Mata Akademisi, Milenianews.com – Sejarah pemikiran Islam penuh dengan dinamika dan perbedaan teologis yang melahirkan beragam aliran. Di antara sekian banyak perbedaan, munculnya dua kelompok ekstrem pada masa awal Islam, yaitu Khawarij dan Murji’ah, menjadi titik penting dalam perkembangan teologi Islam. Kedua kelompok ini mewakili dua kutub yang berlawanan dalam memahami relasi antara iman, amal, dan dosa besar.
Aliran Khawarij dan Murji’ah muncul pascap peristiwa Tahkim yang terjadi setelah Perang Shiffin. Khawarij terbentuk dari kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib yang kecewa karena Ali setuju berdamai dengan Muawiyah melalui mediasi, sebagaimana dijelaskan oleh Abu ‘Ala al-Maududi dalam Al-Khilafah wa al-Mulk dan Thaib Abdul Muin. Sementara itu, Murji’ah lahir sebagai reaksi atas konflik politik setelah terbunuhnya Utsman bin Affan dan perselisihan antara Khawarij dan Syiah. Murji’ah mengusung sikap netral dan berupaya mempersatukan umat dengan menolak sikap Khawarij yang mudah mengkafirkan, serta menyerahkan urusan dosa seorang mukmin kepada Allah.
Baca juga: Jejak Sejarah dan Realita Sekarang: Khawarij Vs OPM di Papua
Khawarij muncul sebagai reaksi atas arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah setelah Perang Shiffin dan dikenal sebagai kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar serta menganggap iman harus dibuktikan dengan amal nyata. Sementara itu, Murji’ah memandang bahwa iman cukup dengan keyakinan di hati, dan amal tidak memengaruhi keimanan seseorang. Kedua pandangan ini, meskipun bersumber dari sejarah klasik, memiliki gema yang terus berlanjut hingga era modern dalam bentuk ekstremisme dan permisivisme keagamaan.
Khawarij dalam Konteks Kekinian: Ekstremisme Berbasis Takfir
Dalam konteks kekinian, paham Khawarij dapat dikenali dalam kelompok-kelompok radikal yang menggunakan dalih “pemurnian agama” untuk mengkafirkan kelompok Muslim lain. Mereka mengklaim kebenaran tunggal atas tafsir agama, serta membenarkan kekerasan terhadap siapa pun yang dianggap menyimpang. Hal ini mirip dengan sikap Khawarij yang pada masa lalu menganggap siapa pun yang tidak sepaham sebagai murtad, bahkan terhadap sahabat sekalipun. Aksi terorisme, pengkafiran massal, dan sikap intoleran merupakan bentuk nyata dari warisan teologis Khawarij yang dipraktikkan tanpa memperhatikan maqasid al-syari’ah dan nilai kemanusiaan universal dalam Islam.
Sebaliknya, Murji’ah dalam dunia modern terlihat pada sikap sebagian Muslim yang mengabaikan pentingnya amal dalam beragama. Mereka cenderung menekankan iman sebagai hal batiniah semata tanpa menuntut konsistensi dalam perilaku sosial. Fenomena ini berbahaya ketika keimanan hanya dijadikan klaim personal tanpa tanggung jawab etis dalam masyarakat. Akibatnya, agama hanya menjadi identitas pasif, dan ajaran Islam kehilangan fungsi transformatifnya dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Permisivisme seperti ini dapat melemahkan semangat amar ma’ruf nahi munkar dan mengikis nilai keadilan sosial yang diajarkan dalam Islam.
Kedua kutub ekstrem ini menunjukkan pentingnya pendekatan moderat (wasathiyah) dalam memahami dan mengamalkan Islam. Islam bukan sekadar sistem keyakinan, melainkan jalan hidup yang mengintegrasikan antara iman dan amal, antara hak individu dan tanggung jawab sosial. Jalan tengah ini menghindarkan umat Islam dari jebakan sikap menghakimi secara berlebihan (ekstrem kanan) maupun sikap membiarkan segala penyimpangan (ekstrem kiri). Dalam realitas masyarakat plural dan kompleks saat ini, pendekatan moderat adalah kebutuhan yang mendesak untuk membangun umat yang inklusif, toleran, dan adil.
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Sejarah
Khawarij dan Murji’ah memberikan pelajaran tentang kompleksitas perkembangan pemikiran dalam Islam. Meskipun ekstrem, keduanya tetap memberikan pelajaran yang berharga. Kedua kelompok ini, meskipun memiliki pandangan yang bertolak belakang, sama-sama berkontribusi dalam memperkaya wacana teologis Islam. Khawarij dengan keteguhan prinsipnya mengingatkan akan pentingnya konsistensi antara nilai-nilai agama dan praktik politik. Dari Khawarij kita belajar tentang pentingnya keseriusan dalam beragama, sementara Murji’ah mengajarkan nilai toleransi dan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan. Dari Murji’ah, kita belajar tentang kasih sayang dan pengampunan, namun tetap harus kritis terhadap penyimpangan.
Baca juga: Pemikiran Teologi Khawarij dan Relevansinya terhadap Fenomena Ekstremisme di Era Modern
Dalam konteks kontemporer, studi terhadap Khawarij dan Murji’ah dalam perspektif kekinian bukan hanya relevan sebagai kajian sejarah, melainkan penting untuk menganalisis dinamika ideologi keagamaan masa kini. Polarisasi teologis antara mengabsolutkan amal atau menafikannya harus diwaspadai dan dikritisi. Pemahaman mendalam terhadap dua kutub ini dapat menjadi pijakan untuk membentuk keislaman yang rasional, kontekstual, dan transformatif. Islam tidak hanya bicara soal surga dan neraka, tetapi juga tentang bagaimana mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan di dunia nyata.
Pemahaman terhadap akar historis kedua kelompok ini dapat membantu kita memahami secara lebih kritis berbagai fenomena pemikiran dalam dunia Islam modern, agar umat Islam mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijak dan tidak terjebak dalam ekstremitas berpikir. Keduanya mewakili kecenderungan yang terus berulang dalam sejarah pemikiran Islam. Dengan demikian, kajian atas Khawarij dan Murji’ah tidak hanya menjadi pelajaran sejarah, tetapi juga bekal dalam membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Penulis: Nur Izzah, Dosen serta Aldayanti,Wafa Zam Zam Nurul Aini, Inayatul Laila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.