Cerpen  

Tempatku Pulang

Cerpen Tempatku Pulang

Oleh : Farhatun Mufrodah

Di sore hari kala senja hadir, begitu ramainya sebuah Cafe terkenal yang sering dikunjungi oleh Bagas. Langit terlihat mulai menampakkan sang jingga dari dasar cakrawala. Hati yang sedang tak tentu arah, sedang sedang mencari persinggahan yang sesungguhnya, tempat pulang untuk menetap bukan hadir sebentar lalu kembali berkelana.

Beberapa jam yang lalu segenap hatinya pergi dari persinggahan yang menurutnya adalah rumah. Tujuannya datang menemui gadisnya untuk memperbaiki hubungan diantara mereka yang tidak baik-baik saja kala itu, tapi ternyata gadisnya sedang bersama lelaki lain dirumahnya saat Bagas datang. Di sana, gadisnya tidak mencoba menahan Bagas, justru gadisnya memutuskan hubungan diantara mereka yang sudah mereka bangun selama dua tahun ini.

Bagas tetap diam di dalam Cafe yang semakin sore semakin ramai oleh pengunjung, ia tidak peduli dengan keramaian, dirinya sedang mencoba menerima segala yang terjadi hari ini. Dering handphone-nya membuat lamunan Bagas terpecah. Bunda menelpon, ia menyudahi berdiam diri di Cafe dan segera pulang karena hari semakin gelap.

Dua bulan setelah hubungannya kandas dengan gadisnya, Bagas mulai terbiasa tanpa kehadiran mantan gadisnya itu. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan sekolah, saat ini pun ia sedang bersama teman-temannya baru selesai ekstrakurikuler. Akhir-akhir ini pula Bagas lebih sering diam kembali pada dirinya yang dingin dan cool.

Teman-teman Bagas banyak yang menawarkan perempuan untuk Bagas. Tapi, ia menolak keras karena dirinya tidak sedang membuka ajang mencari pacar. Tanpa teman-temannya tahu, Bagas kini sudah menemukan perempuan yang membuat perhatiannya jatuh pada perempuan tersebut. Perempuan itu merupakan adik kelasnya dan satu ekstrakurikuler dengan mantannya. Entah selera Bagas hanya pada perempuan yang se-tipe dengan kekasihnya, atau memang kebetulan.

Awal dari mereka dekat adalah saat perempuan itu ada pertunjukan teater di gedung khusus, dan Bagas diundang olehnya. Tidak enak menolak, akhirnya Bagas datang menonton perempuan itu tampil diatas panggung. Pertunjukan itu hanya berlangsung selama satu jam saja, usai pertunjukan, Bagas bertemu dengan perempuan  itu dekat dengan tempat istirahatnya.

 

“Penampilannya bagus, aku suka,” ujar Bagas yang memulai pembicaraan.

“Makasih kak, kakak mau pulang sekarang?,” tanya Aqia.

“Sepertinya iya, aku ada perlu lagi.”

“Oh yaudah hati-hati kak.”

 

Pertemuan antara mereka hanya sebatas itu, sederhana. Semakin hari mereka pun semakin dekat, Bagas yang sering kali memberikan perhatian-perhatian kecil pada Aqia. Bagas sering sekali menunggu Aqia latihan teater sepulang sekolah.

Saat ini pun, Bagas tengah duduk tak jauh dari ruang teater yang dipakai sebagai tempat latihan itu. Tak lama pintunya terbuka semua anggota bergantian keluar. Bagas berdiri dan mendekat kearah ruangan teater tersebut. Tak sengaja saat Bagas diam dekat pintu, dirinya bersitatap dengan mantan gadisnya. Terlihat dari sorot mata kecewa yang tergambar kan dari wajah Bagas. Tatapan mereka berhenti saat Aqia yang sudah disampingnya.

“Eh … em … maaf,” Bagas menundukkan wajahnya

“Kak Bagas nunggu Aqia dari tadi?.” Aqia mengalihkan topik.

 

Sebuah hati yang baru saja patah memang sulit untuk kembali utuh kak, tapi izinkan Aqia untuk memperbaiki patahan demi patahan yang rusak untuk kembali utuh,  bukan untuk kembali pada masa lalu. Batin Aqia bergumam.

 

“Engga kok, ayo kita pulang.”

Sepanjang jalan mengantar Aqia pulang, Bagas terdiam ia menggerutu dirinya sendiri tak sepantasnya itu terjadi. Sementara Aqia dibelakang ia ikut diam, bukan berarti ia marah pada Bagas tetapi Aqia bingung harus bersikap seperti apa. Mereka diam sampai tiba dirumah Aqia, lalu tak lama Bagas pamit untuk pulang.

Kedekatan mereka semakin lama, semakin berganti bulan, mereka seperti sepasang kekasih yang romantis. Cara mereka menghabiskan waktu itu dengan bercanda ringan yang diiringi dengan alunan gitar Bagas. Hal-hal sederhana yang mereka lakukan membuat satu sama lain memiliki perasaan yang tidak bisa mereka jelaskan. Seperti sekarang mereka kini tengah bernyanyi dengan menghayati setiap lirik yang mereka nyanyikan.

“… Aku milikmu hari ini, esok, dan nanti.” Akhir nyanyian mereka berdua yang membawakan lagu Fiersa Bersari-Konspirasi Alam Semesta.

“Yakin sama lirik akhir?,” tanya Aqia

“Entah aku pun, karena aku gak mau jatuh lagi,” balas Bagas

“Memang hubungan ada yang mulus begitu saja kak? Jatuh itu sebuah rintangan, apakah disana kita mampu untuk bangkit atau pasrah saja pada semesta.”

“Gak ada, karena pasti ada saja masalahnya. Entah selingkuh, bosan, sudah tidak cocok bahkan masih banyak lagi.”

 

Aqia tidak menggubris ucapan Bagas lagi, sudah dari saat mereka dekat, Aqia selalu mengerti posisi Bagas yang kecewa dengan mantannya, bisa dibilang trauma untuk menjalin sebuah hubungan kembali. Lantas dia mendekatiku untuk apa? Hampir setengah tahun kita dekat dan sampai saat ini Aqia masih harus sabar?.

 

“Qia … “ Aqia sibuk memainkan handphone-nya, Bagas memanggil pun tak ia toleh sedikitpun.

“Maaf … “

“Kak Bagas tidak perlu minta maaf, karena itu hanya untuk mengulanginya kembali.”

Hening. Bagas merasa dirinya bodoh telah salah dalam berucap dihadapan seorang gadis yang ia sayangi. Akhirnya mereka saling bungkam dan tak lama setelah itu Kakak Aqia baru saja pulang, lalu mencairkan suasana diantara mereka berdua.

Setelah kejadian itu, mereka berdua kembali seperti biasanya. Hari ini Bagas menemani Aqia ke Gramedia mencari novel-novel seru karena stok dirumahnya sudah habis. Sudah hampir dua jam mereka berada didalam Gramedia. Pada akhirmya Aqia hanya membeli tiga buku dari banyaknya buku yang dia inginkan.

Setelah dari Gramedia, mereka pergi ke kedai es krim langganan mereka untuk bersantai-santai. Disana mereka menikmati senja yang sangat indah sekali pada hari itu. Bagas terdiam ia ragu dan bingung mau memulai dari mana. Mau dibawa kemana hubungan mereka yang selama ini tak tentu arah singgah. Semuanya membuat Bagas tidak bisa diam dengan posisi duduknya, Aqia yang didepannya merasa risih dengan tingkah laku Bagas yang sangat aneh itu.

“Kak bagas kenapa?.” Akhirnya Aqia bertanya karena merasa aneh dengan Bagas.

“Qia, aku tidak mau minta maaf karena aku tahu kamu pasti marah kalo aku kaya gitu. Jadi aku mau bilang selama ini aku gak pernah mau membicarakan perihal pacaran dan aku selalu minta kita cukup kaya gini aja, tapi aku sadar semuanya cuma membuat  kamu kecewa.”

“Mungkin sampai saat ini aku nggak mau yang namanya pacaran, aku takut jatuh dan aku tidak mau jatuh untuk kesekian kalinya Qia … aku hanya ingin kita bangun cinta bukan jatuh. Kita bangun sama-sama, anggap saja itu sebuah komitmen kita.”

“Aku gak pernah menuntut lebih kok kak, justru aku terima kasih karena kakak selalu ada buat Aqia, dan aku memaklumi keadaan kakak kala itu. Aku percaya kakak bisa bangkit dan aku sedang berusaha untuk membuktikan bahwa sesungguhnya jatuh itu sebuah pembelajaran yang bisa kita ambil dan kita harus mencoba lagi tanpa mengulangi kesalahannya.”

Bagas tersenyum, ternyata gadis didepannya sungguh berfikir dewasa mengerti dirinya seperti apa. Bagas senang memiliki gadis seperti Aqia yang selalu  mengerti keadaan orang-orang sekitarnya. Saat itu keluarlah sebuah komitmen mereka ‘kita bangun cinta, bukan jatuh’ sebuah saksi sang jingga yang mewakili semesta kala itu. Hari ini mereka memiliki rumah untuk pulang dan tempat persinggahan yang seungguhnya.

Cinta tak perlu dinyatakan dengan tergesa-gesa, coba kau buat pondasi cinta terlebih dahulu agar cintamu kokoh. Setelah pondasi kuat, kita bangun sama-sama cinta itu agar menjadi sebuah rumah pulang kita bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *