Relevansi Pemikiran Jabariyah Terhadap Fatalisme Sosial di Era Modern

Relevansi Pemikiran Jabariyah Terhadap Fatalisme Sosial di Era Modern

Mata Akademisi, Milenianews.com – Pemikiran Jabariyah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah ditentukan secara mutlak oleh Allah. Aliran ini pertama kali dikenalkan oleh Ja‘ad bin Dirham dan kemudian dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan pada abad ke-7. Meskipun tidak berkembang secara dominan seperti Ahlussunnah wal Jama‘ah di Nusantara, pengaruh cara pandang Jabariyah masih dapat ditemukan dalam sikap fatalistik sebagian masyarakat Indonesia, terutama dalam menghadapi kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Baca juga: Khawarij dan Murji’ah sebagai Cermin Polarisasi Teologis

Ahmad Amin, seorang pemikir sejarah Islam, menyebut bahwa akar dari pandangan Jabariyah dapat ditelusuri melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan keras di tengah gurun Sahara membentuk pola pikir yang menyerah pada keadaan alam. Ketidakberdayaan terhadap lingkungan tersebut kemudian tercermin dalam pandangan teologis bahwa manusia tidak memiliki kendali atas nasibnya. Meskipun konteks geografis Indonesia berbeda, sikap menyerah terhadap nasib yang serupa masih dapat ditemukan dalam sebagian masyarakat modern, terutama ketika menghadapi persoalan struktural seperti kemiskinan.

Pemahaman Jabariyah Dapat Menumpulkan Semangat Perubahan Sosial

Data terbaru mencatat bahwa sekitar 24,06 juta penduduk Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. Dalam perspektif Jabariyah, kondisi ini kerap dipandang sebagai bagian dari takdir Ilahi yang tak dapat diubah. Jika keyakinan ini diterima tanpa kritik, dapat terbentuk mentalitas pasrah yang berlebihan, baik di kalangan masyarakat miskin yang kehilangan semangat untuk berikhtiar, maupun di kalangan pemangku kebijakan yang tidak terdorong untuk melakukan intervensi sosial secara aktif. Kemiskinan lalu dipandang sebagai kodrat, bukan masalah yang perlu diatasi bersama.

Pemikiran Jabariyah yang menolak kehendak bebas manusia seringkali digunakan sebagai justifikasi atas ketimpangan sosial. Orang kaya dianggap telah ditakdirkan untuk sejahtera, sementara orang miskin dianggap harus menerima nasibnya. Jika pemahaman ini dibiarkan tumbuh tanpa keseimbangan, maka akan sulit membangun masyarakat yang adil dan berdaya. Lebih jauh lagi, fatalisme sosial ini dapat menumpulkan inovasi, semangat juang, dan daya kritis masyarakat. Dalam konteks tantangan global saat ini, sikap pasrah semacam itu menjadi beban yang menghambat kemajuan umat.

Sejarah panjang Indonesia juga turut memperkuat pola fatalistik dalam masyarakat. Penjajahan, konflik politik, krisis ekonomi, serta bencana alam, telah meninggalkan luka sosial yang mendalam dan membentuk sistem yang tidak sepenuhnya adil. Di tengah keterbatasan tersebut, sebagian masyarakat memilih untuk menerima nasib ketimbang melawan struktur ketidakadilan. Dalam kondisi seperti inilah, pemikiran Jabariyah menemukan momentumnya: menjadi pelarian dari keputusasaan, namun sekaligus menjadi penghalang bagi perubahan sosial yang progresif.

Tafsir progresif menawarkan keseimbangan antara takdir dan usaha

Namun demikian, para tokoh seperti Buya Hamka dan M. Quraish Shihab memberikan tawaran tafsir keagamaan yang lebih seimbang. Mereka menekankan pentingnya sinergi antara takdir dan ikhtiar, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Ar-Ra‘d:11:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Ayat ini mengandung pesan moral yang kuat bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika manusia sendiri mau berusaha. Islam tidak menafikan takdir, tetapi juga tidak menghapuskan peran manusia sebagai agen perubahan. Dalam perspektif ini, pemahaman Jabariyah perlu ditempatkan secara kritis agar tidak menumpulkan semangat pembaruan dan kerja keras.

Pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman juga menegaskan pentingnya pendekatan teologi yang transformatif. Islam, menurutnya, adalah agama yang mengintegrasikan spiritualitas dengan aksi nyata. Doa, tawakkal, dan ikhtiar bukanlah jalan yang saling meniadakan, melainkan satu kesatuan untuk membangun etika kerja, tanggung jawab sosial, dan semangat kemajuan. Pemahaman ini penting untuk ditanamkan dalam pendidikan dan dakwah agar umat tidak terjebak dalam pemahaman yang kaku dan stagnan.

Baca juga: Ilmu Kalam di Pusaran Pluralisme dan Liberalisme Global

Dengan demikian, relevansi pemikiran Jabariyah terhadap fatalisme sosial di era modern terletak pada tantangan untuk memahaminya secara proporsional. Jika dihayati secara ekstrem, Jabariyah bisa melahirkan sikap pasrah yang membekukan perubahan. Namun jika dimaknai secara bijak, keyakinan terhadap takdir bisa menjadi kekuatan spiritual yang menyemangati manusia untuk tetap berusaha, sembari menyandarkan hasilnya kepada Tuhan. Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga kekuatan transformatif yang mendorong kemajuan duniawi dan ukhrawi, serta memperjuangkan keadilan sosial dalam kehidupan modern.

Penulisa: Ahmad Syukron, Muthiah Syafitri, Salwa Salsabila, Imtiyaz Zahirah Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *