi penunggu toko. Dengan gaji stagnan dan minim peningkatan kesejahteraan hidup. Pendidikan tinggi dengan beasiswa adalah satu-satunya harapan untuk terlepas dari jeratan kemiskinan. Harapan lainnya hanya bisa berdoa kalau jodohku kelak adalah orang kaya.

Kalau kakakku bisa, aku pasti juga bisa jika berusaha. Aku sangat yakin karena kita berbagi sumber IQ yang sama. Karena tekad itu, aku memutuskan untuk mengikuti jejak kakakku. Saat akhirnya aku berhasil masuk ke SMA dan jurusan yang sama dengan punya kakakku dulu, aku memilih untuk masuk ke ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Aku memutuskan untuk mulai membuat penelitian dan berharap bisa mengharumkan nama SMA. Identitasku sebagai adik dari seorang mantan siswa teladan membuat pembimbing KIR memberi perhatian lebih padaku. Ekspektasi beliau yang tinggi membuatku tertekan sekaligus senang.

Suatu hari, kakakku yang pulang dari perantauan kulihat tengah membersihkan berkas-berkas di meja belajar. Dia menemukan kertas oret-oretan untuk ujian hitungan yang kubawa pulang dan kukumpulkan karena malas membuang. Ekspresinya terlihat serius. Aku sedikit takut jika dia marah karena mengetahui aku tidak serius dalam mengerjakan ujian. Kertas oret-oretan yang aku maksud itu, hanya terdominasi oleh gambaran dan sedikit rumus hitungan.

“Dek, sini! Mbak mau nanya”, pintanya. Dengan rasa takut aku menghampirinya. Dia pasti kecewa dengan ketidakseriusanku dalam ujian sekolah.

“Kamu benar mau gabung KIR? Memang sejak kapan kamu suka penelitian?”, tanyanya. Dalam hati, perasaanku bertikai. Antara lega karena dia tidak mengungkit soal kertas oret-oretan itu, juga kecewa karena mungkin kakakku meremehkan kemampuanku. Aku tau, memulai sebuah penelitian itu tidak mudah. Butuh dedikasi, komitmen, kemampuan, juga kemauan yang tinggi. Namun mengingat kakakku berhasil menjadi ‘orang’ berkat kiprahnya di dunia penelitian, aku ingin mengikuti jejaknya tersebut.

“Iya, mbak. Sekarang mungkin baru mulai mencari topik penelitian, tapi aku bakal belajar giat biar bisa buat penelitian dan ikut lomba nantinya”

“Kamu gamau pertimbangin ikut ekskul seni rupa? Gambaranmu bagus ini”, katanya. Aku menjawabnya dengan candaan renyah dan percakapan pun berakhir ringan. Aku tidak ingin membahas topik seni rupa terlalu lama. Menggambar sejatinya memanglah hobiku yang sebenarnya. Namun hobi itu tidak akan menjaminku untuk menjadi ‘orang’.

Aku pernah membahas ini dengan ibuku dan berakhir dengan diceramahi lagi. Cuma menggambar, mana bisa menghasilkan banyak uang. Bahkan anak TK pun bisa menggambar. Sekarang teknologi canggih sudah berkembang, ingin gambar bagus tinggal mengunduh saja. Itu memang benar. Ibuku tak berhenti menceramahiku saja, beliau juga menunjukkan bukti. Seperti tetangga sebrang desa yang kuliah jurusan seni, semasa kuliah hanya menghabiskan uang untuk praktek. Hasilnya, hanya menjadi guru honorer SD, gajinya tidak sampai satu juta sebulan. Paling beruntung, bapak paruh baya temannya waktu sekolah, lulusan seni rupa menjadi guru PNS dengan perjuangan yang luar biasa. Brosur kampus yang dibawa kakakku dulu pun, jurusan seni rupa sering sepi peminat. Anak miskin sepertiku, mana bisa mencoba-coba. Pada akhirnya kesimpulan dari musyawarah ini adalah, seni rupa bukanlah bidang yang bisa kumasuki meskipun aku menyukainya. 

Aku melanjutkan hidupku dengan masuk ke dunia penelitian. Alasanku masuk ke bidang ini selain karena testimoni dari kakakku, aku pun berpikir dunia riset memiliki prospek yang menjanjikan. Ibuku merasa bangga saat aku menceritakan keputusanku ini. Uang hasil lomba penelitian itu banyak. Sertifikatnya juga berbobot untuk masuk ke perguruan tinggi jalur SNMPTN. Kalau aku berhasil menekuni hal ini, aku pasti akan sukses dan menjadi ‘orang’ yang didefinisikan oleh ibuku.

Namun, ternyata semua tidak berjalan lancar. Riset bukanlah hal yang mudah, apalagi aku baru memulai. Aku sungguh tidak paham. Bahkan guru pembimbingku seringkali kupergoki menghela napas, mungkin karena kecewa. Di saat aku merasa down dan bodoh, kakakku lagi-lagi pulang ke rumah. Kali ini sepertinya akan lama karena libur semester sudah menjelang.

Aku begitu kaget melihat kakakku tiba-tiba menjadi pembicara materi di KIR SMA. Kalau dipikir lagi, dia benar-benar hebat. Dia sangat pandai berbicara di depan umum, juga memiliki wawasan yang luas. Menjadi adiknya saat ini membuatku bangga sekaligus minder. Ujung-ujungnya aku malah ingin menangis. Orang bodoh dan tidak pandai bergaul sepertiku, berani-beraninya ingin mengikuti jejaknya.

Di akhir sesi presentasi, kakakku terdiam sejenak. Kami, anak-anak KIR, menyimaknya. Kakakku menatap dalam satu persatu dari kami.

“Saya senang sekali kalian ada di sini. Saya harap kalian di sini karena benar-benar niat dan tertarik dengan riset. Tidak ada hidup yang lebih bebas selain menjalani passion diri sendiri, tanpa pengaruh orang lain”, katanya pada closing statement.

Setelahnya aku terdiam. Entah mengapa aku merasa kakakku mengatakan hal itu untuk tujuan tertentu, untuk aku. Setelah memikirkan cukup lama hingga hanya aku seorang yang tersisa di ruangan, aku memutuskan untuk setelah ini mengeluarkan uneg-unegku pada kakak. Selama ini memang aku jarang mengomunikasikan pendapatku padanya. Hanya pada ibu, karena aku pikir ibu yang lebih tau segalanya. 

Sampai di parkiran sekolah, ternyata kakakku masih di sana untuk menunggu. Aku tarik napas dalam. Melihatku dengan tingkah tak biasa, ia sepertinya peka lalu menungguku berbicara.

“Mbak, aku pengen nyoba ikut lomba nggambar!”

Kakakku tersenyum, seperti sudah menduga hal ini akan terjadi. Setelah hari itu, kakakku terus mendukungku dengan memberiku informasi lomba menggambar, memberiku pengarahan, juga menyembunyikan kegiatanku ini dari ibu. Aku memutuskan untuk keluar dari KIR dan mulai fokus mencari inspirasi. Kakakku mendorongku untuk mulai mengikuti lomba tingkat kabupaten yakni RAMEST. Butuh berhari-hari aku mencari inspirasi. Dari bimbingan kakakku, aku menjadi tau bahwa menggambarpun harus melakukan riset. Riset mengenai informasi terkait tema, karya-karya terdahulu, juga komposisi, unsur, inovasi dan kreasi seperti apa yang harus ada dalam sebuah gambar. Ternyata, menggambar bukan sekedar menorehkan warna pada kertas. Menggambarpun membutuhkan sebuah pemikiran.

Hingga pada hari pengumuman, di lomba pertamaku ini aku mendapatkan juara 2! Aku menunjukkan piala dan uang hasil lombaku pada ibu. Kakakku membantu mengedukasi ibuku bahwa menggambar pun apabila ditekuni juga dapat menghasilkan dan berprospek bagus. Ibuku akhirnya merestui hobi menggambarku. Aku menekuni dunia seni hingga saat ini. Setelah lomba RAMEST itu, aku mengikuti lomba lain seperti EKASATYART dan berhasil mendapat juara 3. Dalam waktu dekat ini aku juga akan mengikuti pameran seni.

Dari pengalamanku ini dapat kusimpulkan bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya dilihat melalui nilai sekolah dan ranking. Kecerdasan juga meliputi kemampuan unggul yang dimiliki individu. Burung akan kalah lomba berenang dengan ikan, tapi ikan juga akan kalah lomba terbang dari burung. Aku harap masyarakat akan teredukasi mengenai pernyataan ini, bahwa setiap anak membawa kemampuan unggul yang berbeda-beda.

Respon (20)

  1. Memang orangtua jaman dulu mayoritas membanggakan nilai pelajaran saja, padahal bakat anak berbeda2. Sekarang banyak diangkat kisah orang sukses yang justru dulu bukan tokoh yg prestasinya menonjol pas di sekolah. Orang yg menekuni bakat dan minatnya juga bisa sukses. Orang yg nilainya bagus di Indonesia sudah banyak, tetapi yg benar2 berkontribusi untuk kemajuan Negara tidaklah semuanya.

  2. Suka heran sama yg mengunggulkan nilai pelajaran yg tinggi. Padahal pas di lapangan nanti nilai tinggi tu buat seleksi paling ya jadi pekerja. Sekarang bahkan banyak tokoh sukses yg dulunya ga menonjol pas di sekolah. Di Indonesia nilai bagus itu udah banyak. Nilai bukan tolok ukur kesuksesan seseorang si emang.

  3. Terimakasih atas tulisannya saya jadi tau bahwa saya harus mengejar passion saya lebih dari yg sebelumnya 🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *