Kita saksikan, gunung memompa abu,
Abu membawa batu, batu membawa lindu,
Lindu membawa longsor, longsor membawa banjir,
Banjir membawa air, air mata. (Taufiq Ismail).
Mata Akademisi, Milenianews.com – Yah, seperti kiranya ungkapan penyair ternama (Taufiq Ismail) yang berjudul “Membaca Tanda-tanda”.
Pandemi menggiring berita, yang tentunya menjadi bencana kehidupan manusia yang ditandai dengan keresahan. Perjalanan Covid-19 tentunya masih saja dan selalu segar didendangkan di berbagai negara, terutama di Indonesia.
Patogen berukuran nano ini, hadir menjadi momok yang begitu menakutkan. Popularitasnya dimana-mana, tapi ending-nya kematian menjadi akhir dari perjalananorang yang terinfeksi. Bakan tak hanya membuat nyawa meninggal, namun juga mati jiwa dan raga, termasuk matinya hati nurani manusia.
Baca Juga : Bahagia dan Cemas dalam Bingkai Corona
Efeknya segala kebijakan bermunculan, mulai dari lockdown, orang-orang dirumahkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karantina, penyemprotan, social distancing, penggunaan masker, tes suhu serta anjuran protokol kesehatan lainnya.
Akibatnya adalah penggunaan anggaran telah dialihkan untuk penanganan Covid-19 ini. Demi memutus penyebaran virus, termasuk menumbuhkan rindu sepasang kekasih yang tak dianjurkan untuk bertemu.
Iya, memang begitu. Hidup itu kadang kala seperti tangga nada, memainkannya mesti sesuai tempo agar tetap pada keseimbangan. Mendengarnya tentu asyik, layaknya suara takbiran di malam lebaran yang fitri bagi umat muslim. Pertanda ramadhan 1441 hijriah segera berlalu. Namun tak seperti biasanya, bagi manusia yang hidup di era ini.
Segala yang berbunyi terkadang mengundang perbincangan luas. Seperti bunyi pembagian sembako/bantuan dari pemerintah yang tentunya berujung pada komentar yang berirama pro dan kontra dari kalangan masyarakat.
Desas desus protes dimana-mana hingga cukup nyaring bunyinya. Bantuan yang diluncurkan mulai dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Bantuan Langsung Tunai (BLT Desa), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Pemerintah Non-tunai (BPNT), Bantuan Presiden dan sebagainya.
Pembagian bantuan yang terdampak berujung kontroversial hingga menghadirkan suara-suara sumbang. Khususnya masyarakat di kalangan kelurahan/desa, bunyinya kira-kira seperti ini.
“Pembagian tidak merata, diskriminasi, pembagian bantuan di malam hari, pemerintah kok jual masker, yang mengadu justru di bully hingga nangis, kurangnya sosialisasi, saling sembunyi tangan, dan beragam jenis suara sumbang lainnya”.
Terdengar aneh bukan? Atau mungkin yang aneh adalah tulisan ini.
Demikianlah bisikan-bisikan resah, suara-suara sumbang masyarakat desa, laksana virus kegelisahan yang menular ke dalam nalar para pendengar. Dilansir dari media online, selain suara sumbang tadi, bahkan terjadi demonstrasi di kantor-kantor lurah/desa beberapa daerah yang berujung pada pembunuhan aparatur desa. Wow.
Mengutip coretan Muhammad Akbar A, bahwa kata Ibnu Khaldun (2011), “Sesungguhnya itu bukan perilaku asli orang-orang badui (desa/kampung). Sebab desa adalah simpul keadaban, sementara kota adalah simpul kebiadaban”.
Tapi bagaimana pun juga, kebijakan tentunya berasal dari kota, ditambah lagi oknumnya yang kurang manusiawi. Entah benar atau tidak, mungkin saja narasi ini kurang tepat. Mari cerna seksama.
Antara kebijakan beserta nada-nada yang sumbang demikian tak terlepas pada pengaruh atau kendali kondisi sosial. Henry Manampiring dalam bukunya “Filosofi Teras” (2019), menyuguhkan kerindangan pendapat dari salah satu filsuf Stosisme (Zeno).
Bahwa kesempurnaan manusia dicipta pada “dikotomi kendali”. Antara kendali pada diri, serta kendali di luar diri”. Hidup tak menyerah pada keadaan, tindakan mesti berangkat pada kendali yang berdalil pada keimpulan yang matang.
Nah, bagaimana dengan kendali pemerintah?
Ributnya perbincangan pandemi yakni ada pendapat bahwa Pandemi ini adalah konspirasi dari orang berkepentingan untuk meraih New World Order, belum lagi soal Vaksin, hutang negara, Partai Komunis, Omnibus Law, RUU, BPJS, Minyak dunia (BBM), Pilkada, dan segala macam aromanya. Hingga kesimpulanya sampai pada New Normal. Yaitu jenis hidup baru dengan maksud hidup normal. Mungkin, normal yang berdasar pada kebijakan pemerintah.
Selain daripada itu, pandemi selalu meriah dan begitu ramai diberitakan di media-media. Di lain sisi nada-nada sumbang kian bermunculan. Pengklaiman kebenaran pun semakin merajalela. Yang pasti ending-nya sampai pada pemangku kebijakan (pemerintah). Kira-kira seperti itulah manusia, aneh jika dibaluti kuasa birahi.
Kata Ali Syariati dalam bukunya “Ideologi Kaum Intelektual” (1984), menyebut 4 manusia yang dalam Al-Qur’an yakni Fir’aun (penguasa yang korup, menindas dan merasa selalu benar), Haman (kelompok teknokrat, melacurkan ilmu denga tirani), Qarun (kaum kapital yang rakus dan mengisap kekayaan), dan Bal’am (Tokoh agama yang melegitimasi kekuasaan yang korup dan meninabobokkan rakyat). Kesimpulannya adalah melanggengkan status quo, entahlah, coba tanyakan ke mahasiswa.
Baca Juga : Pertarungan Ekonomi Global dan Usaha Manusia Mematikan Tuhan
Jika memang kuasa buruk di balik pandemi demikian berkelanjutan, lantas bagaimana nasib kemanusiaan menjalani kehidupan New Normal? Bagaimana mengatasi penghianat bangsa? Akankah pandemi ini selalu bernada sumbang? Apa coba? Intinya mari lawan corona dengan saling memanusiakan. Juga jangan lupa lawan penghianat bangsa yang memanfaatkan kondisi di balik pandemi ini, termasuk melawan ego dan hawa nafsu yang menindas hidup kita.
Apa memang begitu? Kalau benar adanya, setidaknya narasi sumbang ini menjadi sumbangan refleksi kita bersama.
Demikianlah asumsi sumbang…
Kutitipkan harapku pada kuncup-kuncup kumbang yang layu. Walau berlumur duka dan resah, namun peduli sesama mesti kembali mekar bernuansa cinta.
Penulis : Iwan Mazkrib (Penulis Buku “Kecupan Sang Penyair”, mahasiswa Akhir jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar).
Malino, Mei 2020