Milenianews.com, Mata Akademisi– Kontribusi filsafat akan dakwah membangun konstruksi kokoh konsep-konsep dakwah pada satu pihak dan filsafat itu sendiri. Konstruksi dakwah ini akan dibangun dengan dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filosofi akan pertanyaan “Apa yang dikaji dalam ilmu dakwah?” adalah dasar dari aspek ontologis. Bermakna dakwah adalah komunikasi mubaligh yang distingtif untuk menyampaikan pesan -pesan agung Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunah agar komunikan (mad’u) berbuat sesuai dakwah.
Selanjutnya, “Bagaimana cara ilmu digali dari sumbernya?” merupakan apsek dari dakwah secara epistemologi. Ilmu pengetahuan sejatinya juga didapatkan dari metode keilmuan. Dakwah ditafsirkan di Al-Qur’an dengan metode bayani, yakni menafsirkan ayat satu dengan ayat yang lain. Begitu pun dari hadits yang diperjelas hadits lain.
Secara aksiologis, eksistensi dakwah justru lebih dahulu berkembang karena kebutuhan praktis akan dai. Untuk meninjaunya, kita dapat melihat 3 manfaat utama kegiatan dakwah. Pertama, bagi mubaligh menyampaikan kebaikan di dunia mengugurkan tugas manusia sebagai khilafah.
Kedua, bagi madh’u dakwah dapat menuntun mereka pada kemuliaan menuntut ilmu dunia dan akhirat.
Ketiga, menjaga harmoni dan keteraturan semesta adalah manfaat dakwah dari aspek kosmologi.
Filsafat pada dakwah menjadi konsep pemikiran yang mempertanyakan kembali mengenai hakikat, dasar-dasar dan prinsip-prinsip dalam berdakwah. Pada hal ini filsafat akan meneguhkan terkait hal dogmatis pada agama. Berkeyakinan yang melahirkan akal sehat dalam berdakwah. Jadi bisa disimpulkan, filsafat dakwah adalah kajian Islam secara rasional mengenai prinsip-prinsip dakwah dalam al- Qur’an, al- Hadits, ijma ulama yang merujuk pada paragdimatik dasar-dasar dakwah.
Filsafat tidak menyentuh langsung aspek interaksi seperti halnya sosiologi, namun menitikberatkan pada hakikat dai dan madh’u ketika menyentuh realitas lain di luar dirinya dengan akal.
Bisa dikatakan bahwa, filsafat dakwah akan mempertanyakan kepada hakikat daripada dai dan madh’u. Bagaimana dakwah disampaikan oleh pemahaman atau pengalaman da’i dan dakwah yang diterima secara logika atau emosi.
Filsafat akan terus memperkuat kontruksi kajian dakwah secara holistik, reflektif, kritis, dan postulatif. Hal ini menyimpulkan dakwah bukanlah dogma yang tertutup dan dengan keyakinan tak berdasar dan tak bisa dibantah, dakwah memperkuat eksistensinya dengan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang metodologis dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena sejatinya dakwah terus berkembang juga pada ruang tafsirnya. Segala ayat-ayat yang bersifat dogmatis akan tergambar dengan filosofi apa dan mengapa dari filsafat.
Maka ini menjadi alasan dakwah tidak sepenuhnya dogmatis dan subjektif. Ia dapat mengembangkan dirinya sebagai ilmu pengetahuan dan keyakinan yang filosofis tanpa menyinggung keagungan Tuhan. Maka, bukan menjadi alasan seorang untuk berislam yang berakal sehat, wallahu’alam alam.*
Penulis: Syamsul Yakin dan Ade Kamilah, Dosen dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.