Milenianews.com, Mata Akademisi– Orang-orang yang gemar memakmurkan masjid adalah orang-orang yang istimewa. Lalu, apa maksud memakmurkan masjid? Dan siapa yang termasuk orang-orang yang memakmurkan masjid?
Tentang kriteria orang yang memakmurkan masjid disebutkan dengan sangat jelas di dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah, maka mereka orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Taubah/9: 18).
Di dalam kitab Tanqihul Qaul, Syaikh Nawawi menggali beragam arti memakmurkan masjid. Pertama, memakmurkan masjid adalah membiasakan diri ke masjid. Pengertian ini pararel dengan sabda Nabi, “Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia orang beriman.” Hadits ini selain dikutip Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, dikutip juga oleh Syaikh Utsman dalam Durratun Nashihin.
Sabda Nabi di atas pararel juga dengan kriteria orang yang memakmurkan masjid yang pertama, yakni orang yang beriman kepada Allah. Dalam Tafsir Munir, Syaikh Nawawi menjelaskan soal ini. Menurutnya, masjid adalah tempat untuk menyembah Allah. Orang yang tidak beriman kepada Allah tidak akan membangun masjid dan tidak akan menyembah Allah di dalamnya. “Sungguh masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.” (QS. al-Taubah/9: 108).
Kedua, memakmurkan masjid adalah pulang-pergi ke masjid. Pemahaman ini sesuai dengan sabda Nabi, “Apabila kalian melihat seseorang pulang-pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia orang beriman.” (HR. Turmudzi). Yang dimaksud orang beriman di sini sama seperti makna orang beriman pada hadits pertama, yakni beriman kepada Allah, hari kiamat, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Pulang-pergi di sini maksudnya untuk beribadah.
Bagi Syaikh Nawawi, yang dimaksud pulang-pergi (al-i’tiyad) dari masjid dan menuju masjid adalah hatinya terkait dengan masjid. Tepatnya, sejak orang itu keluar dari masjid hingga kembali ke masjid lagi. Di samping itu, dapat juga dikatakan bahwa orang itu begitu mencintai masjid dan senantiasa menjaga shalat berjamaah di masjid. Tidak termasuk kategori ini adalah orang yang hanya duduk-duduk saja di masjid, tidak beribadah.
Terkait soal ini, Nabi memberi informasi, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (salah satunya adalah) seorang yang hatinya bergantung ke masjid.” (HR. Bukhari). Dalam redaksi yang hampir serupa, “Seorang yang hatinya terpaut dengan masjid, apabila ia keluar dari masjid hingga kembali kepadanya.” (HR. Turmudzi).
Ketiga, makna memakmurkan masjid adalah berjanji setia kepada masjid, seperti sebuah hadits yang ditulis Imam Turmudzi. Namun salam sejarah Islam, ada masjid yang dilarang untuk berjanji setia kepadanya atau dimakmurkan. Masjid itu adalah masjid dhirar. Disebut dhirar karena menyaingi dan membahayakan Masjid Quba di Madinah. Masjid dhirar itu sendiri berdiri tak jauh dari Madinah. Nabi memerintahkan untuk menghancurkan masjid tersebut.
Ini alasannya, “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang beriman), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang beriman serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan’. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (QS. al-Taubah/9:107).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin, MA., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok












