Milenianews.com, Mata Akademisi– Syaikh al-Zarnuji, seorang ulama bermadzhab Hanafi yang wafat pada 1197 Masehi membagi ilmu menjadi tiga. Hal itu tertera dalam kitabnya yang sangat terkenal di pesantren-pesantren bermadzhab Syafi’i. Menurutnya, klasifikasi pertama ilmu yang ibarat makanan. Kedua, ilmu yang ibarat obat. Ketiga, ilmu yang ibarat penyakit.
Klasifikasi ini didasarkan atas fungsi dan waktu yang dibutuhkan untuk menggunakannya. Misalnya, ilmu yang ibarat makanan adalah fardhu ‘ain. Setiap individu harus memilikinya sebab ilmu ini menjadi syarat diterimanya sebuah ibadah dan muamalah.
Misalnya terkait rukun iman (ilmu akidah) dan rukun Islam (ilmu syariah). Memahaminya ibarat makanan yang tidak boleh tidak harus ada dan dibutuhkan sepanjang waktu. Secara medis, orang yang tidak makan dan tidak minum mampu bertahan hidup sekitar seminggu.
Apabila seseorang tidak makan, namun tetap minum, diperkirakan akan bertahan hidup sekitar dua atau tiga minggu. Dengan kata lain, ilmu akidah dan syariah harus dimiliki oleh seorang muslim secara individu. Apabila tidak, ada syarat keimanan dan penghambaan yang tak terpenuhi. Untuk itu, mempelajari ilmu yang ibarat makanan ini sangat fundamental dan esensial.
Kedua, ilmu yang ibarat obat. Obat hanya dibutuhkan pada waktu tertentu. Tepatnya, pada saat seseorang sakit. Di luar itu, obat tidak dibutuhkan. Memahami ilmu yang ibarat obat hukumnya fardhu kifayah. Kalau fardhu ‘ain bersifat individual, fardhu kifayah bersifat kolektif.
Memahami ilmu nahwu (gramatika Arab) dan sharaf (morfologi Arab) hukumnya fardhu kifayah saja. Artinya apabila dalam satu komunitas masyarakat ada satu orang yang memahaminya, maka gugurlah kewajiban orang lain. Untuk itu, tulis al-Zarnuji, pemerintah harus mendorong perwakilan masyarakat mempelajarinya. Tujuannya, agar seluruh masyarakat tidak terperosok dalam dosa.
Persamaan antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah adalah sama-sama berlaku bagi mukallaf (orang yang terkena beban ibadah). Dalam yurisprudensi Islam, hanya orang Islam, baligh, dan berakal saja yang terkena hukum taklif. Orang kafir, anak kecil, dan orang gila tidak diwajibkan beribadah baik secara vertikal kepada Allah maupun secara horizontal kepada sesama manusia.
Ketiga, ilmu yang ibarat penyakit adalah ilmu nujum atau ilmu perbintangan. Mempelajarinya, kata Syaikh al-Zarnuji, hukumnya haram. Sebab munajjim (orang yang mempelajari ilmu nujum) berpandangan bahwa bintang berpengaruh terhadap nasib manusia. Padahal nasib manusia didapat atas ikhtiar yang bersangkutan dan karunia Allah semata.
Dari ketiga klasifikasi ilmu ini, nyata benar bahwa ilmu dalam perspektif Islam sangat rasional, bisa diverifikasi, dan objektif. Namun dalam Islam, ilmu tidak bebas nilai (value bound). Paradigma ini memandang bahwa ilmu dan pengembangannya harus mempertimbangkan nilai, seperti moralitas dan kemanusiaan.
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok