Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan moral yang semakin kompleks, Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi kebutuhan mendesak bagi setiap individu, khususnya generasi muda saat ini. Fenomena memprihatinkan terkait permasalahan moral dan akhlak remaja, seperti meningkatnya kasus pencurian, tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, hingga tindakan destruktif lainnya, semakin memperlihatkan betapa pentingnya penanaman nilai-nilai agama sejak dini.
PAI tidak hanya berperan sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman teori tentang ajaran Islam, tetapi juga sebagai fondasi utama dalam membangun akhlak mulia dan kepribadian yang kokoh. Pendidikan agama yang baik bertujuan untuk mencetak individu yang cerdas secara intelektual, unggul dalam moral, dan kuat secara spiritual, sehingga mampu menjadi agen perubahan yang positif di tengah masyarakat.
Baca juga: Solusi Inovatif Mengatasi Kebosanan dalam Pembelajaran Sejarah Pendidikan Agama Islam
Namun, untuk mencapai tujuan besar ini, pendidikan agama tidak bisa dilaksanakan secara parsial. Dibutuhkan sinergi yang kuat antara orang tua, lingkungan masyarakat, serta guru sebagai garda terdepan dalam proses pendidikan formal. Guru memegang peran strategis yang tak tergantikan dalam dunia pendidikan. Mereka bukan hanya penyampai materi, tetapi juga menjadi panutan yang diteladani oleh peserta didik dalam tutur kata, sikap, dan perbuatan.
Oleh karena itu, seorang guru PAI harus memiliki kompetensi yang mumpuni, mulai dari pemahaman mendalam terhadap materi ajar, kemampuan pedagogis yang baik, hingga komitmen tinggi dalam menjalankan amanah sebagai pendidik.
Namun, di balik tugas berat yang diemban oleh guru, terdapat aspek yang tak kalah penting: evaluasi pembelajaran. Evaluasi adalah elemen krusial yang tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan. Bukan sekadar alat untuk mengukur pencapaian akademik siswa, evaluasi juga menjadi instrumen penting untuk meninjau efektivitas metode pengajaran dan mengevaluasi sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Tanpa evaluasi yang tepat, guru akan kesulitan dalam memahami kemampuan siswa dan menyusun strategi pembelajaran yang lebih adaptif.
Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem evaluasi konvensional yang selama ini digunakan justru sering kali menambah tekanan mental siswa. Ujian tulis yang kaku, seragam, dan kurang variatif seringkali tidak mampu mengakomodasi keragaman gaya belajar siswa. Akibatnya, banyak siswa yang tidak mampu menunjukkan potensi terbaik mereka bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena sistem evaluasi yang tidak memperhatikan karakteristik mereka.
Tekanan ini berdampak besar tidak hanya pada performa akademik siswa, tetapi juga pada motivasi belajar mereka. Kecemasan yang berlebihan justru menjauhkan siswa dari esensi pembelajaran itu sendiri. Ironisnya, dalam konteks PAI, tujuan utama pendidikan agama yang seharusnya membentuk karakter dan memperhalus akhlak malah tergerus oleh sistem evaluasi yang menakutkan.
Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan inovasi dalam sistem evaluasi. Evaluasi seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga harus mampu menyentuh ranah afektif dan psikomotorik siswa, menggali kemampuan berpikir kritis, sikap spiritual, serta keterampilan sosial mereka. Evaluasi yang ideal adalah evaluasi yang fleksibel, interaktif, partisipatif, dan relevan dengan kehidupan nyata siswa.
Di sinilah integrasi teknologi dalam evaluasi PAI menjadi sangat relevan. Teknologi digital menawarkan peluang besar untuk mentransformasi sistem evaluasi menjadi lebih humanis dan kontekstual. Dengan aplikasi-aplikasi digital yang inovatif, evaluasi dapat dilakukan dengan cara yang lebih menyenangkan, personal, dan adaptif.
Platform seperti Kahoot, Wordwall, Quizizz, hingga Google Forms dengan fitur analitiknya, kini menjadi pilihan populer di kalangan pendidik. Aplikasi-aplikasi ini memungkinkan guru untuk mengadakan kuis interaktif berbasis permainan, asesmen berbasis aktivitas, serta ujian daring yang lebih fleksibel, sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
Kahoot, misalnya, memungkinkan guru untuk menyusun kuis yang interaktif dan seru dengan waktu terbatas. Suasana kompetitif yang tercipta mampu membangkitkan semangat siswa dalam mengevaluasi pemahaman mereka terhadap materi PAI. Selain itu, platform ini juga memberikan visualisasi langsung hasil jawaban siswa, memungkinkan guru untuk menganalisis tingkat penguasaan materi dan pola kesalahan yang muncul. Sementara itu, Wordwall memungkinkan guru untuk mengevaluasi aspek afektif dan psikomotorik siswa dengan fleksibilitas yang lebih tinggi.
Dengan template-template interaktif seperti “Matching Pairs” atau “Sorting Games”, guru dapat menyusun kegiatan yang mengajak siswa untuk merefleksikan sikap dan perilaku mereka sesuai dengan ajaran Islam. Aktivitas semacam ini membimbing siswa untuk memahami bagaimana nilai-nilai agama dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Platform lain, seperti Padlet dan Flip, bisa digunakan untuk evaluasi berbasis refleksi video. Siswa dapat merekam video pendek tentang pengalaman mereka dalam menerapkan nilai-nilai Islam seperti kejujuran, tanggung jawab, dan toleransi, yang kemudian dievaluasi oleh guru.
Evaluasi seperti ini memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam dalam bentuk nyata. Di sisi lain, untuk aspek psikomotorik, seperti praktik ibadah (salat, wudu, azan), siswa dapat mengunggah video mereka untuk dievaluasi oleh guru, sesuai dengan rubrik yang telah ditentukan.
Pemanfaatan teknologi ini tidak hanya membuat evaluasi lebih menyenangkan, tetapi juga mendukung pendekatan penilaian autentik yang selaras dengan Kurikulum Merdeka. Evaluasi berbasis teknologi membantu mengubah paradigma penilaian yang sebelumnya kaku menjadi lebih formatif, membimbing, dan memotivasi. Dengan fitur pelaporan otomatis dari aplikasi-aplikasi tersebut, guru dapat melakukan analisis perkembangan siswa secara real-time dan merancang intervensi yang lebih tepat sasaran.
Baca juga: Dakwah: Antara Syiar Agama dan Komoditas Oknum Ulama
Namun, perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat. Nilai-nilai edukatif dan spiritual dari PAI tetap harus menjadi landasan dalam setiap proses evaluasi. Teknologi tidak boleh menggeser tujuan utama pendidikan agama, yang adalah untuk membentuk karakter dan akhlak mulia. Guru harus bijak dalam memanfaatkan teknologi untuk memastikan bahwa evaluasi tetap mengedepankan tujuan spiritual dan pembinaan karakter siswa.
Pada akhirnya, integrasi teknologi dalam evaluasi PAI bukan hanya sekadar tren, tetapi juga langkah strategis dalam menciptakan proses pendidikan yang inklusif, menyeluruh, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Melalui pendekatan ini, PAI dapat tampil lebih kontekstual, humanis, dan mampu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan siap berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Penulis: Faiz Aswa Nazhan
Akun Instagram: @feez.nazzz
Profil singkat: Mahasiswa semester 8 Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam yang memiliki minat besar dalam bidang pendidikan dan dakwah. Aktif sebagai pemuda masjid dan pengajar di madrasah, serta memiliki keterampilan komunikasi dan public speaking yang baik. Berkomitmen untuk terus belajar dan berkontribusi dalam dunia pendidikan dan dakwah, dengan fokus pada pembinaan generasi muda dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.