Milenianews.com, Mata Akademisi– Tentang shalat, baik secara etimologis maupun terminologis dapat dibaca pengertiannya masing-masing dalam Syarah Fathul Qarib karya Syaikh al-Ghazi. Menurutnya, shalat secara etimologis berarti doa memohon kebaikan. Ayat berikut mengkonfrimasi hal ini, “Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. al-Taubah/9: 103).
Sedangkan makna shalat secara terminologis, seperti ditulis Syaikh al-Ghazi juga, adalah perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat khusus. Pengertian shalat secara etimologis dan terminologis ini adalah perspektif shalat syariat. Tangga yang lebih tinggi dari shalat syariat adalah shalat tarekat.
Dasar disyariatkannya shalat diutarakan langsung oleh Allah, “Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. al-Nisaa/4: 103). Artinya waktu shalat tidak bisa diundur. Ayat ini turun dalam catatan pengarang Tafsir Jalalain ketika Rasulullah mengirim satu pasukan untuk menyusul Abu Sofyan dan anak buahnya seusai perang Uhud. Mereka mengeluh karena menderita luka-luka.
Ayat lain yang menjadi dasar diwajibkannya shalat adalah, “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha.” (QS. al-Baqarah/2: 238). Menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, shalat pertama yang dimaksud dalam ayat ini adalah shalat fardhu lima waktu yang harus ditunaikan tepat waktu. Sedangkan shalat wustha adalah shalat yang memiliki kelebihan.
Berbeda dengan Syaikh Nawawi, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam Sirrur Asrar menyebut shalat pertama pada ayat itu adalah shalat syariat dan shalat kedua (shalat wustha) adalah shalat tarekat. Namun Ibnu Katsir dalam tafsirnya merekam sejumlah riwayat tentang maksud shalat wustha yang beragam. Ada yang mengatakan shalat wustha adalah shalat Dzuhur. Ada yang bilang shalat Ashar. Lalu shalat Maghrib. Ada juga shalat Isya, bahkan shalat Subuh.
Pertanyaannya, adakah perbedaan shalat syariat dan shalat tarekat itu? Bagi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, shalat syariat adalah berbagai rukun yang diperagakan oleh anggota tubuh seperti berdiri, rukuk, sujud, duduk, bersuara, bacaan, dan pelafalan. Di samping itu shalat syariat memiliki waktu tertentu. Sehari semalam lima waktu. Sunnah dikerjakan di masjid dengan cara berjamaah. Lalu menghadap kiblat (Ka’bah), dan mengikuti imam.
Sementara shalat tarekat, lanjut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, adalah shalat kalbu. Sesuai makna generik kata wustha yang berarti di tengah. Kalbu sendiri berada di tengah badan. Tepatnya antara kanan dan kiri. Antara atas dan bawah. Jadi shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Secara praksis orang yang shalat sebenarnya sedang bermunajat dengan Allah. Sementara tempat munajat adalah kalbu. Mudahnya, kalbu adalah inti anggota badan. Anggota badan lainnya mengikuti kalbu.
Argumentasi seperti ini dibangun atas sebuah hadits yang berbunyi, “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama kalbu.” (HR Bukhari). Dengan kata lain, bagi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, apabila shalat kalbu ditinggalkan, maka akan rusaklah shalat kalbu dan shalat badan sekaligus. Apabila shalat tarekat dilaksanakan maka akan terjaga juga shalat syariat.
Kalau shalat syariat waktunya tertentu, namun shalat tarekat, tulis Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, waktunya sepanjang masa. Kalau shalat syariat tempatnya di masjid, sedangkan shalat tarekat tempatnya di kalbu. Sebenarnya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sedang mengajarkan kita untuk menanjak dari shalat badan kepada shalat kalbu atau dari shalat syariat kepada shalat tarekat.
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA, Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok