Milenianews.com, Mata Akademisi- Hijrah secara etimologis, menurut Syaikh al-Fasyani dalam al-Majalis al-Saniyah adalah meninggalkan. Namun yang dimaksud di sini bukan meninggalkan keramaian dan mengasingkan diri serta tidak mau berinteraksi dengan manusia lainnya. Secara substansial, lanjut Syaikh al-Fasyani, hijrah adalah meninggalkan segala hal yang Allah larang.
Secara fisik, Syaikh al-Fasyani juga memaknai hijrah dengan meninggalkan tanah air menuju tanah air yang lain. Hijrah Nabi bermakna meninggalkan tanah air Mekkah menuju tanah air Madinah. Hingga kini peristiwa itu terjadi sudah 1.445 tahun silam. Secara substansial, hijrahnya Nabi ke Madinah, karena perintah Allah karena Mekkah dikuasai kaum kafir.
Senada dengan al-Fasyani, pengarang Tafsir Jalalain memaknai hijrah juga secara fisik, yakni meninggalkan kampung halaman. Hal itu terungkap ketika mereka menjelaskan firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah/2: 218).
Namun secara substansial, alasan hijrah itu adalah untuk berbakti kepada Rasulullah. Oleh karena itu, Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir memaknai hijrah dengan meninggalkan keluarga dan kampung halaman dari Mekkah ke Madinah untuk berkhidmat kepada Nabi. Bukan karena tren atau sekadar ikut-ikutan yang diikuti penampilan dan pakaian yang kearab-araban. Karena Arab tidak identik dengan Islam.
Hijrah positif itu bukan apatis terhadap realitas. Sejatinya hijrah itu bergerak: bergerak untuk belajar dan mengajar, bergerak untuk mencintai, berbagi, sama-sama bekerja dan bekerja sama. Di samping itu hijrah positif juga artinya bergerak mengukuhkan ukhuwah. Maksudnya, bisa bersatu dan mau disatukan dalam bendera orang lain.
Hijrah positif juga adalah gerakan hati sanubari yang menyadari bahwa perjuangan dan dakwah tak harus berhasil dari tangan tertentu secara pribadi dan kolompok. Sebab tugas dakwah adalah tugas kolektif. Keberhasilan dakwah dan perjuangan ormas dan partai lain adalah keberhasilan bersama umat Islam. Inilah makna hijrah yang sering dikaitkan dengan tahun baru Islam.
Namun ada haru di pergantian tahun baru Hijriah yang seperti terpaksa dirayakan. Seperti ingin show of force vis a vis tahun baru miladiah. Buktinya anak-anak dikerahkan, obor dinyalakan, beduk berarak, shalawat berkumandang. Namun tetap jadi pemandangan aneh yang hanya ramai saat arak-arakan lewat. Setelah itu, malam berlalu apa adanya. Tidak terasa suasana khusus dan dikhususkan orang untuk dinikmati dan dirayakan.
Mungkin karena tak ada teriakan terompet, penjaja ayam dan jagung di pinggir jalan, kembang api dan petasan, serta ucapan pejabat di televisi yang silih berganti. Mungkin juga karena tidak ada pentas musik semalam suntuk. Yang pasti budaya pop belum masuk ke ranah tahun baru Hijriah sehingga gegap-gempitanya belum terasa. Namun kondisi seperti ini kian meneguhkan bahwa perayaan tahun baru Islam secara histeris dan hedonis bukan bagian dari hijrah positif.
Oleh: Syamsul Yakin, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok