Oleh : Andi Abil Hasan Rivai
Meninggalkan kota sejauh 48 km, masih teringat jelas sejak awal mula menginjakkan kaki di desa yang terkenal dengan Bukit Kenarinya. Waktu itu, hujan mengiringi kedatangan kami dengan kabut yang menggantung tak pernah tak menyapa tiap harinya.
Tinggal di rumah yang cukup sederhana dikelilingi dengan pepohonan yang masih asri jauh dari hiruk pikuk kota memang selalu menjadi tujuan banyak orang untuk mencari ketenangan dengan alam yang masih alami, itulah desa.
Tiap menuju atau pulang ke rumah itu yang pertama mesti dilewati adalah jembatan gantung yang beralaskan kayu berderet-deret sepanjang jembatan. Parahnya, jembatan itu kerap kali roboh ketika musim penghujan tiba, sementara itu sebagian jalan yang harus dilewati dengan medannya yang begitu sulit apalagi ketika diguyur hujan jalanannya jadi sangat licin, jika tidak terbiasa pasti akan memilih untuk berjalan kaki saja.
Baca : Dua Penghujung Hati
Daerah yang identik dengan pegunungan, tak perlu jauh-jauh untuk mencari keindahan itu karena cukup melempar pandangan persis di sekitar pemukiman mata sudah disuguhi bukit yang menjulang dengan suasana khasnya yang dingin. Adalah Desa Baji Pa’mai salah satu desa yang ada di Kecamatan Cenrana, Maros. Dengan rata-rata mata pencaharian penduduknya sebagai masyarakat agraria hampir tiap harinya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kebun.
Menghabiskan waktu hingga 30 hari bukanlah waktu yang singkat berada di desa ini. Menjalani yang namanya Praktik Belajar Lapangan merupakan tujuan utama saya beserta kawan lainnya. Namun, tak sedikit juga yang beranggapan kalau kedatangan kami ke desa ini untuk menjalani KKN.
Berkunjung dari rumah ke rumah warga, berjalan kaki naik turun gunung melewati medan jalanan yang belum sepenuhnya di beton dan belum lagi jarak rumah warga yang saling berjauhan harus di tempuh tiap harinya. Dan mungkin saja, kedatangan kami dipenghujung tahun menjadi momen paling tepat.
Pasalnya, dalam setahun sekali di desa ini mempunyai tradisi leluhur yang masih terawat hingga kini yakni tradisi Tolak Bala, ritual ini rutin digelar tiap menjelang musim tanam padi. Ada juga ritual selamatan saat awal melakukan bajak sawah dan satu lagi sebelum panen kembali ritual dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur warga.
Mengawali hangatnya mentari pagi selalu mengiringi aktivitas warga desa hingga menjelang matahari tenggelam barulah mereka kembali dengan wajah-wajahnya yang terlihat hangat seolah tak mengenal beratnya kehidupan yang sering orang lain keluhkan.
Masyarakatnya pun selalu terlihat ramah, setiap orang yang saya temui selalu menebar kehangatan. Tak peduli kenal atau tidak, jika telah berpapasan selalu terpancar senyum riang dari raut wajahnya.
Kini menjelang kepulangan yang tinggal menghitung hari lagi, tak terasa setelah melakukan pengabdian kurun waktu sebulan diri ini akan segera beranjak meninggalkan desa yang telah banyak memberikan pelajaran berharga selama berada disini.
Baca Juga : Suatu Saat Nanti Bagian 1
Beragam hal telah banyak dijumpai dengan masing-masing kisah dan ceritanya tersendiri, seperti pepatah yang mengatakan bahwa beda tempat beda pengalaman.
Melalui tulisan ini juga kuhaturkan kasihku kepada masyarakat Baji Pa’mai yang selalu begitu ramah menyambut kedatangan kami. Nantinya, setelah enam bulan kemudian semoga kita bisa kembali bersua dengan keadaan seperti sediakala.