Cerpen  

Setelah Malam Ini

Suasana meriah menyambutku, saat kakiku baru saja  melangkah, memasuki pintu gerbang.

“Hati-hati serangan mendadak, Teh” Tia membisikiku seraya langsung menyelamatkan diri beserta tas besar berisi penuh buku-buku rujukkan yang baru saja ku bawa ke Kampus saat akan mengikuti ujian Skripsi.

Dan apa yang diperingatkan Tia betul-betul terjadi, ketika tiba-tiba saja satu ember penuh air telah membasahi tubuhku disertai sorak-sorai seluruh penghuni pondok mawar, Klasik. Mereka memberiku selamat dengan hiteris, sepertinya, tidak ada keberuntungan lain bagiku selain hari ini. Suasana begitu gegap gempita, sehinggga meskipun dengan badan basah kuyup aku masih bisa tersenyum, bahkan tertawa. Lebih dari itu, aku mengucapkan banyak kata terima kasih pada mereka. Bukan untuk kreativitas mereka menguyurku, tapi untuk ketulusan mereka memberiku selamat.

“Akhirnya, kamu mendahuluiku jadi sarjana, Hil. Kalah dong aku.” Halimah yang lebih senang dipanggil Hallie itu cemberut menyembunyikan senyumnya yang lucu.

“Bagus it,” Jawabku.

“Kok?,” Keningnya berkerut.

“Supaya kita gantian, kalau sekarang kamu menguyur aku, nanti bagian aku yang akan menguyur kamu kalau kamu lulus ujian,” ujarku setengah mengancam.

“Ga papa sih, yang penting, nanti malam kami semua menunggu kamu di bakso balok yang dipertigaan itu,” jawabnya cuek.

Aku hanya tertawa. Yah…, mahasiswa, moment membahagiakan seperti apapun ternyata harus selalu diselesaikan dengan acara traktir-mentraktir. Tak apalah berbagi rezeki toh selama ini, todong-menodong ala Pondok Mawar tidak pernah yang aneh-aneh, paling gaya cuma sampai bakso balok itu, harga yang masih terjangkau isi kantongku yang tidak pernah bengkak, maklumlah mahasiswi pas-pasan. Aku mengangguk dan itu disambut hore seluruh penghuni Pondok Mawar.

Sebenarnya, ada hal lain selain kebahagiaan yang ku sembunyikan jauh dilubuk hatiku. Aku sendiri terkadang merasa aneh dan risih dengan perasaan ini. Kadang hatiku menjadi bertanya-tanya mengapa aku menjadikan ini sebagai penantian.

Kriiiing! Pesawat telpon yang diletakkan di pojokan Pondok berteriak nyaring, membuat kerumunan disekitarku bubar seketika, masing masing dari mereka berlari menuju sang kotak ajaib yang masih saja berdering sebelum salah seorang  diantara mereka mengangkat dan mengajaknya bicara. Aku sendiri sebenarnya terlonjak, ada sedikit harapan bahwa itu bunyi berasal dari orang di jauh sana yang sedang kutungggu.

Menunggu?! Huh, aku sebal sekali begitu merasakan perasaan itu. Apalagi saat telpon tak berdering lagi, tak ada suara yang memanggilku untuk memberitahukan bahwa bunyi telpon itu isyarat untuk memanggilku. Gontai aku melangkah menuju kamar mandi yang hanya beberapa meter di  samping kananku, setelah sebelumya aku berteriak minta tolong pada Tia untuk mengambilkanku pakaian untuk mengganti bajuku yang basah kuyup.

Brr, aku merasakan dingin saat mengguyurklan air ke tubuhku. Bandung pinggiran memang selalu dingin, tak seperti Jakarta yang disudut manapun akan terasa panas.

******

Kami duduk santai didepan televisi. Ritual Pondok Mawar sore hari.

Tapi keasyikanku menonton kuis terganggu saat Tia yang berada di kamarku memanggiku karena ada tamu. Deg, tamu! Jantungku berdengup. Tapi tak mungkin ah dia. Pondok Mawar hanya mengizinkan menerima tamu laki-laki di raung tamu.

“Teh Vina?” sambutku, begitu melihat orang yang hadir di   kamarku.

“Hei, Assalau’alaikum, selamat ya, udah resmi jadi sarjana. maaf lho ganggu acara santai De Hilwa,” katanya.  “ Eh, sudah ada kabar dari Hary?” lanjutnya kemudian. Menurutku,  amat  to the point.

“Wa’alaikum salam, makasih ya selamatnya. Memang ada apa dengan Kang Hary?” tanyaku,  kemudian.

“Lho, Hary tidak telpon?” Aku mengeleng. “Gimana sih Hary itu, katanya mau menyampaikan langsung lewat telpon,” gumamnya. Aku cuma diam, aku memang tidak mengerti arah pembicaraan Teh Vina.

“Memangnya ada apa dengan Kang Hary?” tanyaku ragu.

“Mm, begini, eh tapi Teteh gak berani ah menyampaikannya, soalnya waktu itu Hary bilang ia mau bicara langsung sama De Hilwa.” Katanya.

“Kapan Teteh Ketemu Kang Hary?” tanyaku.

“Enggak ketemu, Minggu lalu Hary telpon, sebenarnya sih nanyain Kang Faisal, tapi kebetulan Kang Faisal tidak ada di rumah jadi Teteh yang terima. Teteh juga udah sampaikan keinginan De Hilwa sama Hary,” jawabnya, dan aku menunggu kelanjutannya, tapi Teh Vina tidak bicara lagi.

“Lalu apa kata Kang Hary?” Aku jadi tak sabar ingin mendengar apa jawaban dari laki-laki itu.

“Ia bilang….,” Teh Vina memandangiku, aku rikuh dan lalu menunduk, “Menurut Teteh sih, lebih baik teteh pegang janji untuk tidak mengatakannya padamu, biar Hary sendiri yang mengatakan itu padamu,” jawabnya, ada senyuman tipis yang amat sulit kuterjemahkan artinya. Aku hanya menyambutnya dengan senyuman tipis bermakna sedikit kecewa. Sekarang, penantian kembali.

******

Semua penantian ini bermula dari obrolanku dengan Teh Vina tiga bulan lalu. Saat itu ia sengaja menemuiku ke kamar ini. Kami berdiskusi tentang wanita dan peranannya dalam rumah tangga, dan keinginantahuanku tentang rumah tangga itu seperti apa, terjawab oleh Teh Vina yang memang sudah berumah tangga dengan teman satu kelasnya,  Kang Faisal.

Tapi rupanya tujuan Teh Vina mendatangiku malam itu bukan hanya untuk mengajaku berdiskusi semata, karena ternyata ia membuka sesi lain setelah pertanyaanku habis.

“Sepertinya De Hilwa sudah siap untuk berumah tangga.  Sudah punya calon belum?” tanyanya sedikit bercanda.

“Calon dari London!” jawabku sambil tertawa. Orang seperti aku, rasanya gak sempat untuk memikirkan calon, rasanya kalau harus menikah mendingan langsung-langsung aja deh gak usah tunggu menunggu dan calon-menyalon, apalagi jika harus seperti memilih presiden yang harus dua putaran.

“Eh, serius nih!” Teh Vina mendesak. “Belum ada yang mengajukan proposal?” tanyanya sekali lagi.

“Ada juga Hilwa mengajukan proposal penelitian untuk skripi pada ketua jurusan,” jawabku masih bercanda, dan Teh Vina mencubit hidungku gemas.

“Ih, kalo ditanya, serius kenapa,“ katanya. “Tapi kalo belum ada syukur deh, soalnya teman Teteh ada yang mau serius.”

“Serius?” keningku berkerut, tapi bibirku masih tersenyum.

“Iya serius, De Hilwa bisa langsung mempertimbangkan keputusannya, karena teteh kira De Hilwa sudah tahu betul orangnya seperti apa.”

“Lho,” aku bengong, lantas berteriak hiteris saat Teh Vina membisikan nama seseorang di  telingaku. Rasa tak percaya masih ada, bahkan hingga teh Vina berpamitan pulang.

Kang Hary memang bukan sosok yang asing bagiku.   Sebelum ia lulus dulu, Kang Hari adalah satu-satunya kakak tingkat laki-laki yang cukup dekat denganku. Kami seringkali terlibat diskusi panjang  tentang apapun. Kang Hary,   menurutku,  orang yang amat sangat cerdas. Bayangkan, hal apapun yang kutanyakan bisa ia jawab dengan jawaban yang,  menurutku,  sangat logis, dan itulah yang membuat kami dekat sehingga kedekatan itu lalu diterjemahkan teman-temanku dan teman teman Kang Hary, bahwa kami memiliki hubungan khusus alias pacaran.

Teh Vina, adalah orang yang pertama mengingatkan Kang Hary juga aku, sehingga aku sempat kecewa dengan peringatannya. Waktu itu, aku seringkali bertanya kenapa hanya sekedar sharing saja harus dipermasalahkan.

Dan setelah itu, lalu aku merasa bahwa Kang Hary mulai menjauhiku. Tentu saja aku merasa amat sangat kehilangan. Kehilangan seorang kakak sekaligus tempat bertanya. Bagaimana aku tidak kehilangan jika Kang Hary  yang dulu selalu siap berdiskusi dengan ku kemudian hari hanya ber “Assalamu’alaiku” tok, jika bertemu denganku. Dan aku?  tentu saja aku hanya bisa menjawab salamnya, tok pula. Tentu saja aku tak bisa mengajaknya untuk duduk dan lalu menanyakan ini itu, karena sebelumya, biasanya Kang Harylah yang mendahului duduk di  sampingku dan membuka percakapan. Sedih.

Tapi setelah berlalu dalam sekian hitungan bulan, Teh Vina, Teteh yang telah menikah dengan kawan sekelasnya sejak semester tiga itu mendekatiku, dan rupanya, ia ingin menggantikan tempat Kang Hary, plus mengajariku tentang Islam yang sebenarnya yang baru aku pelajari tapi belum aku fahami dan maknai dengan sungguh-sungguh. Ternyata tempat bertanya itu tidak harus Kang Hary, karena Teh vina ternyata bisa mengobati kehilangan yang aku rasakan. Bahkan ia bisa memberikanku materi plus yang tidak aku tanyakan. Teh Vina yang dulu ku kira streng itu ternyata amat sangat care, dan hubungan seperti kami, menurut Teh Vina adalah hubungan yang aman. Hubungan tidak akan pernah menimbulkan praduga macam-macam dari orang-orang sekitar kami. Pertama,  kami sama-sama perempuan, kedua Teh Vina telah menikan sehingga  tidak akan pernah ada yang mengira kami punya hubungan khusus sesama jenis.

Saat Teh Vina ujian skripsi tujuh bulan yang lalu aku menyertainya, karena hari itu Kang Faisal harus masuk kerja. Kang Faisal memang lebih dulu lulus dan alhamdulillah mendapat pekerjaan yang bagus dalam waktu dekat. Ternyata Kang Hary  ujian pada hari yang sama, dan tentu saja pertemuan kami saat itu adalah pertemuan yang paling beda dengan pertemuan dua tahun sebelumnya. Mungkin Kang Hary merasakan apa yang aku rasakan. Waktu itu kami betul-betul kaku. Sepertinya kami tidak pernah saling akrab, aku sibuk bicara dengan Teh Vina, dan Kang Hary sendiri sibuk dengan kawan-kawannya sesama laki-laki, Teh Vina memang satu-satunya peserta perempuan pada ujian saat itu sehingga ia meminta aku untuk menemaninya.

Aku tahu Kang Hary lulus waktu itu, aku sempat memberinya selamat, selamat atas kesuksesannya melewai batu terakhir jenjang S-1 sekaligus selamat tinggal, tentu saja dalam hati, karena aku tak mungkin mengucapkannya apalagi dengan gaya bintang Bollywod.

Dan empat bulan kemudian, ternyata Kang hary menitipkan proposal yang ditujukan untukkku pada Teh Vina: Proposal Lamaran. Yang lebih mengagetkan lagi ternyata Teh Vina dan Kang Faisal mendukungnya, tepatnya mendukung kami.

Aku  sempat mempertanyakan niat Kang Hary serta aku sendiri jika ternyata aku menerima lamarannya. Karena, ternyata aku masih takut menerimanya aku takut karena merasa kami pernah dekat, mungkin saja orang lain akan mengira bahwa kedekatan kami sebelumnya memang memiliki hubungan khusus jika ternyata akhirnya kami memutuskan untuk bersama dalam pernikahan.

“De Hilwa, kalau dulu kami mengingatkan kalian untuk tidak bergaul terlalu dekat, itu karena kami yakin bahwa dalam hati kalian belum terbersit niat untuk menghalalkan hubungan d  ihadapan Allah, kami yakin kedekatan kalian hanya iseng belaka, dan kami takut kalian terhanyut dengan kedekatan itu sehingga akhirnya dapat menimbulkan fitnah. Kalau ternyata hari ini Hary  berniat untuk mempersuntingmu sebagai istrinya, tentunya Hary melakukannya dengan penuh pertimbangan, bukan hanya kalian pernah dekat, tapi menurut kami Hary melakukan hal ini karena ia melihatmu mau berubah.”

Sebenarnya aku masih bingung menentukan sikap, tapi saat itu tiba-tiba saja Bapak menelpon dan mengatakan bahwa ada seorang pria yang berniat melamarku,  dan aku langsung mengatakan ketakberminatanku saat Bapak menyebut nama pria tersebut. Bukan karena Kang Hary, tapi karena aku tahu betul siapa pria yang datang pada Bapak. Tapi sebagai alasan, aku mengatakan bahwa ada seseorang bernama Hary yang telah terlebih dahulu menyatakan niatnya untuk meminangku. Aku tak menyangka sama sekali, jika Bapak akan langsung menyetujui nama yang kusebut.  Buktinya Bapak malah meminta kang Hary untuk langsung datang menemuinya, sehingga antara yakin dan tidak, aku langsung mengatakan permintaan Bapak itu pada Teh Vina.

Tapi Lalu permintaan itu lalu berubah menjadi penantian. Aku sendiri aneh, kenapa aku jadi menunggu Kang Hary yang sebenarnya belum pernah aku temui lagi, pun belum mengatakan kesiapannya untuk bertemu dengan orang tuaku dalam waktu dekat. Apakah karena Bapak yang hampir setiap minggu menelponku dan menanyakan kapan seseorang bernama Hary itu akan datang ke rumah?   atau aku sendiri yangsebenarnya berharap banyak? Tentu saja aku menjadi sangat bingung untuk menjawab apa, karena aku tak pernah sekalipun bertemu atau bicara langsung dengan kang hary saat pertemuan terakhir kami ketika ia ujian skripsi tujuh bulan lalu.

Untungnya kegiatan menyusun skripsiku yang sudah sampai pada tahap akhir sedikit menyita waktuku, sehingga aku cukup punya alasan pada Bapak untuk mengulur waktu, pun untuk sekedar melupakan penantian yang ternyata telah sampai pada hitungan tiga bulan, sampai hari ini, aku masih  saja menanti.

******

“Teh!” Tia terengah-engah mendekatiku yang sedang duduk mengelilingi meja bersama delapan teman seisi Pondok Mawar. Ia memang datang terlambat,karena sebelumnya harus pergi ke rumah temannya menyelesaikan tugas mata kuliah.

“Ada apa Ti?” tanyaku heran melihatnya, yang lain memandanginya dengan sorot mata bertanya-tanya.

“Tadi ada telpon dari seseorang,” jawabnya setengah berbisik.

“Telpon dari siapa?” tanyaku. “Untuk siapa, untuk Tia?” lanjutku kemudian.

“Bukan!” kepalanya mengeleng kuat-kuat.

“Buat saya?” Kepalanya mengagguk “Dari?” Susulku heran. Siang tadi seluruh keluargaku telah ku kabari tentang kelulusanku, tak mungkin mereka menelpon kembali.

“Kang Hary, ia bilang dia ada di Bandung,” bisik Tia di   telingaku.

“Haa…” Aku melotot.

“Kenapa Hil, ada apa?” Hallie memegang tanganku.

“Oh, eh tidak apa-apa kalian tenang aja. Tia cuma terburu-buru.” Aku jadi gelagapan. Kenapa sih mesti berdebar-debar.

“Duduk dulu aja Ti, Kita makan dulu,” aku mengedipinya, dan rupanya ia lalu sadar dari rasa surprisenya. Dari seisi Pondok Mawar, memang hanya Tia, teman satu kamarku,  yang ku beri tahu tentang Kang Hary.

“Maaf, Tia terlalu gembira,” katanya seraya menarik salah satu kursi dan lalu duduk di  sana.

“Ih, ada apa sih kok maen rahasia-rahasiaan segala?” Hallie dan Intan bertanya hampir bersamaan.

“Itu, Lamaran Pekerjaan Teh Hilwa untuk menjadi guru bimbel yang di Cicadas disetujui, tadi direkturnya telpon,” Tia menjawab.

“Tapi tadi kok bisik-bisik?” Irna masih penasaran.

“Takut, eh takut Teh Hilwa gak boleh orang-orang tahu.” Tia melirikku,  “Eh, Teh Hilwa ga marah kan kalo Tia cerita ini sama temen-temen?” kali ini Tia memandangiku. Aku hanya terseenyum mendengar kebohongannya.

“Hebat dong, udah jadi sarjana, diterima kerja jadi guru bimbel lagi.” Hallie menimpal.

“Alhamdulillah,” ujarku. Sebenarnya  apa tentang lamaran di tempat Bimbel yang di Cicadas yang dikabarkan Tia sudah  ada sejak seminggu yang lalu, hanya karena tanggung  menghadapi ujian skripsi,  aku memutuskan untuk mulai berdinas minggu depan.

“Kok telponnya malem-malem ya?” suara Rani ragu.

“Suka-suka dia dong, barangkali kalo siang direkturnya gak sempa,” jawab Tia kalem. Huh memang ya, kalau udah bohong satu kali pasti keterusan.

Untungnya pesanan bakso balok favorit kami segera datang hingga aku bisa langsung mengalihkan perhatian mereka tentang telpon untukku tadi.

******

“Bener dia bilang begitu?” tanyaku pada Tia yang baru saja cerita tentang telpon dari Kang Hary  yang tadi diterimanya. Saat ini kami hanya berdua di kamar.

“Ih, buat apa Tia mesti bohong sih, gak ada untungnya.”

Aku jadi termagu, kenapa ya jantungku mesti berdebar seperti ini.

“Apa lagi yang dikatakannya.”

“Kang Hary ingin telpon sejak sore, tapi sinyalnya gak dapet, makanya Kang Hary baru bisa telpon begitu sampai di Bandung. Sayangnya yang terima malah Tia, Kalau saja Teteh,” Tia senyam-senyum.

“Kenapa?”

“Kan bisa lebih konek gitu.” Senyumnya makin lucu.

“Emangnya sama Tia ga konek?” tanyaku.

“Ya enggak lah kalo Tia tidak diberi tahu rahasianya, orang dia hanya bilang, Saya mau bicara sama De Hilwa, tapi kalo ga bisa, titip pesan saja kalo saya ada di Bandung, dan besok pagi saya mau ke rumah De Hilwa.”

“Gak tanya alamat saya?”

“Gak tuh.”

“Kok?”

Mane ake tahe.”

“Tia….!” Aku memukulnya dengan bantal. Sepertinya, setelah malam ini semua akan pasti, dan aku tak harus menanti lagi.

 

****

Penulis: Putri Azizah

Profil Penulis:

Putri Azizah, Pemenang Lomba Penulisan Cerpen Remaja Abad 21, cerpen pertamanya berjudul Putri pernah dimuat di majalah Sastra dan Budaya SILOKA Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *