Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam sejarah pemikiran Islam, munculnya berbagai aliran teologis menunjukkan betapa luas dan dinamisnya perdebatan mengenai konsep-konsep dasar dalam akidah Islam. Salah satu aliran yang menonjol karena pendekatan rasionalnya terhadap doktrin agama adalah Mu’tazilah. Muncul pada awal abad ke-2 Hijriah, kelompok Mu’tazilah dikenal karena keberaniannya dalam menempatkan akal—bahkan dalam beberapa hal lebih utama daripada teks wahyu—dalam memahami ajaran Islam.
Gerakan ini berawal dari diskusi-diskusi di kalangan murid Hasan al-Bashri di Basrah, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Wasil bin ‘Atha’ dan Amr bin Ubayd. Prinsip-prinsip inilah yang tetap menjadi fondasi rasionalisme dalam Islam dan memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks pemikiran Islam kontemporer. Contoh relevannya di masa kini adalah dalam merespons isu-isu seperti HAM, demokrasi, pluralisme, dan keadilan.
Aspek doktrin Mu’tazilah dikenal dengan lima prinsip utama yang disebut al-Ushul al-Khamsah. Prinsip-prinsip ini mencerminkan kerangka dasar teologi mereka yang sangat mengedepankan aspek keesaan Tuhan, keadilan ilahi, tanggung jawab manusia, serta kewajiban etis sosial-politik. Kelima prinsip tersebut adalah:
Baca juga: Rasionalisme Asy`ariyah: Tanggapan atas Tafsir dengan Pendekatan Hermeneutika
Tauhid (ketauhidan)
‘Adl (keadilan)
Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd (janji dan ancaman)
Al-Manzilah baina al-Manzilatain (posisi tengah bagi pelaku dosa besar)
Amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Adapun kelompok yang masih menggunakan pemikiran tentang al-Ushul al-Khamsah dalam konteks modern adalah Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, karena mereka memiliki kajian mendalam tentang ushul al-khamsah dalam studi teologi Islam, terutama dalam perbandingan dengan pemikiran Asy’ariah. Pemikiran ini tetap bertahan karena pendekatan rasionalnya terhadap teologi Islam serta relevansinya dalam berbagai diskusi akademik dan sosial.
Al-Ushul al-Khamsah merupakan artikulasi teologis-rasional yang tidak hanya bertujuan memperkuat akidah Islam melalui logika dan akal, tetapi juga sebagai perangkat normatif untuk menegakkan keadilan sosial dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Doktrin ini menjadikan Mu’tazilah sebagai pelopor pemikiran kritis dalam Islam yang menempatkan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan sebagai pusat dari seluruh sistem keimanan.
Penjabaran lima prinsip Mu’tazilah
1. Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid bagi Mu’tazilah bukan hanya pengakuan bahwa Tuhan adalah satu, tetapi juga bahwa Tuhan itu esa dalam segala aspek-Nya—tanpa bagian, sifat-sifat yang berdiri sendiri, atau keserupaan dengan makhluk. Mereka menolak gagasan bahwa Tuhan memiliki sifat yang berbeda dan terpisah dari zat-Nya. Menurut mereka, menisbatkan sifat seperti “ilmu” atau “kuasa” sebagai entitas tersendiri di samping zat Tuhan akan berarti Tuhan terdiri dari bagian-bagian, yang bertentangan dengan konsep tauhid murni.
2. Keadilan (‘Adl)
Prinsip keadilan merupakan pembeda utama antara Mu’tazilah dan kelompok Jabariyah yang meyakini bahwa semua perbuatan manusia adalah takdir Tuhan. Bagi Mu’tazilah, Tuhan adalah adil secara mutlak dan tidak mungkin menciptakan kejahatan atau memaksa manusia untuk berbuat dosa lalu menghukumnya. Oleh karena itu, manusia memiliki kehendak bebas (free will) dan bertanggung jawab penuh atas amal perbuatannya. Konsep ini dikenal sebagai al-husn wa al-qubh al-‘aqliyyān—bahwa baik dan buruk dapat ditentukan melalui pertimbangan rasional.
3. Janji dan Ancaman (Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd)
Mu’tazilah menegaskan bahwa janji Tuhan untuk memberi pahala kepada yang taat dan ancaman untuk menghukum yang durhaka adalah pasti dan tidak mungkin dilanggar. Tuhan terikat oleh keadilan-Nya sendiri, sehingga tidak akan berlaku semena-mena. Berdasarkan prinsip ini, mereka menolak doktrin syafaat bagi pelaku dosa besar yang tidak bertaubat—sebuah kritik terhadap Murji’ah. Prinsip ini membentuk komunitas yang bertanggung jawab secara moral. Setiap individu harus sadar bahwa perbuatannya memiliki konsekuensi nyata, baik di dunia maupun di akhirat.
4. Posisi Tengah (Al-Manzilah baina al-Manzilatain)
Konsep ini merupakan respons atas perdebatan klasik mengenai status pelaku dosa besar. Mu’tazilah mengambil jalan tengah: pelaku dosa besar bukan kafir, tetapi juga bukan mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Implikasinya bersifat sosial dan politis, memberi perspektif yang lebih manusiawi dalam menilai kesalahan. Konsep ini menekankan pentingnya tindakan nyata, bukan sekadar keyakinan internal, dalam menilai keimanan.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Mu’tazilah menganggap bahwa menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah kewajiban aktif yang harus ditegakkan oleh setiap Muslim. Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga kolektif dan politis. Bahkan, dalam konteks tertentu, prinsip ini membenarkan pemberontakan terhadap penguasa zalim. Prinsip ini mendasari keterlibatan politik Mu’tazilah, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah, saat mereka mendorong rasionalitas dalam hukum dan kebijakan publik.
Melalui prinsip-prinsip dasar ini, Mu’tazilah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan rasionalisme Islam. Meskipun pendekatan mereka kadang dianggap ekstrem dan kaku, tujuan utamanya adalah menyampaikan keesaan dan keadilan Allah. Sayangnya, sering kali penafsiran mereka dianggap bertentangan dengan pemahaman mayoritas umat Islam. Namun, sistem teologi yang mereka bangun tetap koheren dan rasional, serta memiliki implikasi mendalam bagi pemikiran Islam, khususnya dalam teologi dan filsafat.
Dalam sejarahnya, Mu’tazilah memperkenalkan metode argumentasi yang ketat dan sistematis. Di era kontemporer, aliran ini mendapatkan perhatian baru dari cendekiawan dan ulama Muslim yang mencoba mengembangkan doktrin Islam yang selaras dengan modernitas. Prinsip-prinsip Mu’tazilah membantu menyediakan kerangka konseptual yang bermanfaat bagi dialog antara Islam dan pemikiran modern.
Baca juga: Relevansi Pemikiran Jabariyah Terhadap Fatalisme Sosial di Era Modern
Rasionalisme Mu’tazilah sangat relevan untuk menjawab persoalan keagamaan di era modern. Pendekatan mereka yang kritis berbasis akal dapat menjadi jembatan antara ajaran agama dan semangat zaman. Contohnya saat membahas keadilan Tuhan: Mu’tazilah menegaskan bahwa Tuhan itu adil dan tidak berbuat zalim. Konsekuensinya, manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri—sangat penting di era yang menuntut pertanggungjawaban moral dan etika yang tinggi.
Pendekatan tradisional yang fatalistik membuat sebagian orang pasrah buta dan tidak berpikir kritis. Padahal, logika Mu’tazilah justru mengajak kita aktif menggunakan akal dan sadar bahwa semua tindakan kita punya konsekuensi.
Rasionalisme Mu’tazilah mengingatkan kita untuk tidak terpaku pada teks secara harfiah, tetapi menafsirkan ajaran agama sesuai konteks dan realitas. Meskipun pendekatan ini sering dianggap “absurd” atau kurang populer, keberanian seperti ini sangat dibutuhkan di era kontemporer. Kita perlu berani berpikir, menyusun ulang pemahaman agama, tetap berpijak pada nilai akidah, namun tidak alergi terhadap akal sehat.
Penulis: Ahmad Nawasi, Dosen serta Faridah Al-Bahiyah, Fatmawati, Muthia Syahida, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.