Milenianews.com, Mata Akademisi – Ilmu merupakan pengetahuan yang menjelaskan asal-usul maupun hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa. Ketika dimanfaatkan secara bijak, ilmu memiliki nilai besar dalam mengembangkan peradaban dan mensejahterakan umat manusia. Namun, ilmu tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu berkelindan dengan nilai, kepentingan, dan orientasi moral manusia yang menggunakannya.
Nilai sendiri adalah sesuatu yang dianggap berharga dalam kehidupan dan berfungsi sebagai pedoman untuk menilai apakah suatu tindakan tergolong baik atau buruk. Nilai inilah yang kemudian membentuk perilaku manusia agar tetap berada dalam koridor moral dalam kehidupan sehari-hari.
Perdebatan Ilmu Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai
Para ilmuwan memiliki perbedaan pandangan mengenai apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak bebas nilai. Sebagian ilmuwan Barat berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai agar tetap objektif dan netral. Menurut pandangan ini, ketika ilmu disandarkan pada nilai tertentu, maka objektivitasnya akan tereduksi.
Namun, filsuf asal Jerman, Jürgen Habermas, justru menegaskan bahwa tidak ada ilmu yang benar-benar bebas nilai, termasuk ilmu alam sekalipun. Dalam setiap proses pengembangan ilmu, selalu terdapat kepentingan teknis, sosial, dan ideologis yang menyertainya. Menariknya, Max Weber melihat kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki kebenaran, tergantung pada konteks penggunaannya.
Ilmu Tidak Bebas Nilai dalam Praktik Industri Ekstraktif
Konsep ilmu tidak bebas nilai menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah sepenuhnya netral. Ilmu selalu dipengaruhi oleh nilai, kepentingan ekonomi, ideologi, serta konteks sosial yang melingkupinya. Dalam praktiknya, terutama pada sektor industri ekstraktif seperti pertambangan, ilmu kerap dijadikan alat legitimasi kebijakan yang sarat kepentingan ekonomi.
Kondisi ini terlihat jelas dalam berbagai kasus kerusakan lingkungan dan banjir besar yang terjadi di wilayah Sumatra. Aktivitas pertambangan, pembukaan lahan skala besar, serta alih fungsi hutan menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ekologis kawasan tersebut.
Faktor Manusia sebagai Penyebab Utama Banjir Bandang
Banjir bandang yang terjadi di Sumatra tidak dapat sepenuhnya disandarkan pada faktor alam. Faktor manusia justru memainkan peran signifikan. Deforestasi yang berlangsung secara masif, penebangan hutan tanpa kendali, serta maraknya penambangan ilegal telah memperparah daya rusak banjir.
Deforestasi tidak hanya memicu banjir, tetapi juga meningkatkan risiko longsor di berbagai daerah. Ketika banjir terjadi, air bah tidak hanya membawa puing-puing rumah warga, tetapi juga gelondongan kayu yang hanyut. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan akibat ulah manusia turut memperbesar skala bencana.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Tragedi Sumatra dan Desakralisasi Alam
Tragedi banjir bandang di Sumatra pada penghujung 2025 merupakan manifestasi nyata dari desakralisasi alam. Penebangan hutan secara masif—baik legal maupun ilegal—untuk kepentingan perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) menunjukkan kegagalan manusia dalam memaknai hutan.
Hutan tidak lagi dipandang sebagai sistem kehidupan yang memiliki fungsi kosmik, seperti menahan air, menjaga kesuburan tanah, dan menopang kehidupan, melainkan direduksi menjadi aset ekonomi semata.
Data Kerusakan Ekologis Sumatra
Berdasarkan analisis WALHI, banjir yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh dipicu oleh alih fungsi kawasan hulu dari hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit, tambang, proyek PLTA, dan hutan industri.
Di Sumatra Utara, Ekosistem Batang Toru kehilangan sekitar 72.938 hektare hutan sepanjang 2016–2024 akibat operasi 18 perusahaan. Di Aceh, dari 954 DAS, setidaknya 20 DAS berada dalam kondisi kritis. Beberapa di antaranya adalah DAS Krueng Trumon yang kehilangan 43 persen tutupan hutan, DAS Singkil 66 persen, DAS Peusangan 75 persen, serta DAS lain yang kehilangan lebih dari 36 persen tutupan hutannya.
Sementara itu, di Sumatra Barat, DAS Aia Dingin di Kota Padang kehilangan sekitar 780 hektare tutupan pohon sejak 2001 hingga 2024, terutama di wilayah hulu kawasan konservasi Bukit Barisan. Kondisi ini melemahkan fungsi ekologis penahan banjir dan meningkatkan risiko bencana.
Ekspansi Industri dan Kepentingan Ekonomi
Dalam beberapa tahun terakhir, Sumatra mengalami ekspansi industri ekstraktif dalam skala besar. Perkebunan sawit meluas hingga jutaan hektare. Tambang emas, nikel, dan batu bara masuk ke kawasan hulu sungai. Penebangan hutan, baik legal maupun ilegal, berlangsung nyaris tanpa kendali.
Pemerintah daerah berlomba mengeluarkan izin demi mengejar pendapatan asli daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat mendorong pembangunan dengan narasi percepatan investasi, seakan pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai dengan mengorbankan kelestarian lingkungan.
Perubahan Iklim dan Kerusakan Ekologi
Fenomena banjir bandang juga kerap dikaitkan dengan perubahan iklim. Namun, hujan ekstrem sejatinya hanya menjadi pemicu. Kerusakan ekologis yang parah di Sumatra adalah bahan bakar utama bencana. Tanpa hutan yang gundul, sungai yang menyempit, dan bukit yang diratakan, hujan lebat tidak akan berubah menjadi bencana besar.
Melky Nahar mengungkapkan bahwa jumlah izin tambang di Pulau Sumatra hampir mencapai 2.000 izin, dengan total luasan konsesi lebih dari 2,5 juta hektare. Dari jumlah tersebut, terdapat 546 izin tambang yang beroperasi di kawasan rawan bencana, seperti wilayah rawan gempa, longsor, dan banjir.
Tanggung Jawab Moral dan Solusi Struktural
Kondisi ini menuntut perubahan pola pikir secara mendasar. Menjaga dan melestarikan alam bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban moral. Upaya konkret yang perlu dilakukan antara lain pengerukan rutin di kawasan rawan banjir, normalisasi aliran sungai, penghentian pembangunan ilegal di sempadan sungai, serta evaluasi menyeluruh terhadap izin bangunan dan industri.
Reboisasi dan perlindungan kawasan hulu juga harus menjadi prioritas, terutama di daerah yang mengalami alih fungsi lahan besar-besaran seperti perkebunan dan permukiman liar.
Upaya Pemerintah dan Refleksi Bersama
Pemerintah berupaya menangani dampak bencana dengan membangun hunian sementara (huntara) tipe 36 meter persegi bagi korban banjir bandang dan longsor. Setelah itu, hunian tetap (huntap) akan dibangun bagi warga terdampak. Jika lahan mencukupi, setiap keluarga akan mendapatkan lahan seluas 8×10 meter. Jika tidak, model barak akan disiapkan untuk pengungsi.
Namun, bencana alam yang berulang di Sumatra sejatinya bukan sekadar peristiwa alamiah. Ia merupakan cerminan dari tata kelola lingkungan yang belum berpihak pada keselamatan masyarakat. Ketika kepentingan ekonomi jangka pendek mengabaikan prinsip keberlanjutan, maka masyarakatlah yang menanggung risiko terbesar.
Oleh karena itu, penanganan bencana di Sumatra harus menyentuh akar persoalan: memperkuat regulasi, memastikan praktik industri yang bertanggung jawab, serta memulihkan kawasan kritis. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga lingkungan bukan agenda sampingan, melainkan kunci keselamatan generasi mendatang.
Penulis: Nanda Fauziah, Institut Ilmu Al Quran (IIQ Jakarta)
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








