Sekularisasi Ilmu dalam Cara Kita Memandang Makanan dan Kesehatan

pasar tradisional

Milenianews.com, Mata Akademisi – Perhatikan perjalanan kita dalam membeli makanan. Dahulu, kita pergi ke pasar tradisional yang riuh dengan aroma tanah, rempah-rempah, dan sayuran segar. Kini, kita lebih sering berbelanja di lorong-lorong supermarket yang bersih, terang, dan tertata rapi. Perubahan ini bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan cerminan perubahan cara pikir kita yang paling mendasar tentang apa itu makanan.

Dalam perjalanan sejarah, cara manusia berinteraksi dengan makanan telah bergeser dari sesuatu yang holistik dan sarat makna menjadi sesuatu yang rasional dan fungsional semata. Pergeseran ini dapat dipahami sebagai proses sekularisasi ilmu—istilah yang diperkenalkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas—yakni ketika pengetahuan yang semula menyatu dengan nilai agama, kearifan lokal, dan etika, direduksi menjadi sekadar data empiris yang netral dan terpisah dari makna.

Baca juga: Moneter di Tangan Bangsa Sendiri: Saatnya Indonesia Lepas dari Dikte Pasar Global

Pasar Tradisional: Ruang di Mana Makanan Masih Punya Cerita

Bayangkan kembali suasana pasar tradisional. Ia bukan sekadar tempat transaksi, melainkan sebuah ekosistem pengetahuan yang hidup. Pengetahuan tentang makanan di pasar bersifat menyeluruh dan kontekstual.

Para penjual sayur tidak hanya mengetahui harga dagangannya, tetapi juga asal kebun, musim panen, dan kualitas hasil tani. Para pembeli—terutama ibu-ibu—memahami khasiat rempah secara turun-temurun: jahe untuk menghangatkan tubuh, kencur untuk meredakan batuk, atau kunyit untuk menjaga daya tahan. Pengetahuan ini menghubungkan makanan dan kesehatan secara utuh, jauh melampaui sekadar angka kalori dan zat gizi.

Selain itu, pasar tradisional menghadirkan interaksi yang manusiawi. Tawar-menawar bukan semata soal harga, tetapi sarana membangun kepercayaan dan relasi sosial. Makanan tidak dipandang sebagai benda mati, melainkan sebagai anugerah alam dan karunia Sang Pencipta. Di sinilah ilmu tentang makanan masih berakar pada rasa syukur dan etika. Ia adalah ilmu yang beradab.

Supermarket: Ketika Makanan Menjadi Sekadar Produk

Kehadiran supermarket membawa paradigma baru: efisiensi, standardisasi, dan rasionalitas. Di titik inilah proses sekularisasi ilmu tampak nyata.

Di supermarket, makanan berubah menjadi “produk”. Ia dikemas rapi dalam plastik dan karton, disertai label yang merinci kalori, protein, lemak, dan tanggal kedaluwarsa. Pengetahuan holistik tentang asal-usul, proses, dan dampak ekologis makanan direduksi menjadi informasi gizi yang terfragmentasi. Kesehatan pun didefinisikan secara sempit sebagai pemenuhan angka-angka nutrisi.

Hubungan manusia dengan sumber makanan juga terputus. Kita tidak lagi mengenal petani yang menanam tomat atau kondisi tanah tempat wortel tumbuh. Yang tersisa hanyalah merek, kemasan menarik, dan sistem distribusi korporasi. Relasi personal digantikan oleh relasi transaksional, sementara rasa syukur perlahan memudar.

Supermarket juga menghadirkan estetika baru yang seragam. Sayur dan buah harus tampak mulus, besar, dan identik satu sama lain. Standar visual ini sering kali mengorbankan keanekaragaman varietas lokal serta cita rasa alami. Konsep kesehatan pun diseragamkan, seolah kebutuhan tubuh manusia bersifat universal, padahal konteks geografis, budaya, dan iklim sangat memengaruhi kebutuhan gizi seseorang.

Dampak Pergeseran: Kesehatan Semu dan Pengetahuan yang Terkikis

Pergeseran cara pandang ini membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Obsesi pada label seperti “rendah lemak” atau “tinggi protein” sering membuat kita melupakan makanan utuh (whole food) yang segar dan alami. Makanan olahan dan siap saji—yang menjadi tulang punggung sistem supermarket—mungkin memenuhi standar gizi di atas kertas, tetapi miskin akan vitalitas dan justru berkontribusi pada meningkatnya penyakit degeneratif seperti obesitas dan diabetes.

Di sisi lain, kearifan lokal perlahan tergerus. Hilangnya pasar tradisional berarti hilangnya ruang transmisi pengetahuan tentang tanaman obat, pangan lokal unggulan, dan resep tradisional yang menyehatkan. Generasi muda kini lebih akrab dengan narasi kesehatan dari iklan produk global dibandingkan petuah nenek mereka sendiri.

Baca juga: Pasar Dalam Islam

Menemukan Kembali Makna Makanan

Perjalanan dari pasar tradisional ke supermarket bukan sekadar evolusi gaya hidup, melainkan pergeseran cara manusia memandang realitas. Kita telah berpindah dari pandangan holistik—yang melihat makanan sebagai bagian dari jaringan kehidupan—menuju pandangan reduksionis yang memahaminya sebagai komoditas dan kumpulan nutrisi semata.

Tantangan kita hari ini bukanlah menolak sains modern, melainkan mengembalikan makna dalam ilmu. Kita dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dan pengetahuan gizi tanpa mencampakkan kearifan lokal, etika, dan dimensi spiritual. Dengan menyinergikan keduanya, kita berpeluang membangun kembali hubungan yang lebih sehat, berkelanjutan, dan bermakna dengan makanan yang kita santap setiap hari.

Penulis: Nailah Asri Siregar, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *