Milenianews.com, Jakarta – Dream pop bukanlah nama dari salah satu merk es krim yang cukup populer di Indonesia, dimana bocil-bocil berlomba mengumpulkan stick-nya untuk ditukarkan dengan Playstation 2. Atau bahkan bukan juga, jenis dari salah satu pakaian yang belakangan jadi andalan di kalangan wanita perkotaan. Memang terdengar serupa tapi jelas jauh dari kata “sama”.
Pada faktanya, dream pop termasuk sebagai salah satu genre musik. Sejarahnya yang cukup panjang mewarnai kemunculan dream pop sebagai salah satu skena musik yang juga mewarnai industri musik global.
Menurut Allmusic yang dilansir Milenianews, dream pop adalah subgenre dari alternative rock dan neo-psychedelia yang menonjolkan tekstur sonik dan juga melodi.
Ciri khas dari dream pop secara teknis adalah aransemen musik yang kental dengan melodi gitar dengan efek menggema (echo) serta dipadukan dengan synthesizer.
Baca juga: Ubud Jazz Village Festival 2024 Padukan Musik dan Alam yang Rimbun
Suara vokal yang lembut dan breathy juga disebut sebagai salah dua lainnya dari unsur yang menjadi ciri khas dari musik bergenre dream pop.
Namun, berbeda dengan genre alternatif dan psychedelic rock yang berkarakter absurd, keras, dan suram. Musik dream pop lebih memiliki warna musik yang lebih cerah dan bahagia.
Sejarah band-band yang mengusung genre Dream Pop
Genre tersebut disebut-sebut mulai dikenal pada era 1980-an melalui karya band asal Skotlandia, Cocteau Twins, hingga duo asal Inggris, A.R Kane. Menyusul kemunculan shoegaze, ambient pop berkembang sebagai varian dari dream pop yang menggabungkan tekstur elektronik.
Sebelum dipopulerkan oleh band-band tersebut, sejarah perjalanan genre tersebut sudah dimulai sejak era 1960-an. Salah satu penulis musik ternama, Nathan Wiseman-Trowse, menyebut bahwa pendekatan terhadap physicality/psikis dari suara yang ada di dalam genre tersebut dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Phil Spector dan Brian Wilson.
Sementara menurut jurnalis musik John Bergstrom, album George Harrison pada 1970 bertajuk All Things Must Pass, merupakan nenek moyang dari genre tersebut.
Lantas, istilah dream pop digunakan oleh Alex Ayuli dari duo A.R. Kane pada 1980-an untuk menggambarkan musik band mereka.
Dalam tulisannya pada 1991, jurnalis New York Times, Simon Reynolds, menyebut bahwa genre tersebut adalah gabungan dari suara gitar yang samar dan terdistorsi dengan vokal yang bergumam.
Sementara dari segi lirik, Reynold menyebut genre tersebut cenderung mengisahkan tentang pengalaman yang asyik dan sering kali menggunakan unsur mistis.
“Tema yang umum adalah keinginan untuk melampaui batas-batas kehidupan sehari-hari yang menjemukan, dengan pergi ke mana-mana dengan cepat,” tulis Simon Reynolds dalam artikel yang dimuat di New York Times tahun 1991 itu.
Peran dari My Bloody Valentine
Bagi Reynold, My Bloody Valentine, kuartet yang berbasis di London Inggris. Merupakan salah satu band yang menjadi pelopor dari arus musik tersebut. My Bloody Valentine sendiri makin dikenal setelah merilis album pertama mereka, Isn’t Anything pada 1988.