Pembunuhan dan Mutilasi Tiara Angelina Saraswati dalam Perspektif Teori Komunikasi Stephen W. Littlejohn

Tiara Angelina Saraswati

Milenianews.com, Mata Akademisi – Kasus Tiara Angelina Saraswati yang dimutilasi oleh pacarnya, Alvi Maulana, merupakan tragedi yang tidak hanya mengguncang karena kekejaman fisiknya, tetapi juga karena kedalaman kegagalan komunikasi dan konstruksi makna di dalamnya. Melalui lensa Teori Komunikasi Manusia Stephen W. Littlejohn, Kita bisa melihat bahwa kasus ini berawal dari cara komunikasi yang sudah tidak sehat, ditambah tekanan dari lingkungan dan perbedaan pemahaman yang besar antara mereka. Untuk memahami hal ini. Ia melihat komunikasi bukan sekadar tukar pesan, tetapi sebagai cara kita membangun “kenyataan” sehari-hari, mengatur siapa yang berkuasa, dan bahkan membentuk gambaran diri kita. Nah, dalam hubungan Tiara dan Alvi, ketiga hal ini kenyataan, hubungan kuasa, dan jati diri sudah retak dan rusak jauh sebelum akhir yang tragis itu terjadi.

Kronologi Pembunuhan dan Mutilasi ialah Di tempat kos tersebut, Alvi diketahui biasa tinggal bersama dengan Tiara. Keduanya telah menjalin hubungan pacaran selama kurang lebih lima tahun. Alvi dan Tiara ini belum terikat dalam pernikahan, baik secara siri maupun resmi. Saat penangkapan berlangsung, Alvi melakukan perlawanan sehingga timah panas polisi bersarang di kedua betisnya. Saat di hadapan  media, Alvi nekat menghabisi Tiara karena dipicu kekesalannya selama pacaran yang telah menumpuk. Tanpa basa basi, Alvi langsung menikam leher korban dan memutilasinya.

Baca juga: Manajemen Dakwah KH. Lanre Said di Pondok Pesantren Darul Huffadh: Penerapan Pemikiran Sayyid Qutb dalam Transformasi Jahiliyah Kontemporer

Kasus ini menunjukkan bagaimana realitas dalam hubungan dikonstruksi melalui pola komunikasi yang mungkin telah dipenuhi dengan manipulasi, ancaman, dan distorsi. Littlejohn menekankan bahwa realitas tidak diberikan begitu saja, tetapi dibangun melalui interaksi simbolik berulang. Dalam hubungan yang toxic dan akhirnya fatal ini Tiara mungkin perlahan-lahan menciptakan ‘dunia’ sendiri dalam hubungan itu. Lewat kata-kata dan sikapnya yang berulang, dia membentuk suatu pandangan di mana sikap menguasai, mengendalikan, dan menganggap Alvi sebagai miliknya semata.

Teori Coordinated Management of Meaning (CMM)  yang didiskusikan Littlejohn sangat relevan. CMM berargumen bahwa dalam interaksi, orang secara bersama-sama mengelola makna untuk menciptakan “dunia sosial” mereka. Dalam hubungan Tiara dan Alvi, yang terjadi adalah kegagalan total dalam koordinasi makna yang sehat. Dunia sosial yang terbentuk kemungkinan adalah dunia yang terisolasi, dengan aturan-aturan komunikasi yang ditentukan secara sepihak oleh Alvi (misalnya, larangan berkomunikasi dengan orang lain, tuntutan kepatuhan mutlak). Tiara, yang mungkin terjebak dalam pola ini, mengalami kesulitan untuk mengelola makna alternatif yang dapat membebaskannya, karena kerangka acuan (frame) untuk memahami hubungan tersebut telah sepenuhnya dikuasai dan dibelokkan oleh pelaku.

Konsep diri (self) dalam perspektif simbolik interaksionisme juga penting. Konsep diri kita dibentuk melalui “cermin” yang diberikan orang lain (looking-glass self). Dalam hubungan yang toxic, pelaku secara konsisten memberikan “cermin” yang distortif kepada korban gambar diri yang rendah, tidak berdaya, dan bergantung sepenuhnya. Proses komunikasi yang merendahkan dan menyakitkan dari Alvi kemungkinan besar secara bertahap mengikis identitas diri Tiara yang mandiri, menggantinya dengan identitas sebagai objek yang dikuasai. Pemutilasian jasad setelah pembunuhan dapat dilihat sebagai puncak dari logika komunikasi yang sudah rusak ini upaya terakhir untuk menghancurkan dan menghilangkan identitas fisik korban, sebagai perpanjangan dari penghancuran identitas sosial dan psikologisnya.

Tindakan memutilasi bukan hanya cara menyembunyikan kejahatan, tetapi juga merupakan pesan simbolis yang brutal. Tindakan itu bisa dimaknai sebagai pernyataan kekuasaan mutlak, kemarahan yang meluap, atau upaya untuk mendehumanisasi korban hingga ke tingkat paling ekstrem. Littlejohn akan menyarankan kita untuk membaca “tanda” dalam peristiwa ini pisau sebagai tanda kekerasan, bagian tubuh sebagai tanda penghancuran identitas, dan lokasi pembuangan sebagai tanda pengabaian untuk memahami bagaimana komunikasi bahkan terjadi melalui tindakan kriminal yang paling keji sekalipun.

Tiara dan Alvi dapat dilihat sebagai sebuah sistem interpersonal yang tertutup dan mengalami disfungsi parah. Sistem sehat membutuhkan komunikasi terbuka, umpan balik (feedback), dan kemampuan beradaptasi. Dalam sistem yang mereka bangun, umpan balik dari luar (keluarga, teman) mungkin telah dipotong oleh Alvi (isolasi), sementara umpan balik dalam sistem hanya berjalan satu arah berupa tuntutan dan kontrol. Sistem menjadi tidak stabil dan akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan fatal. Komunikasi di sini gagal berfungsi sebagai mekanisme pengaturan dan penyeimbang (cybernetics) dalam sistem hubungan tersebut.

Kasus Tiara Angelina Saraswati bukan hanya sekadar tragedi kriminal biasa, melainkan potret nyata dari bagaimana komunikasi yang rusak dapat menjadi awal kehancuran suatu hubungan. Melalui teori Littlejohn, kita menyadari bahwa komunikasi bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang bagaimana realitas dibentuk, kekuasaan dipertahankan, dan identitas dipertaruhkan. Dalam hubungan Tiara dan Alvi, ketiga aspek ini telah lama tergantikan oleh pola komunikasi yang penuh kontrol, isolasi, dan distorsi makna. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya melihat kekerasan fisik sebagai puncak masalah, tetapi juga menelusuri jejak-jejak komunikasi toksik yang mungkin menjadi akar dari segala tragedi semacam ini.

Baca juga: Masjid Ahmadiyah: Ditutup Paksa di Indonesia

Refleksi dari kasus ini seharusnya mendorong kita untuk lebih serius memasukkan pendidikan komunikasi sehat ke dalam kurikulum kehidupan, mulai dari keluarga, pertemanan, hingga hubungan romantis. Littlejohn mengingatkan bahwa komunikasi adalah proses yang tidak netral—ia bisa membangun atau merusak. Oleh karena itu, literasi komunikasi harus mencakup kemampuan mengenali pola manipulatif, memahami pentingnya feedback yang seimbang, dan mengembangkan kesadaran akan dinamika kekuasaan dalam interaksi. Hanya dengan demikian kita dapat mencegah terulangnya tragedi seperti yang menimpa Tiara, di mana komunikasi yang seharusnya menyambung justru menjadi alat pembunuh yang perlahan-lahan.

Kasus Tiara Angelina Saraswati adalah cermin gelap dari bagaimana komunikasi, ketika didasari oleh hasrat kuasa, ideologi patriarki, dan patologi relasional, dapat berubah dari alat penghubung manusia menjadi mesin penghancur. Teori-teori Stephen W. Littlejohn memberikan alat analisis yang kuat untuk membedah bukan hanya “apa yang dikatakan”, tetapi juga “dunia seperti apa yang dibangun” melalui komunikasi antara Tiara dan Alvi. Tragedi ini memperlihatkan bahwa kekerasan fisik yang ekstrem sering didahului oleh kekerasan simbolik dan komunikasi yang jahat dalam kurun waktu yang panjang. Karena itu, pencegahan kekerasan dalam hubungan harus juga berfokus pada pendidikan komunikasi yang sehat, pengenalan terhadap tanda-tanda komunikasi manipulatif, dan dekonstruksi wacana sosial yang melanggengkan ketimpangan kuasa dalam relasi pasangan. Komunikasi bukanlah hal yang netral; ia bisa menjadi penyelamat atau, seperti dalam kasus ini, bagian dari proses pembunuhan yang panjang dan sistematis.

Penulis: Siti Eriana Ramzani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *