Restart after August

Restart after August

Bahasa Inggris, mata pelajaran yang paling tidak kusukai sejak kelas 1 SD. Setiap kali hari Senin dan Rabu tiba, keinginan untuk segera menyelesaikan waktu di sekolah begitu mendalam. Bahasa Inggris bagai batu sandungan dalam perjalanan pendidikanku. Nilai nol tak bosan-bosan menghiasi lembar-lembar latihan, dipadu dengan ejekan teman-teman sekelas, bagaimana tak merasa kecil? Aku bukan tombol, tetapi aku tertekan. Dalam bayang-bayang kegagalan, aku mengadu pada orang tua. Lalu dengan tangan dingin, mereka membangun jalan keluar melalui les Bahasa Inggris.

“Aina, nanti Abi leskan kamu setelah pulang sekolah, jangan menangis lagi. Nilai Bahasa Inggrismu harus tinggi,” ucap Abi menyemangati. Ibu pun mendukungku.

Sejak hari itu, setiap pulang sekolah Abi langsung mengantarku ke tempat les Bahasa Inggris. Memori-memori yang begitu mengesankan. Aku diajar oleh seorang tutor ramah dan pandai. Belajar terasa menyenangkan sambil bersosialisasi dengan anak-anak lain.

Baca juga: Bangkit Karena Harapan Atau Menyerah Karena Cobaan

“Bahasa Inggrisnya mobil apa?,” tanya Abi.

“Car!” seruku dengan semangat membara.

Ini menjadi keseharian kami, Abi akan selalu melontarkan pertanyaan untuk menguji kemampuanku setelah les usai.

“Wih pintar sekali putri kecil Abi. Coba kalau “I love you” dalam Bahasa Indonesia artinya apa?” tanyanya lagi.

Aku sontak menjawab “Aku mencintaimu, Abi,” hanya suaraku yang terdengar menggelegar, mengisi kesunyian lorong sempit sore itu. Pulang ke rumah dengan penuh kehangatan.

Namun, semuanya hancur tiga bulan kemudian. Abi kehilangan pekerjaan, mendaratkan keluargaku di jurang perekonomian. Dengan berat hati harus berhenti les, bahkan nyaris berhenti sekolah karena tidak mampu membeli buku ataupun perlengkapan sekolah. Dalam keadaan sulit, tekad belajar tetap menyala.

Orang tuaku berusaha begitu keras mengumpulkan recehan, mereka memberikan inspirasi besar bagi “Aina kecil”. Ibuku menitipkan kue-kue di warung, sedangkan Abiku menjadi pengojek setelah di-PHK. Hal itu kian berlanjut selama aku duduk di bangku SD. Kadang-kadang, terselip rasa iri melihat teman-teman yang memiliki kamus Bahasa Inggris. Biarpun begitu, aku menorehkan suatu tekad di hati. “Jangan sampai perasaan itu meredupkan semangat belajarmu, Aina!”

Aku memutuskan untuk belajar mandiri. Bukan lagi dengan bantuan tutor berpengalaman, melainkan dengan memanfaatkan kamus Bahasa Inggris yang selalu kupinjam, mencatat kosa kata baru dan menghafalnya setiap hari. Perjuangan itu tidak sia-sia.

Prestasi mulai menghampiri saat aku duduk di bangku kelas 3 SD. “Peringkat 2 atas nama Aina Putri SalsaBella!” Begitu namaku dipanggil, hati ini berdebar tak karuan. Rasanya campur aduk, antara kebanggaan dan keharuan. Itulah prestasi pertamaku. Rendahnya nilai dan ejekan berubah menjadi pujian guru dan teman-teman yang pernah mengolok-olokku dengan julukan “Langganan telor busuk di mata pelajaran Bahasa Inggris.”

Kukira aku sudah sangat mahir. Hingga, ketika melangkah ke jenjang SMP tantangan baru muncul. Grammar yang tak pernah kupelajari menyusup dan menghancurkan ekspektasi. Susah payah kurintis nilai Bahasa Inggris sampai puncak gemilang, malah kembali terjun dengan bebas.

“Kenapa nilai Bahasa Inggrisnya merosot lagi?,” Abi menggenggam kertas ujian Bahasa Inggrisku, terpampang angka 63 bertinta merah di secarik kertas itu.

“Sekarang materinya kompleks, belajar dari kamus saja tidak cukup. Harus menata kalimat dengan baik dan benar, syarat-syaratnya juga banyak!” ucapku kesal. Abi tampak berpikir sejenak.

“Abi punya seorang teman dari Afrika, pasti ia akan senang membantu masalahmu,” ungkapannya berhasil membuatku terpana.

Keesokan harinya, aku berjalan keluar gerbang usai menyelesaikan sekolah. Tampak batang hidung Abi tengah menunggu di bawah terik matahari. Aku bergegas menghampirinya. Motor mulai menderu menyusuri jalan yang padat oleh anak-anak pulang sekolah.

Di sela-sela berkendara, Abi bersuara, “Setiap hari dia memesan nasi padang, orangnya sangat ramah.” Sejak aku masuk SMP, Abi bekerja di kedai nasi padang bagian pengantaran. Dari sanalah ia mulai berteman dengan orang tersebut. Awalnya aku menolak, sempat merasa tak percaya diri. “Bukankah kamu belajar Bahasa Inggris agar bisa berbahasa Inggris? Lantas, mengapa harus segan?,” Kalimat Abi berhasil mengubah pikiranku. Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai di kantor Imigrasi. Teman Abi itu seorang imigran.

“Sastra!” panggil seseorang dari kejauhan. Perawakannya tampak bukan seperti orang lokal. Badannya tinggi kekar dan berkulit gelap. Ia langsung menghampiri kami.

“Why it took you so long just to deliver this?”, ucapnya dengan akses Inggris yang kental.

“Sorry Joseph, I was picking up my daughter first. One way.” Aku terperangah mendengar Abi dengan lancar membalas orang itu. Abi lalu menyodorkan kantong kresek yang berisi sebungkus nasi padang.

“Oh! Is she your daughter? Nice to meet you, young lady. I’m Joseph.” Dia memperlihatkan senyumnya yang hangat padaku. Aku tersenyum malu-malu.

“Nice to meet you too, sir,” jawabku canggung.

Baca juga: Hidup Berputar 180 Derajat, Pak Theo : Dari Menjual Tahu, Sampai Memberi Tahu

“Yes. She is Aina, my daughter.” Ucap Abi memperkenalkan namaku. Abi memberiku sinyal untuk mencoba mengajak Joseph berbicara, namun aku selalu menunduk.

“She’s shy, but she really wants to talk with you. She wants to be fluent talking in English. That’s why, today I bring her with me.”

Berkali-kali aku dikejutkan oleh kefasihan berbahasa Inggris yang Abi pancarkan. Tak pernah terpikir olehku jika Abi sangat mahir berbahasa Inggris.

“Oh! I will be happy talking with a sweet lady! How are you these days, Aina?” Joseph mulai mengajakku berbicara. Rasa gugup serta blank menyelimuti diri, seketika aku bingung ingin merespons apa.

Namun, Abi menatapku dengan penuh semangat, matanya seakan berkata, “Ayo, kamu pasti bisa!” aku menarik napas dalam-dalam dan dengan penuh keyakinan menjawab, “I am fine sir, how are you?”

Permulaan berjalan mulus, kami mulai terlibat dalam percakapan ringan setelah saling bertanya kabar. “I like rendang so much. It’s like, I can not live without this.” Katanya sambil tertawa renyah. Tawa nyaringnya tentu menular padaku dan Abi. Walau begitu, aku bersyukur bisa bertemu dengan seseorang yang unik seperti Joseph.

“Thank you, Joseph. Sorry if my English sounds bad,” ujarku pelan.

“What do you mean? Your English is very good! Tomorrow come here and talk with me again, ok?” Dengan senyum lebar, aku langsung mengiyakan permintaannya.

Esoknya, aku dan Abi datang lagi mengunjungi Joseph, begitu pula seterusnya. Hari-hari terasa menyenangkan ketika aku belajar sambil bertukar cerita dengan penuh antusias. Rasa gugup perlahan sirna seiring bibit percaya diriku tumbuh. Joseph sangat pengertian, bersedia mendengarkan dan menuntun saat aku kesulitan merangkai kata-kata. Aku kembali merintis nilai Bahasa Inggris di sekolah yang sempat drop. Setahun lebih aku berkomunikasi dengannya. Seiring waktu, aku mulai terbiasa dengan aksen Inggris yang kental itu. “See you tomorrow, Joseph!” Itulah lambaian terakhirku padanya.

Wabah virus Covid-19 menjadi awal yang tidak diinginkan, menghantui semua orang hingga enggan keluar rumah. Sekolah, kantor-kantor, semua aktivitas terpaksa ditunda. Waktu terus berputar dan dua minggu telah lewat, namun masih belum ada berita baik. Mau tak mau, Abi mulai kembali bekerja walau situasi di luar masih keruh. Jika tidak, bagaimana kami mengisi perut?

Sekolah tak kunjung dibuka, kebijakan baru mulai ditampakkan. Terasa asing tetapi brilliant, di rumah pun bisa bersekolah menggunakan teknologi canggih.

“Ini HP buat kamu sekolah, belajar yang rajin ya!” seru Abi.

Dua tahun harus bersekolah sedari rumah melalui kelas online, dua tahun tak perlu diantar atau dijemput. Kabar Joseph pupus tak berjejak. Kata Abi, ia tak pernah memesan nasi padang sejak situasi lockdown.

Bukan tak tahu waktu, bukan pula lupa diri. Namun, waktu terus berjalan tanpa henti, seolah aku dipaksa melangkah tanpa arah. Tiba-tiba saja, aku sudah duduk di bangku SMA. Wabah Covid-19 mereda. Segala aktivitas kembali beroperasi. Masuk sekolah baru di bulan Juli, suasana yang telah lama dirindukan oleh semua insan. Tak lupa berpamitan sebelum pergi sekolah. Setelah pulang sekolah, aku menceritakan hal yang terjadi di sekolah.

“Aina bergabung di ekstrakurikuler English club hari ini.” Semuanya baik-baik saja, sampai pada bulan Agustus. Ternyata, sudah waktunya Abi berpulang.

Baca juga: Hampir Menyerah

“I don’t want to feel this way.”  Bagai berdiri di tepi jurang, kapan pun aku siap menjatuhkan diri, melepaskan segala jerih payah dan harapan. Agustus, bulan yang menyisakan luka. Butuh beberapa waktu hingga Agustus usai. Aku berangsur-angsur menerima takdir dan memperbaiki diri. Bagaimanapun, nilai Bahasa Inggris harus tinggi, sesuai janjiku pada Abi.

Aku tidak ingin menyia-nyiakan apapun. Semua tantangan kulalui, tenaga kugerus, waktu kukuras. Mencoba berbagai macam tes, memantapkan diri mengikuti seleksi perlombaan English Speech dan English Debate. Aku sering terjatuh dan gagal. Hanya masalah sepele, toh aku bisa bangkit lagi. Pada akhirnya, saat beralih ke kelas 2 SMA, aku berhasil meraih beberapa prestasi di English Speech dan English Olympiad. Kini aku sudah kelas 3 SMA, nilai Bahasa Inggrisku selalu “A”.

“Aina ingin menepati janji. I want to make him proud of me.”

“Ibu yakin Abi bangga kalau dia di sini,” ucap Ibuku dengan senyum tulus.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Penulis: Aina Putri SalsaBella, Siswi SMAN 2 Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *