Oleh : Muhammad Irham
Pagi itu sayup-sayup terdengar timbul tenggelam lantunan ayat suci Al-Quran yang di lantunkan dengan suara merdu.
Seakan mengisahkan kerinduan seorang hamba pada Rabb-Nya. Ia lah Lillah, yang tenggelam pada Al-Quran yang tengah ia lantunkan dengan penuh perasaan hingga tak menyadari seseorang sedang menatapnya dengan luapan emosi dan tatapan berbinar-binar penuh makna.
Aku pun meninggalkan masjid selepas lantunan Lillah usai. Sepanjang jalan menuju kamar kos seakan bayang-bayang wajahnya dengan senyum manis yang terukir indah di bibirnya nan merah merona itu, kian menghantuiku hingga mengukirkan senyum di bibirku namun aku berusaha menampiknya dengan kalimat istighfar, karena takut rasa itu bermekaran di waktu yang tak seharusnya. Sesampaiku di kamar, aku segera bersiap-siap untuk ke sekolah hari ini.
Di lain sisi, “Minum dulu susunya nak,“ Ibunda mengingatkan Lillah yang memakai sepatu. “Iya bunda,“ jawabnya dengan senyum lantas meminum susu yang di berikan Ibunda.
“Belajar yang rajin ya lil,” Ibunda mengelus kepala Lillah lembut yang di jawab dengan anggukan. “Lillah berangkat dulu ya,” ucapnya seraya mencium tangan Ibunda dengan penuh takzim.
Hari itu sekolah penuh dengan luapan emosi para siswa kelas akhir, karena ini saatnya mengucapkan kata-kata terakhir pada bangku sekolah mereka. Masa sekolah yang penuh dengan banyak hal yang sulit di lupakan, kini mesti di tinggalkan untuk menempuh masa baru setelah kelulusan.
“Gak terasa ya…. udah tiga tahun kita di MA,” ucapku dengan nada kecewa sekaligus senang.
“Ya, Walaupun begitu tetap aja tidak ada yang berubah di antara kita,” ucap Yusuf kawan terdekatku.
“Ya betul, Mahtum, tetap saja seorang pemberani yang tidak takut apapun, Yusuf tetap jadi si gila makan, Aku tetap saja jadi si kurus yang usil dan Al,” ucap Jibril seraya menunjuk ke arahku, “tetap saja menjadi si puitis yang mencintai Lillah dalam diamnya,” lanjutnya. Pipiku pun memerah menahan malu mendengar ucapannya.
“Betul kali kau cakap hari ini Jibril, sudah lama kali aku ingin tau apa sebabnya si puitis ini cinta namun diam saja, sariawan kah bibirmu itu Al?!,” ucap Mahtum dengan logat bataknya lantas menoleh ke arahku dengan mata penuh tanda tanya.
“Iya Al, apa susahnya kamu bikinkan puisi untuk menaklukkan hatinya?,” sambung Jibril.
“Atau paling tidak kamu pinta saja nomor Hpnya, setidaknya kamu bisa lebih dekat dengannya, mana tau dengan begitu kau berjodoh dengannya,” kata Yusuf ikut serta.
“Kalian cinta orang tua kalian?” tanyaku. “Tentu saja,” jawab mereka serentak. “Relakah kalian jika orang tua kalian di siksa?,” sambungku. “Tentu saja tidak Al,” ucap mereka serentak.
Aku pun tersenyum seraya berkata “Begitupun aku kawan, jika kalian bertanya apakah aku memiliki rasa kepada Lillah, pasti kan ku jawab iya namun jika kalian ingin aku bersanding dengannya saat ini dengan berpacaran tentu saja aku tak mau karena aku tidak ingin menjerumuskan orang yang aku cintai ke dalam panasnya neraka dan tersiksa karena ulahku, maka dari itu aku hanya bisa berdoa, berusaha memantaskan diri untuk menjadi pendamping hidupnya dan sisanya kuserahkan pada Allah Yang Maha Tahu akan segalanya, itu saja,” aku menjelaskan.
“Baiklah Al, tapi bagaimana jika dia di jodohkan dengan orang lain oleh kedua orang tuanya?,” Jibril mendesak.
“Iya Al, bukankah kau ingin lanjut kuliah di mesir?, bagaimana mungkin kau bisa memantau Lillah dari ribuan kilometer jauh nya?” ucap Mahtum ikut mendesak.
“Tenang saja kawan, jika dia memang di ciptakan untukku maka di manapun aku berada, seberapa jauh pun aku di pisahkan dengannya, suatu saat nanti pasti akan di pertemukan kembali. Namun, bila dia bukan jodohku maka aku yakin Allah pasti akan memberi yang terbaik untukku. Jadi, tawakkal aja,” jawabku dengan tersenyum.
“Baiklah Al jika begitu, semoga aku bisa melihatmu dan Lillah duduk bersanding di pelaminan nanti,” ujar Yusuf dengan penuh harap.
10 tahun kemudian….
Jarum jam tepat mengarah ke angka 2. Perumahan tampak lengang dan sepi, waktu yang tepat mengisi energi untuk beraktivitas di pagi hari nanti. Namun, di malam sunyi yang terselimuti sinar indah sang rembulan serta gemintang nan setia menemani ini terlihat remang-remang lampu menyala di jendela rumah seorang warga.
“Assalamualaikum warahmatullah,” ucap Lillah seraya menoleh ke kiri sebagai penutup sholat tahajjud lalu Ia membaca doa dengan penuh harap dan aliran air mata.
Di ribuan kilometer jauhnya sayup-sayup terdengar suara pemuda berdoa di dalam masjid Al-Azhar “Ya Allah jika memang dia jodohku, maka jadikanlah aku sebagai seorang imam yang sholeh, yang mampu menuntunnya tuk mengamalkan perintah-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu serta mendahului perintah-Mu dan Rasul-Mu melebihi kepentingan dan kecintaan pribadi diriku, Aamiin,” Lirihnya seraya menutupnya dengan sholat sunnah 2 rakaat.
“Assalamualaikum Al,” sapa seseorang dari belakang.
“Waalaikumussalam Akhi Salman, Ma Hashal (ada apa) ?” ucapku dengan senyum lembut.
“Da’aakum (kamu dipanggil) Ustadz Farhan,” jawab salman yang merupakan teman satu fakultas denganku.
“Baik terima kasih,” sambungku lantas segera menuju ruangan Ustadz Farhan yang mungkin telah menungguku. Sesampaiku di sana ku ketuk lembut pintu ruangannya seraya mengucap salam “Assalamualaikum Ustadz,” aku menunggu jawaban.
“Waalaikumussalam, silahkan masuk,” jawab seseorang dengan suara khasnya dari dalam.
Tanpa buang waktu aku pun segera masuk menemui Ustadz Farhan yang tengah duduk bersama dengan seorang tamu di atas kursi sederhana miliknya. “Ada apa Ustadz?.” Wajahku penuh tanda tanya.
“Boleh saya minta tolong Al.” Ucap Ustadz Farhan lantas menatapku lembut.
“Insyaallah akan saya tolong jika saya mampu Ustadz.” Jawabku.
“Sebelumnya perkenalkan ini kawan lama saya Ustadz Ahmad” Ucapnya seraya menunjuk ke tamu disampingnya dengan ibu jarinya. “Dan Ustadz Ahmad ini murid saya Al-ghozali biasa dipanggil Al” Sambungnya seraya menunjuk ke arahku. Kami berdua pun saling pandang dan tersenyum. “Jadi Al. Berhubung saya dan Ustadz Ahmad sedang ada hal yang ingin kami bicarakan, saya ingin minta tolong untuk membawakan barang Ustadz Ahmad ini ke kamar No. 1421 di New Garden Palace Hotel,” seraya memberikan sebuah tas ransel kepadaku.
“Baik Ustadz, Insyaallah,” aku pun menerima amanat yang di berikan Ustadz Farhan dan mohon pamit. Lalu segera menuju tempat yang beliau tunjukkan yang berjarak sekitar 4 km dari Al-Azhar.
Namun, sesampainya di El-Herafieen tampak seseorang berteriak meminta tolong kesana kemari dengan wajah panik. Maka tanpa pikir panjang aku segera menghampirinya dan bertanya “Limadza ya syaikh (kenapa pak) ?”
“saroqo as-saariq mahfazoti wa yajri ila toriqi as-syaikh rihan wa qod kuntu syaikhon fala aqdir attabi’uhu (tasku di curi oleh maling lalu Ia berlari ke jalan El-Syaikh Rihan, aku ingin mengejarnya namun aku tak mampu karena sudah tua,” Lirihnya.
“Thoyyib, sa attabi’uhu bal astaudi’uka mahfazatii hadzih (baik, aku akan mengejarnya akan tetapi aku titip tasku ini padamu),” ucapku lantas segera berlari ke arah El-Syaikh Rihan.
Beberapa menit berlalu tak satupun tanda orang berlari kutemui di sepanjang jalan yang ku lewati, aku pun segera kembali ke tempat pak tua tadi untuk meminta maaf karena tak berhasil mengejar pencuri tas miliknya. Namun, sesampaiku di sana pak tua tadi telah tiada dan tas amanat Ustadz Farhan pun sirna seakan mereka berdua menghilang begitu saja. Aku pun mulai panik dan bertanya-tanya kesana kemari namun tak seorang pun mengetahuinya.
Dengan langkah gontai penuh sesal aku pun kembali menuju ruangan Ustadz Farhan dan menceritakan kronologi kejadian yang ku alami hingga membuat tas itu hilang serta meminta maaf.
“Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un, Al tas itu berisi barang-barang berharga milik Ustadz Ahmad, mengapa kau begitu ceroboh hingga menghilangkannya.?!” ucap Ustadz Farhan.
“Sekali lagi saya mohon maaf Ustadz, saya mengira pak tua itu sungguh-sungguh meminta tolong kepada saya bukan menipu,” lirihku tanpa melihat wajah Ustadz Farhan.
“Bisakah kau ganti barang-barangku yang hilang itu Al.?” Ustadz Ahmad bertanya seraya memandang ke arahku.
“Mohon maaf Ustadz, mungkin aku tak bisa menggantinya dengan harta, namun, aku bersedia menerima segala hukuman yang akan antum berikan padaku. Bahkan aku bersedia menjadi pembantumu seumur hidupku bila itu dapat menebus kesalahanku,” aku menunduk dalam.
“Baiklah jika begitu, besok kamu harus ikut denganku,” sahut Ustadz Ahmad. Aku pun mengangguk dalam tanpa penolakan.
Keesokan harinya di pagi yang cerah aku memasukkan pakaian ku ke dalam tas dan menyusul Ustadz Ahmad yang telah menungguku di bandara.
“Benarkah kamu tidak keberatan ikut denganku Al?” tanya Ustadz Ahmad sesampaiku di bandara yang ku balas dengan anggukkan kepala.
“Bolehkah saya bertanya Ustadz?” ku tatap wajah Ustadz Ahmad penuh tanda tanya.
“Silahkan Al, apa yang ingin kamu tanyakan padaku.?” ucapnya lembut seakan tidak ada kemarahan sama sekali dalam hatinya terhadapku.
“Kemanakah kita akan pergi, dan apa yang mesti aku lakukan.?” tanyaku.
“Kita akan ke Indonesia dan kau akan ku nikahkan dengan putriku Al,” jawabnya singkat.
“Tapi aku sudah mencintai seseorang Ustadz lagipula bukankah itu tidak terlihat seperti hukuman.?” ucapku dan berharap Ustadz Ahmad berubah pikiran karena yang ku cintai hanya Lillah seorang tak ada yang lain.
“Bukankah kau tidak keberatan jika ku beri hukuman apa saja Al ?” jawab Ustadz Ahmad santai.
“Tapi Ustadz..” Ustadz Ahmad menghentikan ucapanku dengan isyarat tangannya lalu berkata “sudahlah ini keputusanku jadi kau jalani saja,” tutupnya.
Harapku meminang Lillah pun sirna seketika saat mendengar hukuman yang di berikan Ustadz Ahmad kepadaku. “Mungkin memang bukan Lillah jodoh yang Allah kehendaki untuk mendampingiku,” pikirku. Aku pun terpaksa menyutujuinya walau pilu menghujam hatiku.
“Lil, ada apa?” tanya Ibunda melihat Lillah yang tengah merenung di depan rumahnya.
“Aku tak mau di jodohkan bunda, aku sudah mencintai seseorang,” ucap Lillah pelan.
“Tapi nak ayahmu pasti memilih orang itu karena dia lah yang pantas mendampingimu nak,” ucap Ibunda seraya mengusap kepala Lillah lembut.
“Tapi bunda aku tidak pernah melihatnya,bertemu dengannya apalagi melihat sikapnya. bisakah aku mencintainya kelak jika seperti itu bunda ?” lirih Lillah.
“Berdoa saja nak terkadang cinta memang seperti itu namun yakinlah Allah pasti mengetahui yang terbaik untuk hambanya,” ucap bunda dengan senyum lembut.
Sampailah Kami di Indonesia, aku menukar bajuku dengan baju yang di belikan Ustadz Ahmad kepadaku untuk akad nanti. Segera menuju ke tempat akad yang telah di siapkan oleh keluarga Ustadz Ahmad. Saat tiba disana wajahku menunduk dan berusaha menghibur remuknya hatiku dengan bertasbih dan beristighfar. Ustadz Ahmad memberitahuku bahwa putri nya menunggu di ruangan lantai 2 dan tidak mendampingiku saat akad namun aku di izinkan melihat wajahnya sebentar sebelum pelaksanaan akad yang ku tanggapi dengan anggukan kepala serta senyuman terpaksa.
Saat ku di pertemukan dengan putri Ustadz Ahmad yang tengah terduduk di atas bangku rias dadaku seakan berdetak begitu kencang seakan tak percaya dengan apa yang telah ku lihat “Maaf Ustadz apakah saya salah masuk ruangan ?“ tanyaku pada Ustadz Ahmad yang tengah tersenyum.
“Tentu saja tidak Ahmad, itu memang ruangan putriku,” jawabnya tersenyum.
“Tapi…” ucapku setengah tak percaya.
“Iya Al, kamu menyukai Lillah sejak lama bukan ? dan aku pun sering mendengar Lillah menyebut namamu lirih dalam doanya bahkan dalam tidurnya , maka kemarin saat aku berkunjung ke Al-Azhar aku ingin sedikit menguji dirimu dengan pak tua yang telah ku bayar sebelumnya. Namun ku takjub pada kebaikan hatimu dan beranggapan bahwa kau memang pantas mendampingiku putriku,” potong Ustadz Ahmad yang membuatku terpana dan terkejut seakan tak percaya.
Lillah yang tengah di rias wajahnya penasaran dengan percakapan yang sayup-sayup terdengar dari depan ruangannya lalu Ia keluar ruangan dan terkejut melihat pria yang bertahun-tahun ia damba tengah berdiri gagah di depan ayahnya.
“Al…?“ Ucapnya penuh tanda tanya.
“Ini pria yang ingin ku jodohkan denganmu hari ini nak,” ucap Ustadz Ahmad yang membuat air mata bahagia Lillah pecah seketika. “Maafkan ayah nak, karena ayah tidak memberitahumu tentang ini sebelumnya dan Al aku pun minta maaf, namun kini keputusan ada di tanganmu Al, apakah pernikahan ini ingin kau lanjutkan atau tidak ?” sambung Ustadz Ahmad. Lillah tertunduk dengan wajah tersipu sekaligus berdebar-debar menunggu jawaban dari pria dambaannya.
“Apakah kau mencintaiku lil?“ tanyaku pada Lillah yang di jawab dengan senyuman manis dari bibirnya yang merona. “Baiklah Ustadz, aku akan melanjutkan pernikahan ini,” sambungku kemudian dengan kebahagiaan yang membuncah.
Hari itu seakan Matahari tersenyum bahagia menatap dua insan yang mencintai dalam diam tanpa saling mengungkapkan yang di satukan oleh Tuhan semesta alam. Memang terkadang kehidupan membingungkan namun janji Allah tidak akan pernah terdustakan.
Cerpen nya bagus sangat memotivasi..