Milenianews.com, Mata Akademisi– Tidak bisa dipungkiri bahwa kecanggihan teknologi semakin berkembang pesat untuk memudahkan manusia dalam melakukan segala aktivitasnya. Di era digital sekarang ini, Internet telah menjadi kebutuhan pokok manusia di seluruh dunia sebagai penunjung berbagai macam kegiatannya sehari-hari.
Salah satu sektor pengguna internet sebagai bentuk inovasi yaitu bidang keuangan. Fintech (Financial Technology) ialah penginovasian fasilitas keuangan yang mempergunakan teknologi online. Perkembangan ini menjadikan manusia lebih suka menggunakan teknologi terbaru agar lebih praktis, termasuk dalam hal pinjam-meminjam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, dalam konteks fikih muamalah, yaitu ilmu hukum Islam yang mengatur transaksikeuangan dan ekonomi, timbul permasalahan terkait keabsahan dan implikasi hukum pinjaman online. Untuk menjalankan bisnis mereka sesuai dengan syariah, umat Muslim menggunakan fkih muamalah sebagai pedoman penting. Dalam hal ini, penting untuk memahami perspektif dan aturan dari lembaga keagamaan seperti Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI ) yang bertanggung jawab untuk menetapkan aturan dan peraturan syariah terkait praktik keuangan termasuk yang sedang marak saat ini yaitu Pinjol ( Pinjaman Online).
Pinjaman Online dalam Perspektif Fikih Muamalah
Pinjamanonline dinilai sebagai solusi keuangan cepat namun banyak menimbulkan masalah. Dalam perspektif Islam, pinjaman online atau pinjol dianggap sebagai kegiatan yang meresahkan dan melanggar prinsip-prinsip muamalah. Hal ini disebabkan oleh pengenaan bunga yang tinggi pada pinjaman tersebut. Dalam Islam, bunga atau riba dianggap sebagai perbuatan haram.
Riba, yang juga dikenal sebagai bunga, merupakan praktik yang dilarang secara tegas dalam Islam. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman yang artinya, “Allah menghilangkan riba dan menyuburkan sedekah.” (2:276) dan dalam hadist disebutkan yang artinya, “Sesungguhnya Allah melarang riba, dan aku melarang segala penjual dan pembeli riba, dan aku melarang dua orang yang bertransaksi dalam riba, mereka semua sama (berdosa).” (HR. Muslim).
Selain itu, prinsipprinsip Islam sangat menentang tindakan penagihan yang dilakukan oleh sebagian pihak pinjaman online (pinjol) dengan menggunakan ancaman, mengungkap rahasia, atau menyebarkan aib orang yang berutang kepada orang-orang terdekat dan teman-temannya.Hal ini melanggar etika dan integritas dalam hubungan bisnis serta melanggar hak privasi dan kehormatan individu.Dalam Islam, menjaga kehormatan dan privasi orang lain adalah salah satu prinsip yang sangat penting. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim). Selain itu, Al-Qur’an juga menganjurkan untuk menjaga kehormatan dan tidak mencela orang lain. Oleh karena itu, praktik penagihan yang melibatkan ancaman, pengungkapan rahasia, atau pembeberan aib orang yang berutang adalah tindakan yang dilarang dalam Islam.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua layanan pinjaman dianggap haram. Bisnis pinjaman, baik offline maupun online, dapat dinyatakan halal jika sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti menghindari riba, gharar,maysir, tadlis, dharar, zhulm, haram, memastikan transaksi yang adil, transparan, dan jujur. Transparansi merupakan prinsip yang penting dalam fikih muamalah dan juga memiliki landasan dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Dalam Islam, penting bagi pemberi pinjaman untuk memberikan informasi yang jelas, komprehensif, dan transparan kepada peminjam terkait dengan semua biaya yang terkait dengan pinjaman yang diberikan.
Prinsip risiko dan tanggung jawab dalam pinjaman online juga memiliki landasan dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Baik peminjam maupun pemberi pinjaman online memiliki tanggung jawab dalam memahami dan mengelola risiko yang terkait dengan pinjaman tersebut. Peminjam harus mematuhi kewajiban pembayaran dengan penuh tanggung jawab, sedangkan pemberi pinjaman harus bertanggung jawab dalam memberikan pinjaman secara bijaksana dan mempertimbangkan kemampuan finansial peminjam.
Dalam perspektif fikih muamalah, prinsip gharar atau ketidakpastian dalam pinjaman online harus diperhatikan dengan menjelaskan secara jelas dan tegas semua syarat-syarat pinjaman dan mekanisme pembayaran agar transaksi tersebut bebas dari ketidakpastian yang berlebihan .
Syarat Diterima
Fatwa DSN-MUI Nomor117/DSN-MUI/IX/2018 mengenai pinjaman online menyatakan bahwa praktik ini dapat diterima secara syariah jika memenuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan, yaitu antara lain terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram. Untuk akadnya juga memenuhi prinsip keseimbangan, keadilan, kewajaran sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran pembiayaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan aturan syariah.
Aspek kesesuaian dengan prinsip syariah merupakan aspek yang mendasar dan menjadikan pembeda antara penyelenggara layanan konvensional dengan penyelggaraan layanan berdasar syariah karena dalam syariah tidak hanya profite oriented, namun juga berorientasi kemenangan di dunia dan di akherat.
Dalam pinjaman online setidaknya terdapat jenis-jenis akad yang diperbolehkan dalam teknologi keuangan, yaitu: Pertama, mudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-maal yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Kedua, musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana/modal usaha (ra’su al-maal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional. Ketiga, wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah). Keempat, qardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.
Regulasi yang ketat dan pengawasan menjadi perhatian dalam fatwa ini, dengan lembaga atau platform pinjaman online harus memperoleh izin dan tunduk pada pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Akhirnya, fatwa ini juga memberikan peringatan mengenai risiko yang terkait dengan pinjaman online, termasuk risiko keuangan dan penyalahgunaan, sehingga individu harus berhati-hati dan mempertimbangkan dengan bijaksana sebelum memutuskan untuk menggunakan pinjaman online.
OJK telah memberikan izin kepada pelaksana pinajamn online dengan jumlah 106 lembaga dan diantaranya terdapat 8 lembaga yang menerapkan prinsip syariah.
Kesimpulan
Pinjaman online dinilai sebagai solusi keuangan cepat namun banyak menimbulkan masalah. Dalam perspektif fikih muamalah, praktik pinjaman online yang menerapkan tingkat bunga tinggi dianggap haram karena melibatkan riba. Selain itu, penagihan pinjaman online yang melibatkan ancaman, pengungkapan rahasia, atau pembeberan aib individu dianggap melanggar etika, integritas, dan hak privasi menurut ajaran Islam. Menjaga kehormatan dan privasi orang lain merupakan prinsip penting dalam Islam.
Fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/IX/2018 menegaskan bahwa pinjaman online dapat diterima secara syariah jika memenuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan. Pinjaman harus bebas dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram ,harus transparan, adil, dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, regulasi yang ketat dan pengawasan diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.
Saran Penulis
Sebagai manusa dewasa sudah seharusnya kita lebih bijaksana , hati hati dan selektif dalam memilih pinjaman online. Gunakan Pinjol jika memang benar benar dibutuhkan dan pilihlah pinjaman online berbasis syariah. Pinjaman online berbasis syariah ini tentu telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam, sehingga diharapkan akan menjadi lebih aman untuk dipilih dalam melakukan transaksi pinjam-meminjam saat itu dibutuhkan.
Allahu’alam.
Penulis : Saimah, Mahasiswi STEI SEBI