Isra Mikraj dan Kepemimpinan

Dr. KH. Syamsul Yakin MA.,  Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung,  Kota Depok. (Foto: Milenianews.com)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Dalam kitab Dardir ala Qishatil Mikraj gubahan Sayyid Ahmad al-Dardiri (wafat 1786 Masehi) disebutkan bahwa Nabi diperintah Allah memimpin shalat berjamaah bagi para rasul dan malaikat dalam perjalanan Isra Mikraj yang ditemani Jibril ketika itu.

Nabi Muhammad ternyata bukan hanya jadi pemimpin di bumi, tapi juga di langit. Bukan hanya di Mekkah tapi juga di Madinah. Bukan hanya bagi kaum Muslim, tapi juga Nasrani dan Yahudi. Setelah Nabi Muhammad wafat kepimpinan Nabi Muhammad  diteruskan oleh khalifah yang empat, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Palestina yang kini sedang dibombardir dengan mortir dulu pernah direbut oleh Shalahuddin al-Ayyubi (wafat 1193 Masehi). Beliau adalah pemimpin paling heroik dan fenomenal saat Perang Salib hingga mampu menguasai Yerusalam (Darussalam).

Lalu apa kepimimpinan itu? Apa fungsinya dan apa hukum memilih pemimpin itu? Dalam karya terkenalnya, yakni al-Ahkam al-Sulthaniyah, Imam al-Mawardi (wafat 1058 Masehi) menjawab tiga pertanyaan di atas. Pertama, kepemimpinan adalah menggantikan posisi kenabian,  baik sebagai pemimpin agama maupun negara.

Sebab bagi Imam al-Ghazali (wafat 1111 Masehi) agama adalah negara dan negara adalah agama. Dalam kitab al-Iqtishad fi al-Itiqad beliau menyatakan al-Din wa al-Daulah tawamani atau agama dan negara layaknya saudara kembar.

Kedua, fungsi kepemimpinan itu ada dua. Pertama, menjaga agama. Kedua, mengatur negara. Oleh karena itu agama dan negara tidak berdiri pada posisi diameteral. Ini ungkapan al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, “Keteraturan agama sangat tergantung  dengan keteraturan negara. Sedangkan keteraturan negara sangat tergantung dengan pemimpin yang ditaati”.

Ketiga, memilih pemimpin berdasar konsensus ulam (ijma’  ulama) hukumnya wajib. Artinya memilih pemimpin itu sangat penting. Sampai-sampai Ibnu Taymiyah (wafat 1328 Masehi) mengatakan bahwa empat puluh malam di bawah kepemimpinan seorang zalim masih lebih baik ketimbang satu malam tanpa pemimpin.

Secara teologis, argumentasi ikut serta dalam memilih pemimpin dapat dibaca dalam makna ayat berikut, “Wahai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. al-Nisaa/4: 59). Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat ini, menurut Ibnu Katsir (wafat 1373 Masehi) dalam tafsirnya adalah ulama atau cendekiawan.

Terakhir tentang persona yang layak dipilih jadi pemimpin ada empat. Pertama, pemimpin yang turut merasakan penderitaan rakyatnya. Kedua, pemimpin yang sangat mengharap rakyatnya kosisten beriman. Ketiga, pemimpin yang amat belas kasih. Keempat, pemimpin yang penyayang bukan pemberang.

Keempat kriteria tersebut dirangkum dalam makna ayat ini, “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin” (QS. al-Taubah/8: 128).

Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA.,  Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung,  Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *