Milenianews.com, Mata Akademisi – Ketika COVID-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia pada awal Maret 2020, pemerintah dihadapkan bukan hanya pada krisis kesehatan, tetapi juga pada krisis komunikasi yang sangat kompleks. Dalam beberapa minggu pertama, publik disuguhi berbagai pernyataan yang sering kali tidak konsisten, mulai dari klaim bahwa Indonesia kebal karena doa dan cuaca tropis, hingga pengakuan bahwa virus telah menyebar di komunitas. Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai “infodemi”, di mana kebingungan dan disinformasi menyebar lebih cepat daripada virus itu sendiri. Dengan menggunakan model komunikasi David K. Berlo (SMCR) – yang menekankan empat komponen kunci: Sumber (Source), Pesan (Message), Saluran (Channel), dan Penerima (Receiver) – kita dapat melihat secara sistematis bagaimana kegagalan pada setiap tahap berkontribusi pada memburuknya krisis kepercayaan dan efektivitas penanganan. Analisis ini tidak hanya penting untuk memahami kesalahan masa lalu, tetapi juga untuk membangun strategi komunikasi krisis yang lebih tangguh di masa depan.
Teori Berlo menempatkan Sumber sebagai elemen fundamental yang menentukan keberhasilan komunikasi. Pada awal pandemi, sumber komunikasi utama, yaitu pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Kesehatan, Jubir Penanganan COVID-19, dan beberapa pejabat tinggi, menunjukkan kelemahan mendasar. Keterampilan komunikasi mereka tampak belum siap menghadapi tekanan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada upaya untuk menenangkan publik agar tidak panik, namun di saat yang sama, pesan tentang keseriusan ancaman tidak disampaikan dengan jelas dan konsisten. Yang lebih krusial adalah masalah sikap dan kredibilitas. Sikap yang terkesan defensif, minim empati, dan cenderung mengedepankan optimisme yang tidak berdasar, bertabrakan dengan realitas di lapangan. Sebagai contoh, pernyataan bahwa suhu tropis dapat menghambat virus, meskipun belum terbukti secara ilmiah, justru menciptakan rasa aman palsu. Pengetahuan teknis dari ahli epidemiologi di dalam pemerintahan seolah tersaring oleh pertimbangan politik dan ekonomi, sehingga memunculkan kesan bahwa sumber tidak sepenuhnya jujur atau transparan. Sistem sosial birokrasi yang hierarkis juga memperlambat diseminasi informasi yang akurat dan membuat pesan dari berbagai lembaga pemerintah kerap tidak selaras. Ketika sebuah lembaga menyatakan darurat, lembaga lain justru menormalisasi situasi, sehingga masyarakat bingung menentukan sikap.
Keluaran dari sumber yang bermasalah ini adalah Pesan yang kacau dan kontradiktif. David K. Berlo menekankan bahwa elemen pesan mencakup struktur, konten, kode, dan perlakuan. Pada awal pandemi, struktur pesan dari pemerintah tidak memiliki alur yang jelas. Pesan berubah dengan cepat, dari “kita harus waspada namun tenang” menjadi “ini ancaman luar biasa”, tanpa transisi yang dapat dipahami publik. Kontennya sering kali tidak didasarkan pada data yang memadai, seperti ketika jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) yang sangat rendah tidak dijelaskan dengan baik, sementara klaim tentang rendahnya kasus terus disampaikan. Hal ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara narasi resmi dan pengalaman masyarakat yang melihat rumah sakit mulai penuh. Kode atau bahasa yang digunakan pun bermasalah. Istilah-istilah teknis seperti “Orang Dalam Pemantauan (ODP)”, “Pasien Dalam Pengawasan (PDP)”, dan “klaster” diperkenalkan tanpa edukasi yang memadai, sementara imbauan untuk “hidup berdampingan dengan COVID-19” di tengah ketidakpastian justru menimbulkan interpretasi yang berbahaya. Perlakuan terhadap pesan terkesan minim urgensi dan tidak persuasif, sehingga gagal mendorong perubahan perilaku yang drastis namun diperlukan, seperti karantina mandiri dan pembatasan perjalanan. Pesan yang seharusnya bersifat instruktif dan menyelamatkan jiwa, justru tereduksi menjadi sekadar imbauan yang mudah diabaikan.
Saluran komunikasi yang dipilih juga turut memperbesar masalah. Pemerintah mengandalkan konferensi pers televisi dan media sosial resmi sebagai saluran utama. Namun, dalam era digital, saluran ini langsung dibanjiri oleh arus informasi balik dan “kebisingan” yang masif dari berbagai pihak. Saluran tradisional seperti televisi, yang efektif untuk menjangkau masyarakat luas, tidak optimal digunakan untuk dialog interaktif atau klarifikasi cepat. Sementara itu, saluran yang justru paling dinamis, seperti platform media sosial Twitter, Facebook, dan aplikasi percakapan WhatsApp, lebih banyak diisi oleh informasi dari sumber-sumber non-pemerintah, baik itu ahli independen, influencer, maupun penyebar hoaks. Pemerintah gagal menguasai dan mengelola saluran-saluran ini secara efektif untuk melawan misinformasi. Alih-alih menjadi penyalur pesan yang jelas, saluran-saluran ini justru menjadi arena pertarungan narasi yang semakin mengaburkan informasi kunci. Misalnya, informasi tentang penggunaan masker yang awalnya tidak dianjurkan untuk masyarakat sehat, kemudian menjadi wajib, menyebar secara tidak merata dan menimbulkan polemik di tingkat akar rumput. Ketidakhadiran negara dalam ruang digital yang justru hidup dikonsumsi masyarakat memperparah disorientasi.
Di sisi lain, sebagai Penerima, masyarakat Indonesia tidaklah pasif. Karakteristik mereka sebagai penerima sangat mempengaruhi bagaimana pesan yang kacau itu diinterpretasikan. Keterampilan komunikasi dan tingkat literasi digital mereka sangat beragam. Sebagian kelompok terdidik mampu membandingkan informasi dari pemerintah dengan sumber internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sementara sebagian besar masyarakat lain lebih mengandalkan informasi dari grup WhatsApp atau pemimpin opini lokal. Sikap dan pengetahuan awal mereka dibentuk oleh faktor budaya yang kuat, seperti kepercayaan pada kekuatan kolektif, spiritualitas, dan juga pengalaman historis dengan wabah yang terbatas. Ketika pesan dari sumber resmi tidak jelas, mereka cenderung berpaling pada pesan-pesan alternatif yang lebih sesuai dengan sistem kepercayaan mereka, seperti rumor tentang obat tradisional empon-empon atau teori konspirasi tentang asal-usul virus. Sistem sosial yang komunal juga mempengaruhi respons; keputusan untuk memakai masker atau menghindari kerumitan sering kali lebih dipengaruhi oleh norma sosial di lingkungan terdekat daripada imbauan jarak jauh dari pemerintah pusat. Bahkan, dalam banyak komunitas, stigma terhadap pasien COVID-19 tumbuh karena pesan kesehatan publik yang gagal mengedukasi dengan empati.
Dari analisis ini, terlihat jelas bahwa kegagalan komunikasi di awal pandemi COVID-19 di Indonesia bersifat sistemik, melibatkan seluruh mata rantai model SMCR Berlo. Sumber yang tidak siap dan kurang kredibel menghasilkan pesan yang tidak terstruktur dan tidak persuasif. Pesan ini kemudian disalurkan melalui kanal yang tidak mampu mengatasi “kebisingan” informasi, hingga akhirnya diterima oleh audiens yang heterogen dengan karakteristik sosio-kultural yang kompleks. Hasilnya adalah respons kolektif yang terlambat, tidak optimal, dan dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa dalam menghadapi krisis yang tidak terlihat seperti pandemi, komunikasi bukanlah sekunder, melainkan senjata utama. Teori Berlo mengajarkan bahwa komunikasi yang efektif mensyaratkan keselarasan antara keempat komponennya. Oleh karena itu, ke depannya, pemerintah perlu membangun kredibilitas sumber dengan transparansi dan konsistensi, merancang pesan yang sederhana, jelas, dan kontekstual, memilih saluran yang tepat sasaran dan partisipatif, serta secara aktif memahami konteks sosio-kultural penerima. Hanya dengan pendekatan komunikasi yang holistik dan adaptif, kepercayaan publik dapat dibangun dan krisis kesehatan dapat dikelola dengan partisipasi seluruh masyarakat. Kegagalan di awal pandemi adalah bukti nyata bahwa tanpa komunikasi yang efektif, kebijakan sebaik apa pun dapat gagal di tingkat implementasi.
Penulis: Syifa Putri Fauziah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













