Event, News  

PP TUNAS Hadir! Tapi Mampukah Lindungi Anak dari Bahaya Dunia Maya?

PP TUNAS

Milenianews.com, Yogyakarta — Di tengah derasnya arus teknologi yang membentuk kehidupan generasi masa depan, isu perlindungan anak di ruang digital tak lagi bisa ditunda. Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada kembali menggelar Difussion edisi ke-124 dengan tema yang menggelitik sekaligus relevan yakni, “Menjaga Ruang Digital Anak: Dapatkah PP TUNAS Menjadi Jawaban?”.

Forum yang digelar secara daring pada Jumat lalu, 4 Juli 2025, ini hadir sebagai respons atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Ramah Anak yang menjadi regulasi pertama di Indonesia khusus mengatur perlindungan anak di ekosistem digital.

Baca juga: CfDS Ungkap Dinamika Misinformasi Isu Krisis Iklim di Indonesia Serta Penanganannya

Dipandu oleh Nabila Rizkita sebagai moderator, diskusi ini menghadirkan tiga pakar lintas sektor. Ketiga pakar tersebut adalah Andy Ardian (Koordinator Nasional ECPAT Indonesia), Nenden Sekar Aru (Direktur Eksekutif SAFENet), dan Ayom Mratita Purbadani (Peneliti CfDS).

Internet Tak Ramah Anak? Fakta yang Tak Bisa Diabaikan

Andy Ardian membuka diskusi dengan pernyataan yang menggugah. Ia mengatakan, “Internet tidak pernah didesain untuk anak-anak, tapi kini menjadi ruang utama mereka tumbuh,” sambil menyoroti peningkatan tajam eksploitasi seksual anak berbasis daring, yang mencapai lebih dari 2,5 juta konten pada tahun 2024 menurut data INHOPE atau naik 218% dari tahun sebelumnya.

Ancaman ini diperparah oleh kemajuan teknologi seperti AI, XR, dan sistem terdesentralisasi yang justru mempercepat penyebaran konten berbahaya. “Masalahnya bukan cuma soal konten negatif atau kecanduan, tapi juga predator online, pelanggaran privasi, hingga pencurian data,” tegas Andy. Menurutnya, PP TUNAS bisa menjadi titik tolak, asalkan didukung penguatan ekosistem perlindungan digital.

Langkah Progresif, tapi Masih Penuh Lubang

Sementara itu, Nenden Sekar Aru menilai PP TUNAS sebagai langkah besar yang patut diapresiasi, tetapi masih jauh dari sempurna. “Regulasi ini membuka jalan, tapi belum punya fondasi teknis yang kokoh,” katanya dalam keterangan rilis yang diterima milenianews.com, Senin (7/7).

Beberapa catatan kritis yang ia sampaikan meliputi, belum adanya standar verifikasi usia, definisi privasi tinggi yang masih kabur, dan minimnya pelibatan anak dalam desain sistem digital. Ia menuntut agar platform digital ikut bertanggung jawab, tak hanya dalam teknis penyajian konten, tetapi juga dalam mekanisme algoritma, monetisasi, hingga child-friendly reporting tools.

“Anak bukan objek pasif yang hanya perlu dilindungi. Mereka juga punya suara yang harus didengar,” ujar Nenden.

Baca juga: Seminar Pemuda Digital, Universitas BSI Undang Peneliti CfDS UGM

Berbeda dari pendekatan protektif semata, di sisi lain Ayom Mratita Purbadani mendorong pendekatan yang lebih partisipatif. “Anak-anak bukan hanya pengguna. Mereka menciptakan, memilih, dan mengontrol pengalaman digital mereka,” jelasnya.

Ayom menekankan pentingnya co-design, riset partisipatoris, dan forum konsultatif yang melibatkan anak secara langsung. Ia juga menyoroti pentingnya kebijakan yang peka konteks sosial. “Verifikasi usia tanpa mempertimbangkan realitas sosial bisa berujung pada diskriminasi dan eksklusi digital,” imbuhnya.

Lebih dari Sekadar Aturan: Kolaborasi Jadi Kunci

Dalam sesi diskusi terbuka, ketiga narasumber sepakat bahwa implementasi PP TUNAS tidak bisa mengandalkan hukum saja. Andy mendorong sektor pendidikan dan komunitas digital untuk mengambil peran aktif dalam edukasi dan advokasi. Sementara itu, Nenden menggarisbawahi pentingnya pelibatan penyelenggara sistem elektronik (PSE) sejak awal perumusan regulasi agar tidak ada kesenjangan antara kebijakan dan praktik.

Ayom bahkan mengusulkan dibentuknya lembaga independen untuk mengawasi dan memberi sanksi kepada platform yang tidak patuh. Selain itu, tantangan baru seperti deepfake dan AI generatif juga menjadi perhatian yang harus dijawab dengan kebijakan adaptif dan kolaboratif lintas sektor.

Baca juga: CfDS dan Kominfo Gali Potensi Talenta Digital Indonesia, dengan Hadirkan Kelas Kecerdasan Digital

PP TUNAS: Awal yang Menjanjikan, Tapi Jalan Masih Panjang

Diskusi Difussion #124 ditutup dengan catatan reflektif: PP TUNAS adalah permulaan, bukan jawaban akhir. Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh perumusan aturan teknis yang matang, keterlibatan nyata anak dan masyarakat sipil, serta komitmen lintas sektor—mulai dari pemerintah, industri teknologi, hingga komunitas pendidikan.

CfDS menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital bukan sekadar tentang membatasi, tapi juga memberdayakan. Ruang digital harus menjadi tempat tumbuh yang aman, adil, dan inklusif bagi setiap anak Indonesia. PP TUNAS mungkin baru langkah awal, tetapi ia membuka pintu menuju masa depan digital yang lebih bertanggung jawab.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *