Antara Takdir dan Tanggung Jawab: Rekonstruksi Teologi Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Konteks Krisis Etika Sosial Kontemporer

Mata Akademisi, Milenianews.com – Perdebatan klasik dalam pemikiran Islam mengenai hubungan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia merupakan isu mendasar yang menyentuh persoalan moralitas, keadilan, dan tanggung jawab. Lima mazhab besar,Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Jabariyah, dan Qodariyah, menawarkan pandangan yang beragam: dari Mu’tazilah yang menekankan kebebasan mutlak manusia demi menegakkan keadilan Tuhan, hingga Jabariyah yang menafikan kehendak manusia sepenuhnya.

Asy’ariyah mencoba mencari jalan tengah melalui konsep (kasb), sementara Maturidiyah menyeimbangkan kebebasan manusia dengan pengetahuan Tuhan yang azali, dan Qodariyah memberikan otonomi penuh kepada manusia. Dalam konteks modern, perdebatan ini menjadi sangat relevan ketika umat Islam menghadapi isu-isu seperti hak asasi manusia, tanggung jawab hukum, dan kebebasan individu. Pandangan-pandangan klasik ini dapat menjadi dasar refleksi untuk menegaskan bahwa dalam sistem sosial, politik, dan hukum Islam kontemporer, kebebasan manusia perlu diakui, namun tetap dalam kerangka nilai-nilai ilahiah dan tanggung jawab moral.

Meskipun perdebatan tentang hubungan perbuatan manusia dan kehendak Tuhan sudah berlangsung sejak lama, dampaknya masih terasa dalam kehidupan umat Islam hari ini. Masalahnya bukan hanya pada perbedaan antarmazhab teologi, melainkan pada bagaimana pemahaman tersebut memengaruhi sikap hidup, budaya, dan kebijakan sosial umat.

Baca juga: Tantangan Islam di Era Modren

Pertama, masih banyak umat yang terjebak dalam pola pikir fatalistic menganggap semua sudah kehendak Tuhan sehingga melemahkan tanggung jawab individu. Ini mirip dengan pandangan Jabariyah. Di sisi lain, ada juga ekstrem yang memutlakkan kebebasan manusia dan memisahkannya dari Tuhan, seperti dalam Qodariyah, yang memicu krisis makna dalam etika sosial.

Ketegangan juga terjadi karena sebagian pihak menyalahpahami konsep kasb Asy’ariyah sebagai dalih otoritarianisme, padahal seharusnya menyeimbangkan kehendak Tuhan dan tanggung jawab manusia. Dalam ranah hukum, pemahaman keliru soal takdir bisa melemahkan rasa keadilan karena pelaku kejahatan berdalih bahwa perbuatannya adalah takdir. Masalah lain adalah rendahnya literasi kalam di kalangan muda, yang membuat mereka bingung atau bahkan meninggalkan agama karena merasa ajarannya tidak menjawab kegelisahan mereka.

Akar dari semua ini adalah keterputusan antara warisan teologi dan realitas kontemporer. Solusinya bukan memilih satu aliran, tapi merekonstruksi pendekatan yang menyatukan kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia secara proporsional dan kontekstual.

Untuk menjawab persoalan teologis tentang perbuatan Tuhan dan manusia dalam konteks modern, dibutuhkan pendekatan hermeneutik dan kontekstual terhadap warisan ilmu kalam klasik. Solusi dimulai dengan membangun paradigma teologi yang menyeimbangkan kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia, seperti dalam pendekatan Maturidiyah. Pendekatan Mu’tazilah juga penting dalam membangun etika sosial melalui prinsip keadilan dan tanggung jawab, asalkan ditafsir ulang secara teologis.

Selanjutnya, konsep kasb dalam Asy’ariyah perlu diajarkan secara progresif untuk menanamkan tanggung jawab moral tanpa kehilangan kesadaran akan kehendak Tuhan. Pendidikan kalam harus diperkuat dalam kurikulum agar generasi muda tidak terjebak ekstremisme atau sekularisme, melainkan bisa berdialog rasional dengan tradisi.

Rekontekstualisasi nilai-nilai seperti keadilan dan kebebasan bisa menjembatani antara teologi Islam dan tantangan etika global. Selain itu, dialog antarmazhab perlu dibuka untuk membangun pluralisme teologi yang sehat. Rekonstruksi teologi ini bukan semata agenda akademik, tapi langkah penting untuk membangun kesadaran baru yang membebaskan, manusiawi, dan tetap berakar pada wahyu.

Perdebatan klasik tentang hubungan antara perbuatan manusia dan kehendak Tuhan yang tergambar dalam pemikiran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Jabariyah, dan Qodariyah, bukan sekadar warisan sejarah yang membeku dalam teks. Ia adalah ruang pergulatan intelektual yang sarat dengan nilai-nilai etika, ontologi, dan spiritualitas, yang tetap relevan dalam membaca dinamika keberagamaan umat Islam kontemporer.

Teologi perbuatan bukan soal spekulasi metafisis semata, melainkan menyangkut bagaimana manusia memaknai dirinya, Tuhannya, dan tanggung jawab sosialnya.

Dalam perkembangan masyarakat Muslim hari ini, pemahaman atas perbuatan dan kehendak Tuhan telah mengalami bias dan penyempitan. Warisan teologis yang kompleks kerap direduksi menjadi slogan-slogan pasif: “sudah takdir”, “semua kehendak Allah”, atau “biar Tuhan yang urus”.

Padahal, sebagaimana telah dikaji dalam makalah ini, setiap aliran teologi klasik menawarkan pendekatan yang khas dan bernilai untuk menjawab pertanyaan tentang tanggung jawab manusia. Namun, bila warisan itu tidak direvitalisasi secara kritis, umat justru akan terjebak dalam polarisasi ekstrem antara fatalisme yang mematikan nalar dan kehendak bebas yang mengingkari keterikatan spiritual.

Masalah utama yang kita temui saat ini adalah keterputusan antara diskursus kalam dengan realitas sosial. Pemikiran kalam tidak lagi membumi dalam wacana publik, pendidikan, dan kebijakan. Akibatnya, umat Islam kehilangan kerangka berpikir untuk menjawab tantangan zaman.

Dalam masyarakat yang menghadapi kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme, hingga krisis identitas, teologi tidak boleh hadir sebagai dogma penghibur, tetapi sebagai kekuatan emansipatoris yang menuntun manusia untuk bertindak adil, bertanggung jawab, dan tetap bersandar kepada Tuhan.

Untuk itu, dibutuhkan solusi yang tidak hanya berbentuk pembaruan konseptual, tetapi juga pembaruan struktural dan edukatif. Konsep tanggung jawab individual dalam Mu’tazilah, konsep kesadaran kasb dalam Asy’ariyah, dan pendekatan rasional-spiritual dalam Maturidiyah perlu diintegrasikan kembali ke dalam kurikulum pendidikan, narasi dakwah, hingga sistem hukum.

Dalam semangat ini, umat Islam diajak untuk tidak lagi memisahkan antara iman dan tindakan, antara kehendak Tuhan dan ikhtiar manusia. Teologi harus menguatkan etika dan membangun kesadaran bahwa setiap pilihan manusia, meskipun berada dalam cakrawala ilmu Tuhan, tetap memiliki nilai moral dan konsekuensi sosial. 

Teologi perbuatan Tuhan dan manusia bukanlah ruang untuk fanatisme mazhab atau penghukuman terhadap pandangan berbeda. Ia justru adalah panggung untuk melatih umat berpikir reflektif, bertindak etis, dan beriman secara sadar.

Ketika perdebatan antara kebebasan dan takdir tidak diletakkan dalam posisi biner yang saling meniadakan, tetapi sebagai dialektika dinamis, di sanalah umat Islam akan menemukan keseimbangan antara keterikatan spiritual dan kebebasan eksistensial.

Baca juga: Rasionalisme Asy`ariyah: Tanggapan atas Tafsir dengan Pendekatan Hermeneutika

Dalam masyarakat yang plural, kompleks, dan dinamis seperti hari ini, jalan tengah yang diusung oleh Maturidiyah menjadi penting sebagai etika teologis yang memadukan kebebasan, tanggung jawab, dan ketundukan kepada kehendak Ilahi.

Namun semangat rasional dan moral yang diperjuangkan oleh Mu’tazilah tetap harus dijaga sebagai kritik terhadap kemapanan yang membungkam. Dan dalam kerendahan hati, kita juga harus belajar dari Asy’ariyah bahwa tidak semua realitas harus ditundukkan pada logika manusia; ada misteri ilahi yang mengharuskan kita untuk terus mencari dan menafsirkan.

Oleh karena itu, solusi ke depan bukanlah memilih satu mazhab dan menyingkirkan yang lain, melainkan merajut ulang semua tradisi itu dalam wajah Islam yang kontekstual, terbuka, dan bertanggung jawab. Teologi yang dibutuhkan hari ini bukan hanya yang menjawab “siapa yang berbuat?”, tetapi yang mampu menuntun pada pertanyaan lebih lanjut: “untuk apa perbuatan itu?”, “siapa yang terdampak?”, dan “apa tanggung jawab moral kita?”. Dengan itu, teologi tidak berhenti sebagai pengetahuan, tetapi menjadi cahaya yang menerangi laku hidup dan perjuangan umat menuju keadilan, kebebasan, dan keberkahan.

Penulis: Muhammad Ulinnuha, Dosen serta Putri Nurhasanah Zulkarnaen, Ninis Maemunah, Irqa Rizqana, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *