Pendidikan Jarak Jauh: Antara Realitas, Fanatisme dan Hijrah

Pendidikan Jarak Jauh: Antara Realitas, Fanatisme dan Hijrah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Hampir bisa dipastikan semua orang yang waras merasakan khawatir bahkan cenderung paranoid ketika mendengar sekaligus merasakan suasana serangan wabah virus Covid 19. Kekhawatiran terjadi hampir di seluruh pelosok dunia lantaran kaget sekaligus panik. Karena sifat virus ini yang mampu menyebar dengan mudah ke sesama manusia. Selain itu punya daya tahan hidup yang relatif lama pada benda-benda, peneliti belum menemukan obatnya dan mematikan. Pendidikan Jarak Jauh

Berbagai aspek kehidupan berjalan tidak sebagaimana mestinya, termasuk dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang sudah terbentuk dari level TK sampai Perguruan Tinggi dan yang sedang berjalan pun berubah. Mengingat cara penyebaran virus Covid 19 ini yang begitu cepat dan kebijakan pemerintah daerah yang membatasi perjumpaan antar anggota masyarakat. Maka proses pendidikan dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi yang semula mengandalkan tatap muka langsung mencari alternatif lain.

Sedianya perubahan yang terjadi bukan karena inovasi dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Melainkan berubah karena serangan Covid 19, jika tidak ingin disebut perubahan yang terlalu memaksakan. Dalam konsepnya mungkin sistem e-learning, belajar jarak jauh atau perkuliahan jarak jauh bisa menjadi solusi. Tapi pada konteks ini ‘das sain’ dengan ‘das solen’ tidak seiring sejalan. Dalam prakteknya tidak mudah karena banyak variabel kejutan yang tidak terduga yang turut berpengaruh dalam proses belajar jarak jauh.

Problematika Pendidikan

Walaupun sudah menerapkan sistem perkuliahan jarak jauh sebelumnya, namun bukan berarti ketika wabah virus Covid-19 ini menyerang, Perguruan Tinggi berlenggang begitu saja tanpa kendala sama sekali. Meskipun konsep belajar jarak jauh di beberapa Perguruan Tinggi sudah ada dan berjalan. Bahkan sudah ada aturannya yakni Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Tapi kenyataanya tidak demikian.

Terlalu naif bila civitas pendidikan pada perguruan tinggi tidak mengakui adanya problem dalam perkuliahan jarak jauh, misalkan adanya dosen yang kurang siap ketika berhadapan dengan teknologi kuliah jarak jauh, server yang kewalahan ketika jam perkuliahan berada pada beban puncak sehingga akses untuk sekadar absen login mahasiswanya saja tidak bisa. Sementara di kampus tersebut mengharuskan semua perkuliahan wajib login ke dalam sistem yang berada pada server tersebut.

Ini merupakan kendala dan mahasiswalah yang dirugikan. Padahal kerugian mahasiswa pada proses pendidikan atau perkuliahan adalah cacat akademik. Belum lagi mahasiswa yang tidak punya gadget untuk mendukung kuliah jarak jauh. Ada pula mahasiswa yang beralasan tidak punya kuota untuk sekadar ikut kuliah telekonferen bersama dosennya. Selain itu ada lagi kendala dosen pengampu mata kuliah yang sifatnya vokasi-praktek. Seperti halnya kuliah teknik yang mengalami kesulitan dengan sistem kuliah jarak jauh ini dan terpaksa harus jarak jauh ketika wabah Covid-19 menyerang.

Baca Juga : Etos Kerja Selama Work From Home (WFH)

Pendidikan Jarak Jauh Bukan Hambatan

Selain bencana pada umat manusia, fenomena wabah Covid-19 juga menyadarkan seluruh civitas pendidikan di Indonesia untuk berpikir serius merumuskan alternatif perkuliahan yang tidak selamanya bertatap muka. Belajar atau kuliah jarak jauh memang bisa menjadi solusi asal penerapannya penuh dengan semangat “jarak jauh” bukan semangat “jarak dekat”. Sewajarnya sistem kuliah jarak jauh tidak mengenal satu cara dan tidak mengenal fanatisme metode. Baik guru, terlebih dosen harus mengedepankan kreatifitas dalam menyampaikan materinya.

Sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 menjelaskan bahwa perkuliahan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Dalam aturan tersebut makna kata “penggunaan berbagai media komunikasi” sepatutnya bisa kita pahami dengan sangat luwes. Tidak harus kaku berpatokan pada satu metode saja, satu gadget tertentu saja, menghambakan satu aplikasi tertentu atau satu web tertentu saja.

Justru perkuliahan jarak jauh harus melepas semua baju kekakuan yang selama ini terdapat pada perkuliahan jarak dekat dalam hal ini tatap muka. Namun, dalam prosesnya baik dosen maupun mahasiswa harus tetap memperhatikan etika belajar-mengajar. Melalui sistem belajar atau kuliah jarak jauh ini seharusnya setiap orang dapat memperoleh akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Sama seperti halnya pendidikan tatap muka yang reguler. Ujung dari hal ini semua kuliah bisa beriringan dengan aktifitas lain tanpa harus meninggalkan lokasi, tanpa harus tinggalkan karir.

Belajar atau kuliah jarak jauh secara luas boleh dipahami sebagai sebuah sistem dalam proses pendidikan yang memiliki ciri keterbukaan dalam metode dan memanfaatkan teknologi yang tersedia. Dengan berakhirnya wabah ini, tidak ada salahnya mengolaborasi metode kuliah tatap muka dengan sistem online untuk materi kuliah yang sifatnya vokasi-praktek. Wabah virus Covid-19 mengajari semua pemangku kepentingan pada bidang pendidikan. Untuk mulai melakukan hijrah konsep mendidik dari yang konvensional ke arah yang lebih kreatif lagi.

Penulis : Anisti, M.Si (Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UBSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *