Kisah Si Keong Putih

Kisa Si keong putih

Mata Akademisi, Milenianews.com – Sekilas judul tulisan ini rasanya sebuah lelucon, bak cerita pengantar tidur untuk anak TK. Biasanya seorang ibu memulainya dengan kata, pada zaman dahulu kala dan bla-bla-bla. Tapi saya mengkapling definisi si Keong Putih dalam tulisan ini adalah seorang gadis cantik yang diperebutkan oleh para jejaka.

Kata-kata ini biasanya bagi seorang perempuan distigmakan sebagai “gombalan” yang dahulunya pada dekade 90-an masih mendereti lembaran surat cinta. Kini lembaran-lembaran surat itu tidak lagi terpajang di etalase toko buku karena penggombal telah menggunakan perangkat teknologi untuk menjaring targetnya.

Ya, ini sebuah kisah semasa ber-HMI. Bukan pengalaman pribadi penulis tapi sekedar mengenang sebuah kisah yang sempat fenomenal di lingkup HMI Cabang Kupang pada periode 2000-an. Cerita tentang si Keong Putih. Saya tidak terlalu mengikuti persis ceritanya tapi akhir kisah ialah tentang upaya sabotase surat cinta.

Baca Juga : People Power Dalam Pandangan Mata Akademisi, Sangat Berbahaya

Konon seorang senior melayangkan surat cinta untuk kader Kohati (Korps HMI-Wati) dengan sederetan kata pujangga lalu dititipkan pada seorang kurir (juniornya) dalam amplop putih nan-harum. Tunggu-menunggu kabar tak kunjung terbalas. Jangankan membalas suratnya, si-Kohati bahkan tidak dapat merasakan tajamnya kata gombalan yang menghujam hatinya.

Ternyata oh ternyata, surat yang dimaksud telah disabotase oleh kurirnya sendiri dengan mengubah asal surat darinya dan mengubah tujuan suratnya pada Kohati yang menjadi targetnya. Saya sendiri tak pernah membaca suratnya tapi jika mengenang sosok si penulis asli, saya yakin siapapun Kohati yang menerima pasti terkapar lemas karena terbuai panah asmara.

Astaga, saya terlampau terbawa emosi dan ingin bernostalgia kembali ke masa ber-HMI. Bagi pembaca umum, mungkin kisah ini tidak menarik tapi bagi generasi seangkatan yang mengikuti proses dimaksud pasti ingin rasanya menemukan kembali surat itu dan mengurainya menjadi status gombalan di lini masanya.

Sengaja saya memulai dengan kisah ini karena tulisan ini akan menjadi kado terindah atas penyelenggaraan Musyawarah Wilayah I Korps Alumni Kohati [FORHATI] Provinsi NTT. Panitia memintanya khusus, ada beberapa kader yang sudah menulisnya dan rasanya tak lengkap jika diawal kembalinya semangat berorganisasi kader-kader terbaik Kohati (yang telah alumni) kita tidak menyahutinya dengan menggetarkan semangat mereka. Dan judul diatas sebagai pemantik untuk memulainya.

Pertanyaannya, siapa si kurir yang mensabotase surat cinta itu? Konon katanya beliau kini lebih dikenal dengan sapaan akrab Guskur. Beliau adalah sosok kader militan di lingkup HMI Cabang Kupang pada dekade 2001-an yang menuntaskan hampir semua jenjang pengkaderan selama ber-HMI. Bahkan hingga kini masih aktif bergabung didalam KAHMI Kota Kupang, sekaligus menjabat sebagai pembesar OKP level nasional di Kota Kupang.

Guskur, izin saya mengidolakan Gus dalam urusan hati-nya Kohati meskipun pada akhirnya Gus tidak mempersunting Kohati sebagai pendamping hidup hingga kini. Entahlah kedepan mungkin Gus berniat menunaikan sunnah Rosulullah, bismillah. Terserah Gus untuk diniatkan.

Nah, cukuplah bercerita tentang insiden sabotase yang nyaris mengarah pada kudeta cinta si Keong Putih. Yang pasti, bagi Guskur cintanya pada Kohati takkan pernah luntur terlekang waktu, bukan pada person tapi pada organ kelembagaannya.

Semangat Gus inilah yang menjadi alasan menguraikan tema besar Muswil Forhati NTT kali ini, “Menyongsong Peradaban Baru FORHATI NTT Menuju NTT yang Berkemajuan”.

Saya memulainya dengan songsong Peradaban Baru, dan secara kebetulan kini tengah bergema pola peradaban hidup baru dengan penyebutan New Normal akibat Covid-19. Sebelum desah konsep New Normal dipertegas dalam berbagai kebijakan pada awal Juni 2020, saya sudah menulisnya dalam sebuah opini yang dimuat di beberapa media online dan tersalur dalam buku Vaksin Ilmiah edisi I [April 2020] dan edisi II [Mei 2020].

Dalam edisi pertama saya mempertanyakan hadirnya Covid-19, apakah sebuah bencana ataukah sebuah berkah. Pandemi Covid-19 yang adalah trible kesehatan global, ada yang mensitesanya sebagai konspirasi karena dampaknya mencakupi berbagai sektor kehidupan.

Ya, konspirasi yang menggeser percepatan berlakunya Revolusi Industri 4.0 pada berbagai sistem kehidupan sehingga naif jika Covid-19 hanya dimaknai sebagai sebatas bencana. Seyogyanya pandemik ini juga harus dimaknai sebagai berkah yang mendatangkan perubahan sistem nilai baru karena pada hakekatnya perubahan itu nyata.

Berbagai ahli mencurahkan isi kepalanya untuk berpikir tentang bagaimana cara mengatasi Covid-19 ini, pemerintah dengan segala daya dan kuasanya menggerakkan semua lini elemen bangsa untuk bersatu padu dalam prosedur terstandar agar virus ini segera berlalu.

Pertanyaannya, apakah yang diperoleh setelah berlalunya virus ini? Adakah unsur nilai kebaruan dari tradisi berkehidupan dengan menggeser sedikit kebiasaan kita yang pasrah pada nestapa kebencanaan? lantas berharap, kapan datangnya bala bantuan untuk berbenah dengan kemajuan peradaban?

Dalam konteks covid-19 sebagai bencana kesehatan lingkungan, seyogyanya memicu manusia terus berkembang melakukan penetrasi dan inovasi, baik teknologinya hingga kebijakan dan teknis operasionalnya, bukan malah terpaku dikungkung oleh ketidakpastian hingga membunuh semangat optimisme untuk terus berkembang. Kasali (2019) mengutip semangat optimisme Peter Theil “every time we create something new, we go from zero to one” sehingga biarlah virus corona berlalu menapaki waktu sementara kita terus melangkah dari nol ke satu.

Berbagai virus lainnya yang sudah pernah melanda dunia, tentunya menimbulkan korban moril maupun material dan menggeser berbagai pola kehidupan, dan demikian pula hadirnya virus corona harus dimaknai sebagai salah satu pintu masuk ke era cyber physical system yang cenderung memanfaatkan interaksi secara cyber dan digital.

Hal demikianlah yang mencerminkan revolusi industri 4.0 bahwa pekerjaan low skill hingga high skill yang dikerjakan oleh manusia hari ini kedepannya pekerjaan akan diperankan oleh robot-robot. Kelak dimasa itu, manusia berada pada perannya sebagai middle skill dan bahkan berada pada high skill labour, dimana manusia kembali pada khittoh penciptaannya sebagai pencipta [innovator], bukan sebagai mesin. Olehnya Kisworo [2020] menyarankan untuk terus melakukan peningkatan skill, termasuk membangun sarana dan prasarana penunjang teknologi serta mentaktisi mekanisme teknsi di dalam pasar.

Kedepannya, Jeremy Limman [2020] memprediksi akan terjadi perubahan pola kebiasaan dan menjadi sebuah fenomena yang mendorong munculnya pola kerja baru dengan berpusat pada software atau artificial intelligence sebagai dampak dari perubahan zaman. Berbagai sektor urusan secara perlahan mulai peka terhadap teknologi, demikian juga industri manufaktur menggunakan teknologi robotik sebagaimana telah diterapkan di berbagai industri besar.

Terkait apapun kemajuan teknologi informasi yang dimaksud, semuanya mengarah pada visi masa depan sehingga apapun risikonya, kebijakan harus lebih fleksibel dalam menghadapi kemajuan sebagai langkah awal mempersiapkan datangnya perubahan. Malcolm X [2003] berpesan bahwa, the future belongs to those who prepare for it today, sehingga apapun pilihan harus ada skenario yang tidak kaku dalam memahami dan mengimplementasikan kebijakan.

Rasanya beberapa paragraf berlalu, penulis terlampau menyeret jauh tulisan ini keluar dari judul aslinya dan masuk pada bahasan soal Covid, khususnya New Normal. Ya, saya menyambungkannya dengan tema MusWil I Forhati NTT kali ini.

Forhati adalah sebuah wadah berorganisasinya mantan aktivis HMI-Wati [Kohati] yang dicetuskan pada 21 tahun silam sebagai upaya mereposisi peran strategis perempuan HMI dalam kancah persaingan global. Dalam balutan sosiologi, budaya patriarki hanya memposisikan kaum perempuan pada golongan klaster kedua setelah lelaki.

Jika menilik hari lahirnya Forhati, seolah KAHMI baru menyadari pentingnya peran perempuan dalam kancah publik namun sesungguhnya inangnya telah terbangun sejak 11 Juni 1966 melalui lahirnya KOHATI. Lantas kenapa sedemikian lamanya baru terwadahi para alumni Kohati dalam sebuah organisasi resmi? Sementara realitasnya banyak kader alumni Kohati telah menunjukan eksistensinya bersaing bersama KAHMI maupun elemen perempuan lainnya di luar HMI/KAHMI. Termasuk Forhati NTT yang baru hadir 7 tahun silam dengan berbagai kesendatan ruang, seolah keong putih yang merayap pelan menemukan eksistensinya.

Mungkin inilah sisi berkah dari hadirnya Covid-19 untuk menyadarkan kader alumni Kohati untuk kembali berdiri tegak menunjukkan kualitas dan bersinergi membangun bangsa. Hal ini bukan soal kualitas tapi soal kesempatan yang hampir tak pernah diberikan, dan kesempatan itu hanya datang bila para mantan aktivis Kohati ini diberikan ruang dan panggung untuk mengayuhkan nilai faminismenya ke ruang publik.

Kita tidak sedang membanding-bandingkan antara lelaki maupun perempuan, tapi secara kodrati, sifat Rahimnya Allah hanya dimiliki secara fisikal oleh perempuan dan olehnya kemutlakan kualitas kasih sayang seorang Ibu tentunya lebih bernilai tinggi pada anaknya.

Bahkan riset yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari University of Washington membuktikan bahwa gen kecerdasan seorang anak manusia dikontribusikan 60% dari gen ibu. Sayangnya, sekian lama gen kecerdasan dari sang perempuan HMI [Forhati] hanya dibatasi dalam kungkungan ruang domestik. Kita tentu tidak mengkultuskan secara universal, mungkin ada kejadian kasuistik yang membantah sintesa ini tapi kita juga menyadari realitas akan kerahiman seorang perempuan, khususnya Ibu.

Semasa pandemik, anak-anak kita dikekang belajar dari rumah dan beribadah di rumah. Tentunya hal ini dihikmati sebagai upaya mendekatkan anak pada keluarga inti, dan juga menguji kualitas kerahiman sang Ibu, apakah masih berdampak untuk pembentukan kesholehan anaknya?

Saya tidak menyajikan riset ilmiahnya, tapi kita mengamini kemampuan seorang perempuan dalam menebar pesona kasih sayangnya, sehingga kisah keong putih sebagai pengantar di atas pun menjadi fenomenal dimasanya. Seorang lelaki tak akan mungkin terilhami untuk menggoreskan kata-kata gombalan bila bukan karena nilai kasih sayang Allah telah menyelimuti kesholehahann seorang perempuan.

Semua itu karena pancaran kerahiman hingga memercikkan api-api asmara, dan seterusnya. Dari sisi inilah saya berharap besar untuk menitipkan harapan agar Forhati ini harus dihidupkan, harus dipacu nilai manfaatnya agar semua elemen dapat menikmati nilai-nilai kerahiman dalam membangun peradaban baru kedepannya.

Lantas dimanakan poin penting kata ‘berkemajuan’ dari tema MusWil ini? Adanya pada peralihan masa. Kita mengakui perubahan peradaban ini hadir karena covid-19 dimasa generasi Z mulai dipaksakan untuk mempercepat lajunya fase revolusi industri 4.0 dan berpindah ke fase Societi 5.0.

Dan untuk persoalan ini, generasi Z-lah yang lebih pantas mengendalikan roda peradaban, kenapa? Ya karena mereka lahir dan dibesarkan dalam rahim perubahan sehingga lebih adaptif terhadap berbagai dinamika dan gangguan serta lebih tangguh menghadapi berbagai persaingan internal maupun eksternal.

Mereka (generasi Z) memikirkan masa depan mereka, memikirkan masa depan anak cucu mereka, dan buat seorang perempuan di generasi-Z juga memikirkan kodrat kerahiman mereka. Singkat kata, saya ingin mengatakan bahwa ini adalah masa bagi kaum muda karena merekalah agen perubahan yang mampu memperantarai proses perubahan di zaman ini.

Forhati diawal kemandiriannya membangun NTT ini, bersamaan dengan hadirnya dinamika perubahan eksternal maka seyogyanya sudah harus mempertimbangkan untuk dilakukan regenerasi secara struktural maupun fungsional. Bagi saya, hanya generasi Z yang mampu menyeimbangkan antara peran struktur dan fungsi kerahimannya dalam ancaman global seperti saat ini.

Memang, kita masih membutuhkan senior sebagai guide untuk menuntun mereka memasuki kapal baru ini agar nasihat senior tetap terjaga sebagai pengawal marwah tapi untuk urusan fungsional sebaiknya diserahkan kepada kelompok generasi-Z untuk mengeksekusinya. Jika ruang ini diberikan, maka kita akan memanen manfaat dari kualitas Kohati/Forhati di ranah publik skala lokal, regional maupun nasional pada dekade 5-10 tahun kedepannya.

Mengakhiri tulisan ini, saya sampaikan permohonan maaf khusus pada Guskur, kepada si Keong Putih dan khusus kepada si penulis aslinya.

Baca Juga : Ingin Kuliah S2? Ikuti Acara OHMIK Universitas Nusa Mandiri

Terima kasih sudah memberikan pengharapan baru untuk perubahan fungsi Kohati/Forhati menuju peradaban baru yang lebih berkemajuan. Bagi segenap Kohati teruslah memupuk kualitas kerahiman kalian kala masih ber-HMI.

Kepada seorang mantan Kohati yang kini menjaga anak-anakku, kutitipkan masa depan calon HMI dihatimu, dan terkhusus Forhati NTT yang sedang menikmati panasnya suhu MUSWIL, teruslah menebarkan pesona kerahiman kalian. Kami menunggu peran dan fungsinya yang tidak hanya sebagai pemantik bagi HMI-Wan dan KAHMI tapi kepada umat dan bangsa. Selamat ber-MusWil.

(tulisan ini dipersembahkan sebagai kado Muswil I Forhati NTT, 28 Juni 2020 di Kupang)

Penulis : Ketua Umum HMI Cabang Kupang [2005-2006] dan Sekretaris Umum MW. KAHMI NTT [2016-2021].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *