Milenianews.com, Mata Akademisi – Pada Desember 2025, Provinsi Aceh kembali menghadapi bencana besar berupa banjir dan tanah longsor yang meluas. Peristiwa ini telah menelan ratusan korban jiwa, memaksa ratusan ribu orang mengungsi, merusak puluhan ribu rumah, serta mengguncang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara drastis.
Hingga awal Desember, laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan posko tanggap darurat mencatat puluhan hingga ratusan korban tewas, jutaan jiwa terdampak, serta kerusakan infrastruktur yang signifikan di Aceh dan beberapa wilayah Sumatra lainnya. Status tanggap darurat yang diperpanjang hingga akhir Desember 2025 menegaskan bahwa kondisi kehidupan warga belum kembali pada keadaan normal.
Bencana dalam Perspektif Empiris dan Ontologis
Secara empiris, banjir ini dipicu oleh hujan deras akibat dinamika hidrometeorologi yang kompleks, termasuk pengaruh siklon tropis, kondisi topografi, perubahan penggunaan lahan, serta tata kelola daerah aliran sungai di wilayah hulu.
Namun, dalam perspektif filsafat ontologi, bencana ini tidak berhenti sebagai fenomena alam semata. Banjir Aceh memunculkan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas itu sendiri, yakni tentang apa yang “ada” dan bagaimana keberadaan tersebut dialami oleh manusia yang terlibat di dalamnya.
Dalam kajian ontologi, realitas tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang tampak secara inderawi, melainkan sebagai keadaan yang memiliki keberadaan dan daya pengaruh terhadap subjek yang mengalaminya. Dengan demikian, banjir di Aceh mengungkap relasi eksistensial antara manusia dan alam yang selama ini kerap diabaikan.
Manusia sebagai Dasein dalam Situasi Krisis
Dalam perspektif Martin Heidegger, manusia dipahami sebagai Dasein, yakni makhluk yang selalu berada-di-dunia (being-in-the-world). Keberadaan manusia tidak pernah terlepas dari konteks historis, sosial, dan ekologis yang melingkupinya.
Banjir Aceh memaksa manusia yang berada di wilayah tersebut untuk menghadapi keberadaannya sendiri dalam situasi ekstrem. Rutinitas kehidupan sehari-hari terputus, rumah dan ruang aman lenyap, konektivitas sosial terganggu, serta sumber daya menjadi terbatas. Kondisi ini menunjukkan bagaimana eksistensi manusia dapat berubah secara drastis ketika dunia yang dihuni tidak lagi stabil.
Pertanyaan Ontologis atas Relasi Manusia dan Lingkungan
Ontologi juga membahas hakikat keberadaan entitas dan relasi antar-entitas di dunia. Dalam konteks ini, banjir Aceh bukanlah peristiwa acak, melainkan manifestasi dari kondisi ekologis dan sosial yang telah lama membentuk realitas wilayah tersebut.
Bencana ini memunculkan pertanyaan ontologis yang mendalam. Pertama, apakah terdapat landasan ontologis bagi pembangunan dan penggunaan lahan yang mengabaikan keseimbangan ekologis? Kedua, bagaimana eksistensi manusia berubah ketika ruang hidup yang sebelumnya aman menjadi sumber ancaman? Ketiga, apa realitas moral dan etis dari bencana yang memperlihatkan ketergantungan manusia pada struktur sosial dan politik di luar dirinya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini menempatkan bencana sebagai pengalaman keberadaan kolektif, bukan sekadar peristiwa fisik yang terisolasi.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Banjir sebagai Pengguncang Fondasi Eksistensial
Banjir Aceh menggoyahkan fondasi eksistensial yang selama ini dianggap stabil. Lingkungan yang menjadi rumah bersama berubah secara radikal, memunculkan kesadaran bahwa manusia hidup dalam jaringan keberadaan yang rapuh dan saling bergantung.
Dalam situasi ini, makna “menjadi manusia” kembali dipertanyakan. Manusia tidak lagi dipahami sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian dari tatanan keberadaan yang kompleks, di mana alam, masyarakat, dan struktur kekuasaan saling berkelindan.
Relasi Intersubjektif dan Solidaritas Pascabencana
Filsafat ontologi tidak hanya menelaah objek dan fenomena, tetapi juga relasi antar-entitas yang ada. Banjir Aceh membuka ruang bagi terbentuknya relasi baru antar manusia, mulai dari solidaritas antarwarga, peran lembaga lokal, hingga dukungan nasional dan internasional.
Kunjungan Presiden, keterlibatan aparat negara, serta aksi solidaritas dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan bentuk intersubjektivitas yang menjadi bagian penting dari realitas sosial pascabencana. Keberadaan manusia terbukti tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan “yang lain”, baik alam, komunitas, negara, maupun budaya.
Etika Keberadaan di Tengah Dunia yang Rapuh
Dalam perspektif ontologis, banjir Aceh Desember 2025 lebih dari sekadar peristiwa alam. Ia mengungkap realitas keberadaan manusia yang kompleks, berakar pada kondisi ekologis, sosial, dan relasional yang saling terkait.
Bencana ini menjadi panggilan reflektif untuk memahami hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang tidak terpisahkan dari lingkungan dan sesamanya. Ia menegaskan pentingnya etika keberadaan yang menuntut kesadaran, kepedulian, dan keterlibatan aktif dalam merawat dunia yang menjadi tempat kita berada bersama.
Penulis: Garyen Cantika Br Hasibuan
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













