Milenianews.com, Mata Akademisi – Pembelajaran sejarah Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah sering kali dipandang sebelah mata oleh banyak peserta didik. Mata pelajaran ini sering dianggap kurang menarik, sehingga tidak jarang siswa merasa bosan, kurang antusias, atau bahkan ada yang tertidur saat pelajaran berlangsung.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat sejarah peradaban Islam seharusnya mampu menghadirkan kisah-kisah yang penuh hikmah, inspirasi, dan keteladanan. Sayangnya, di banyak kelas, pelajaran sejarah Islam justru dipandang monoton dan membosankan.
Baca juga: Strategi Muslimah Hadapi Tantangan Karier dengan Ketahanan
Fenomena ini jelas bukan masalah sederhana yang bisa diabaikan begitu saja. Ketidakminatan siswa terhadap sejarah Islam bukan hanya mencerminkan minimnya daya tarik pelajaran, melainkan juga mengindikasikan adanya tantangan besar dalam menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam sejarah peradaban Islam kepada generasi muda.
Jika dibiarkan berlarut-larut, ketidakpedulian terhadap sejarah Islam ini dapat berdampak serius pada pemahaman dan apresiasi siswa terhadap akar keyakinan mereka. Bukan hanya berpotensi mengurangi rasa cinta dan kebanggaan terhadap agama Islam, tetapi juga dapat melemahkan semangat (ghirah) serta identitas keagamaan mereka.
Pembelajaran sejarah yang seharusnya menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebijaksanaan, dan perjuangan para tokoh Islam, malah berubah menjadi beban akademis yang kering dan jauh dari makna yang seharusnya.
Ironisnya, metode pengajaran yang sering digunakan, seperti sekadar meminta siswa membaca, menulis, atau menghafal fakta dan peristiwa penting, membuat sejarah Islam terasa kaku dan kehilangan ruhnya. Dalam banyak kasus, guru cenderung menggunakan pendekatan yang kurang variatif, sehingga pelajaran menjadi sekadar rutinitas tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk benar-benar memahami dan merasakan makna dari sejarah yang diajarkan.
Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin generasi mendatang akan tumbuh dengan pemahaman sejarah Islam yang dangkal, yang pada gilirannya dapat melemahkan komitmen mereka terhadap penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Selain metode pengajaran yang monoton, faktor lain yang sering diabaikan namun sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran adalah kesiapan belajar siswa. Kesiapan belajar merupakan hal mendasar yang harus diperhatikan oleh guru, karena hal ini menentukan seberapa baik siswa mampu menerima dan merespons pelajaran. Kesiapan belajar bukan hanya terkait dengan kemampuan akademis, tetapi juga mencakup kesiapan mental dan fisik siswa.
Dalam kondisi optimal, siswa yang siap belajar akan lebih mudah menangkap materi, terlibat aktif dalam proses belajar, serta mampu menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan. Sebaliknya, jika siswa tidak dalam kondisi siap belajar, maka pelajaran yang diberikan cenderung tidak akan dipahami dengan baik, sebaik apa pun materi tersebut disampaikan.