Transformasi jiwa dalam interaksi dengan Al-Qur’an: Relasi timbal balik antara spiritualitas manusia dan Ilahiyah

Transformasi Jiwa Qurani

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di tengah derasnya arus modernisasi serta kuatnya pengaruh nilai duniawi yang menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual, Al-Qur’an tetap hadir sebagai sumber utama petunjuk hidup bagi umat Islam. Kitab suci ini tidak hanya dibaca atau dihafal, tetapi dijadikan pedoman moral dan spiritual oleh jutaan Muslim di seluruh dunia. Realitasnya, tidak semua individu yang berinteraksi dengan Al-Qur’an mengalami perubahan kepribadian yang sama. Ada yang menjadi lembut hati, jernih pemikirannya, dan bersih jiwanya. Namun tidak sedikit pula yang tetap menunjukkan perilaku menyimpang meski telah menghafal atau mendalami Al-Qur’an. Fenomena ini kini semakin mencolok, terutama ketika muncul kasus menyedihkan yang melibatkan penghafal Al-Qur’an, pemilik rumah tahfiz, hingga tokoh agama yang melakukan tindakan asusila dan pelanggaran etika lainnya.

Kasus seperti pelecehan santri, hubungan di luar nikah, hingga korupsi dalam sektor keagamaan memperlihatkan bahwa internalisasi nilai Al-Qur’an tidak selalu sejalan dengan tingkat keterlibatan seseorang terhadap teks suci tersebut. Padahal Al-Qur’an memiliki posisi sentral dalam pembentukan karakter serta spiritualitas manusia. Selama berabad-abad, ayat-ayatnya menjadi sumber inspirasi moral dan ketenangan batin, sebagaimana mestinya tercermin dalam kehidupan seorang Muslim. Namun perbedaan hasil spiritual pada setiap pembaca Al-Qur’an menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai hubungan antara wahyu dan kesiapan batin manusia.

Al-Qur’an sebagai Sumber Transformasi Spiritual

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, Al-Qur’an tidak hanya dibaca sebagai teks suci, tetapi dipahami dan diimplementasikan dalam keseharian. Pandangan ini sejalan dengan gagasan “Al-Qur’an yang Mengubah Diri”, yang menekankan bahwa interaksi sungguh-sungguh dengan Al-Qur’an mampu membawa perubahan besar dalam perilaku manusia. Makna ayat tidak hanya dikaji secara intelektual, tetapi harus menyentuh hati serta mengubah perilaku.

Konsep ini berkaitan dengan Teori Transformasi Kognitif, di mana perubahan pola pikir, nilai, dan tindakan terjadi melalui perenungan makna ayat Al-Qur’an. Contoh klasiknya adalah Umar bin Khattab RA yang hatinya luluh setelah mendengar Surah Thaha. Banyak pula kisah mualaf yang memilih Islam setelah memahami makna ayat suci.

Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Az-Zumar ayat 23 yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an mampu menggugah kulit dan hati mereka yang takut kepada Allah. Ayat ini memperlihatkan bahwa Al-Qur’an merupakan agen perubahan aktif yang menggerakkan kesadaran batin tanpa paksaan.

Fenomena serupa hadir pada kehidupan modern, seperti perjalanan spiritual Felix Siauw—yang berubah dari ateisme menuju Islam setelah mengalami pengalaman eksistensial melalui Al-Qur’an. Transformasi tersebut tidak bersifat mekanis, tetapi terjadi karena kesiapan hati menerima kebenaran.

Transformasi karena Kesiapan Diri

Pemikiran kedua menyatakan bahwa perubahan sejati berawal dari kesiapan dalam diri manusia. Al-Qur’an dapat dibaca oleh banyak orang, tetapi tidak semua berubah. Seseorang yang hafal Al-Qur’an dapat tetap berperilaku menyimpang jika hatinya tertutup. Sebaliknya, individu yang awalnya jauh dari agama dapat menjadi lebih baik ketika hatinya terbuka pada wahyu.

Pandangan ini selaras dengan QS Al-Baqarah ayat 2, yang menegaskan bahwa petunjuk hanya diberikan kepada orang bertakwa, yaitu mereka yang memiliki kesiapan jiwa. Pendekatan psikologi melalui Self-Determination Theory menyebutkan bahwa perubahan lahir dari motivasi internal, bukan tekanan eksternal.

Teori ini berhubungan erat dengan Stages of Faith versi James W. Fowler, yang menjelaskan bahwa transformasi spiritual hanya terjadi jika seseorang memasuki fase keterbukaan terhadap nilai transenden. Dalam konteks Islam, Al-Ghazali menjelaskan dalam “Ihya Ulumuddin” bahwa wahyu diibaratkan sebagai cahaya. Bila hati tertutup oleh dosa, cahaya tidak akan mampu masuk.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Integrasi Akal, Hati, dan Tindakan

Agar Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber transformasi, diperlukan pendekatan integratif antara akal, hati, dan tindakan. Upaya yang dapat dilakukan meliputi:

  • membaca Al-Qur’an dengan perenungan makna,

  • mempelajari tafsir bersama guru kompeten,

  • menghubungkan ayat dengan realitas sosial,

  • memperkuat dzikir dan doa harian,

  • menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai dasar etika dalam pengambilan keputusan.

Pendekatan ini memperjelas bahwa transformasi Qurani membutuhkan usaha spiritual yang sadar, bukan hanya pengulangan teks.

Pertanyaan “apakah jiwa berubah karena Al-Qur’an atau Al-Qur’an yang mengubah jiwa?” bukanlah perbandingan dua kutub yang bertentangan, tetapi perpaduan yang saling melengkapi. Al-Qur’an memiliki daya ubah luar biasa sebagai wahyu, dan manusia adalah wadah penerima perubahan. Perubahan spiritual hanya terjadi jika interaksi keduanya berjalan selaras melalui kesiapan hati, kerendahan jiwa, dan penghayatan makna.

Pada akhirnya, refleksi terpenting adalah: apakah kita telah membuka diri untuk diubah oleh Al-Qur’an, atau hanya membaca tanpa membiarkan ayat-ayatnya menyentuh hati?

Penulis: Nashwa Nadrah

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *