Konflik dan Ketegangan Sunni–Syiah: Identitas, Politik, dan Jalan Menuju Rekonsiliasi

sunni syiah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Konflik dan ketegangan antara kelompok Sunni dan Syiah telah lama menjadi perhatian dunia Islam. Sayangnya, perbedaan ini kerap dipahami secara sempit sebagai persoalan teologis belaka. Padahal, dinamika tersebut mencerminkan lapisan kompleks yang mencakup identitas sosial, kepentingan politik, serta faktor historis yang mendalam.

Dalam konteks global maupun nasional, relasi antara Sunni dan Syiah tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga memengaruhi harmoni sosial serta kebijakan negara. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji bagaimana identitas sektarian terbentuk, bagaimana ia dieksploitasi dalam ranah politik, dan bagaimana jalan menuju rekonsiliasi dapat dibangun secara berkelanjutan.

Sunni, atau yang dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jamaah, merupakan salah satu aliran dalam Islam yang memiliki pengikut terbanyak di dunia dengan persentase sekitar 85–90%. Mayoritas umat Islam sepanjang masa merupakan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah, sehingga golongan lain sering menyebut aliran ini sebagai al-‘Ammah atau al-Jumhur, merujuk pada jumlah pengikutnya yang dominan.

Baca juga: Ketika Syiah Dijadikan Kambing Hitam: Stigma dan Realita di Indonesia

Istilah “Sunni” berasal dari kata sunnah, yang berarti mengikuti ajaran dan contoh hidup Rasulullah SAW, serta berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah. Ahlussunnah Wal Jamaah, atau sering disingkat Aswaja, lahir dari metode yang membedakan antara penafsiran dan penerapan teks wahyu (Al-Qur’an dan sunnah), dalam upaya memastikan kecocokan sebab hukum pada suatu kejadian (tahqiq manath) dan memahami sebab hukum itu sendiri (takhrij manath). Kelompok ini dikenal mampu mentransmisikan teks wahyu dengan baik. Setelah menafsirkan ayat-ayat mujmal (global), mereka dapat merealisasikannya dalam kehidupan nyata.

Aswaja menjadikan hadis sahih sebagai salah satu pilar agama. Melalui hadis-hadis tersebut, mereka menetapkan tiga pilar utama: iman, Islam, dan ihsan. Ketiganya kemudian melahirkan tiga cabang keilmuan yang saling melengkapi, yaitu: akidah, fikih, dan tasawuf/suluk.

  • Akidah mengajarkan dasar-dasar keyakinan yang benar mengenai ketuhanan, kenabian, dan hari akhir, yang menjadi fondasi seluruh bangunan keislaman seseorang.
  • Fikih mengatur tata cara ibadah, muamalah, dan hukum praktis dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memastikan bahwa amal umat Islam sesuai dengan syariat.
  • Tasawuf atau suluk berperan dalam menyucikan hati, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, ibadah menjadi tidak hanya bersifat formalistik, tetapi juga sarat makna.

Para ulama Aswaja memiliki kontribusi besar dalam tiga disiplin ilmu tersebut. Contohnya adalah Imam Asy’ari dan Maturidi dalam bidang akidah; Imam Syafi’i dan Malik dalam ilmu fikih; serta Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi dalam ilmu tasawuf. Keseimbangan antara ketiganya—yakni akidah yang lurus, fikih yang tepat, dan tasawuf yang mendalam—menjadi kunci dalam memahami dan mengamalkan Islam secara utuh, serta menjawab tantangan spiritual dan sosial di setiap zaman. Pendekatan holistik ini tidak hanya menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga memastikan relevansinya dalam kehidupan modern.

Aswaja tidak berhenti pada pemahaman literal terhadap teks wahyu. Ia juga menekankan pentingnya memahami realitas kehidupan secara mendalam. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qarafi dalam Tamyiz al-Ahkam, penerapan hukum Islam harus mempertimbangkan konteks sosial dan realitas yang dihadapi. Tanpa kesesuaian antara sebab hukum (‘illah) dengan kondisi aktual, penerapan hukum secara kaku justru dapat menyesatkan umat.

Pendekatan ini menegaskan bahwa Aswaja mengedepankan kesalehan kontekstual selain kesalehan tekstual, yakni upaya agar nilai-nilai Islam tetap hidup dan relevan dalam setiap zaman. Selain pemahaman terhadap teks wahyu dan realitas, Aswaja juga mengembangkan metodologi sistematis dalam memanifestasikan nilai-nilai absolut ke dalam realitas yang dinamis dan relatif. Para ulama Aswaja menuliskan secara rinci metode istinbath (penggalian hukum) dan kaidah-kaidah fikih seperti al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi pertimbangan hukum).

Tiga pendekatan utama—pemahaman teks, analisis realitas, dan metode aplikasi—menjadi ciri khas yang membedakan Aswaja dari kelompok-kelompok radikal. Kelompok radikal cenderung terjebak dalam pemahaman sempit, menganggap interpretasi subjektif mereka sebagai kebenaran mutlak. Mereka mengabaikan konteks historis, sosiologis, dan maqashid syariah (tujuan universal syariat), sehingga menghasilkan tindakan ekstrem yang bertentangan dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.

Ketidakmampuan memahami realitas serta ketiadaan metodologi aplikatif seperti yang diperingatkan Al-Qarafi menjadikan kelompok radikal tidak hanya tersesat, tetapi juga menyesatkan. Di sinilah peran Aswaja sebagai jalan tengah yang menyeimbangkan kesetiaan pada teks dengan kebijaksanaan dalam penerapannya, menjadikan Islam sebagai solusi, bukan sumber masalah.

Aswaja hadir sebagai golongan yang toleran dan mencerahkan. Ia menampilkan wajah Islam yang damai dan penuh kasih melalui prinsip-prinsip utamanya:

  1. Hati-hati dalam takfir (pengkafiran). Aswaja tidak mudah mengafirkan sesama Muslim kecuali dalam kondisi yang sangat jelas, seperti pernyataan terbuka keluar dari Islam. Bahkan, mereka tidak mengafirkan Muslim yang masih menghadap kiblat dalam salatnya. Terkadang, pihak yang mengaku sebagai Aswaja tetapi melakukan pengkafiran justru bukan bagian dari Aswaja sejati.
  2. Penolakan terhadap kekerasan dan ekstremisme. Aswaja menolak kekerasan dalam mencapai tujuan politik maupun ideologis. Mereka tidak menghalalkan penumpahan darah sesama Muslim, sebagaimana tercermin dalam syair Al-Burdah:
    “Para nabi semua meminta dari dirinya/Seciduk lautan kemuliaannya dan setitik hujan ilmunya.”
  3. Penerimaan terhadap keragaman pendapat: Baik dalam akidah, fikih, maupun tasawuf, Aswaja membuka ruang perbedaan yang berlandaskan dalil sahih. Ini menjadikan mereka penengah di tengah perbedaan umat, seperti jalan terang “yang malamnya seterang siangnya.”
  4. Pendekatan dakwah yang bijaksana dan persuasif: Dalam menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, Aswaja meneladani Rasulullah dengan pendekatan yang elegan dan tidak kasar. Seperti dikatakan dalam syair Al-Burdah:
    “Dialah Rasul yang sempurna batin dan lahirnya, terpilih sebagai kekasih Allah Pencipta manusia.”

Dengan prinsip-prinsip tersebut, Aswaja menjadi mercusuar dalam menghadapi kompleksitas zaman modern. Mereka menolak ekstremisme, merangkul perbedaan, dan mengedepankan kedamaian. Inilah yang membuat Aswaja tetap relevan sepanjang masa, sekaligus menjadi pembeda dari kelompok radikal yang terjebak dalam kekakuan berpikir dan bertindak.

Syiah merupakan salah satu mazhab penting dalam Islam yang memiliki identitas teologis dan pemikiran yang khas. Secara historis, komunitas Syiah muncul dari perbedaan pandangan tentang kepemimpinan (imamah) setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bagi Syiah, kepemimpinan umat Islam seharusnya dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang mereka anggap sebagai pemimpin yang diangkat secara ilahiah dan memiliki otoritas spiritual khusus. Konsep imamah dalam Syiah bukan hanya kepemimpinan politik, tetapi juga mencakup bimbingan spiritual dan interpretasi otoritatif terhadap wahyu.

Dalam praktik keagamaannya, Syiah memiliki beberapa perbedaan mencolok dari Sunni, seperti dalam tata cara salat, azan, puasa, dan ritual-ritual keagamaan seperti peringatan Asyura, yang mengenang kesyahidan Imam Husain di Karbala. Namun, sama seperti Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah), Syiah juga memiliki cabang keilmuan seperti akidah, fikih, dan etika spiritual yang sangat kaya. Tokoh-tokoh besar dalam Syiah seperti Imam Ja’far al-Shadiq, yang menjadi rujukan penting dalam fikih Ja’fari, telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan keilmuan Islam.

Penting untuk disadari bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah, meskipun signifikan secara teologis, tidak seharusnya menjadi alasan untuk permusuhan yang berkepanjangan. Banyak konflik yang terjadi selama ini justru disebabkan oleh kepentingan politik, manipulasi kekuasaan, dan retorika sektarian yang dibangun oleh elite-elite tertentu untuk mempertahankan dominasi atau menekan kelompok lain. Negara-negara di Timur Tengah, misalnya, sering kali menjadikan perbedaan Sunni-Syiah sebagai alat mobilisasi politik atau bahkan justifikasi kekerasan.

Dalam konteks Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya menganut paham Sunni (khususnya Aswaja), terdapat pula komunitas Syiah yang hidup berdampingan. Sayangnya, ketegangan dan prasangka terhadap Syiah kadang muncul akibat kurangnya pemahaman yang menyeluruh serta disinformasi yang disebarkan oleh pihak-pihak intoleran. Padahal, prinsip dasar dalam Islam seperti ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan rahmatan lil ‘alamin semestinya menjadi fondasi untuk membangun hubungan yang harmonis antar sesama umat Islam, tanpa menghapus ruang bagi perbedaan.

Jalan Menuju Rekonsiliasi: Pendekatan Inklusif dan Dialog Terbuka

Upaya rekonsiliasi antara Sunni dan Syiah harus dimulai dari kesediaan untuk memahami dan menghargai perbedaan. Ini bukan berarti menghapus identitas masing-masing kelompok, tetapi membangun jembatan dialog yang sehat dan produktif. Pendidikan keagamaan yang moderat dan kontekstual menjadi kunci dalam membentuk generasi muslim yang mampu membedakan antara perbedaan teologis dan permusuhan pribadi.

Baca juga: Isu Anti-Syiah Di Indonesia: Analisis, Media, Politik Identitas dan Implikasi Sosial

Institusi keagamaan, ulama, dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam membimbing umat menuju sikap saling menghormati. Pemerintah juga memegang tanggung jawab besar untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas, termasuk Syiah, serta mencegah penyebaran ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, Islam membutuhkan wajah yang damai, inklusif, dan solutif. Aswaja, dengan pendekatan moderatnya, dapat menjadi contoh bagaimana Islam dapat hidup berdampingan dengan berbagai pemikiran dan tetap setia pada nilai-nilai universal. Begitu pula, Syiah sebagai bagian dari khazanah Islam harus dihargai sebagai kekayaan pemikiran yang turut menyumbang pada perkembangan peradaban Islam secara luas.

Penulis: Abdul Rosyid, Dosen serta Atiqotu Nihai Romadlon, Tina Faradisa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *