Milenianews.com, Mata Akademisi – Fenomena penyebaran hoaks merupakan salah satu isu komunikasi paling dominan di era digital. Keberadaan platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan X (Twitter) telah mengubah cara manusia menerima, mengolah, dan merespons informasi. Informasi kini bergerak secara cepat, masif, dan lintas batas, bahkan sering kali mendahului proses verifikasi. Dalam konteks ini, teori komunikasi klasik tetap relevan untuk menjelaskan dinamika komunikasi kontemporer, salah satunya adalah Teori S–O–R (Stimulus–Organism–Response) yang dipopulerkan oleh Charles E. Osgood. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku komunikasi adalah hasil interaksi antara stimulus (S), organisme penerima (O), dan respons (R) yang ditimbulkan (Osgood, Suci, & Tannenbaum, 1957). Melalui pendekatan ini, penyebaran hoaks dapat dipahami sebagai proses sistematis yang dipengaruhi oleh karakter pesan, kondisi psikologis audiens, dan kecenderungan perilaku yang muncul setelah menerima informasi tertentu.
Dalam kerangka teori Osgood, stimulus merupakan segala bentuk pesan yang diterima oleh audiens. Pada era digital, stimulus tidak hanya berupa teks, tetapi juga visual, audio, video pendek, hingga narasi yang dikemas secara persuasif. Penelitian Kriyantono (2019) menunjukkan bahwa bentuk stimulus yang jelas, emosional, dan relevan dapat meningkatkan tingkat penerimaan pesan oleh audiens, bahkan meskipun pesan tersebut tidak valid secara faktual. Hal ini dapat diamati pada konten hoaks yang sering menggunakan judul sensasional, visual dramatis, atau diksi yang memancing kemarahan dan ketakutan. Karakter pesan seperti ini secara psikologis dirancang untuk menarik perhatian dan memicu pemrosesan cepat, sehingga audiens cenderung mengabaikan proses verifikasi informasi. Dalam perspektif S–O–R, kualitas stimulus memegang peran kunci dalam menentukan bagaimana sebuah pesan akan diterima dan dimaknai.
Faktor kedua dalam teori ini adalah organism, yaitu kondisi internal penerima pesan yang memengaruhi cara mereka menafsirkan informasi. Dalam konteks penyebaran hoaks, organism mencakup persepsi, pengetahuan awal, emosi, motivasi, serta sikap individu terhadap isu tertentu. Osgood menekankan bahwa makna tidak bersifat objektif, melainkan hasil konstruksi psikologis yang dipengaruhi pengalaman dan predisposisi individu. Konsep ini diperjelas melalui teknik semantic differential yang digunakan Osgood untuk mengukur makna berdasarkan dimensi evaluatif, potensi, dan aktivitas (Osgood et al., 1957). Dengan demikian, audiens yang memiliki sikap negatif terhadap suatu kelompok atau institusi cenderung lebih mudah mempercayai hoaks yang memperkuat pandangan tersebut. Fenomena ini selaras dengan teori confirmation bias, yakni kecenderungan seseorang untuk menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya.
Peran emosi sebagai bagian dari organism juga sangat signifikan. Studi-studi komunikasi modern menunjukkan bahwa pesan yang memicu emosi kuat khususnya kemarahan dan ketakutan lebih cepat menyebar di media sosial dibanding pesan netral. Hal ini dapat dijelaskan melalui model S–O–R, di mana emosi berperan memperkuat keterlibatan organism sehingga memperbesar kecenderungan individu untuk memberikan respons. Dalam penelitian Kriyantono (2019), ditemukan bahwa interpretasi pesan sangat dipengaruhi oleh kondisi emosional penerima; semakin besar keterlibatan emosional, semakin kuat pula dampak pesan terhadap respons mereka. Oleh karena itu, hoaks yang menggunakan narasi krisis, ancaman, atau konspirasi cenderung menghasilkan respons perilaku yang signifikan.
Tahap terakhir dalam teori Osgood adalah response, yaitu reaksi yang muncul setelah organism memproses stimulus. Respons ini dapat bersifat kognitif, afektif, maupun perilaku. Respons kognitif terkait dengan bagaimana audiens memahami dan mempercayai isi pesan. Ketika hoaks diterima sebagai kebenaran, terjadi perubahan atau penguatan pola pikir tertentu. Respons afektif muncul berupa emosi seperti marah, takut, atau simpati yang sering kali menjadi bahan bakar bagi penyebaran lebih lanjut. Sementara itu, respons perilaku merupakan bentuk reaksi yang paling nyata, seperti membagikan informasi tanpa memverifikasi, meninggalkan komentar provokatif, atau bahkan melakukan tindakan nyata di dunia offline.
Respons perilaku ini menjadi perhatian utama dalam kajian penyebaran hoaks. Dalam banyak kasus, hoaks tidak sekadar menciptakan kebingungan informasi, tetapi juga mempengaruhi stabilitas sosial dan politik. Misalnya, hoaks mengenai isu kesehatan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap vaksin atau layanan medis; hoaks politik dapat memicu polarisasi ekstrem antara kelompok masyarakat; sedangkan hoaks bencana dapat menyebabkan kepanikan massal. Model S–O–R menjelaskan bahwa ketika stimulus emosional diproses oleh organism yang rentan, respons perilaku dapat muncul dengan cepat tanpa proses analitis yang memadai. Oleh karena itu, memahami dinamika respons dalam teori Osgood sangat penting untuk merancang strategi komunikasi yang mampu menekan penyebaran hoaks (Hochreiter et al, 2022).
Dalam konteks mitigasi hoaks, teori S–O–R dapat digunakan sebagai dasar untuk merancang intervensi komunikasi yang lebih efektif. Pada tahap stimulus, pemerintah dan lembaga informasi perlu menghasilkan pesan yang jelas, kredibel, dan mudah diakses, sehingga dapat bersaing dengan stimulus hoaks yang lebih provokatif. Pada tahap organism, peningkatan literasi digital menjadi strategi kunci. Literasi digital tidak hanya menyangkut kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran kritis, kemampuan memverifikasi, serta kemampuan mengendalikan respons emosional. Di tahap respons, perlu diciptakan mekanisme yang mendorong perilaku positif, seperti budaya cek fakta, platform verifikasi, dan kampanye publik untuk mencegah penyebaran informasi salah. Dengan kata lain, intervensi komunikasi dapat diarahkan untuk mereduksi respons perilaku negatif dan memperkuat respons kognitif yang berbasis fakta (Kamilah et al 2025).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyebaran hoaks di media sosial merupakan fenomena yang dapat dipahami secara komprehensif melalui teori Stimulus–Organism–Response dari Charles Osgood. Karakter pesan hoaks sebagai stimulus, kondisi psikologis dan predisposisi individu sebagai organism, serta reaksi yang timbul sebagai respons, membentuk hubungan sistematis yang menjelaskan kenapa hoaks begitu mudah menyebar pada era informasi digital. Dengan memanfaatkan teori ini, pendekatan komunikasi yang lebih strategis dan berbasis psikologi dapat dikembangkan untuk menekan dampak negatif hoaks dalam masyarakat modern.
Penulis: Fatimah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













