Perjalanan Sang Penulis

Perjalanan Sang Penulis

Namaku Muhammad Nur Haikal. Aku merupakan Siswa kelas 10 di sebuah SMA negeri di Tangerang. Bagiku SMA adalah garis awal dari panjangnya perjalanan yang akan kujalani. Saat insan lain entah mencari jati diri dengan berpetualang di dunia percintaan, Aku masih berkutat dengan masalah yang ada di dalam diriku. Masalah ini semakin serius pada awal tahun ajaran baru, dimana aku dinilai terlalu introvert oleh teman-temanku.

Semester 2 kelas 10 telah dimulai. Tetap tak ada yang berubah dari hidupku. Biasanya selepas sekolah selesai, aku langsung pergi berkelana mengelilingi Tangerang seraya menikmati angin sore yang mengelus lembut wajahku. Dengan motor bebek kepunyaan ayahku, sore kali itu aku berkelana jauh tanpa tujuan hingga aku turun di sebuah toko barang antik yang cukup menarik perhatian.

Aku berkeliling di toko tersebut untuk melihat barang antik yang bermacam – macam. Aku pun berhenti di sebuah mesin ketik tua. Pemilik toko melihat diriku yang cukup lama memperhatikan mesin ketik dan memutuskan untuk mendekat. Dia berkata mesin ketik itu milik seorang sastrawan. Pemilik toko itu berkata bahwa sastrawan ini tak seperti sastrawan lainnya.

Baca juga: Hidup Berputar 180 Derajat, Pak Theo : Dari Menjual Tahu, Sampai Memberi Tahu

Biasanya sastrawan lain berlomba lomba membuat sebuah karya, namun dia hanya membuat 4 buku seumur hidupnya. Dia kerap dihina dan dikritik oleh sastrawan lainnya hingga suatu hari dia membuat sebuah novel yang mengguncangkan dunia literasi di Indonesia. Aku yang mendengar cerita tersebut merasa takjub, seolah aku bisa merasakan kehadiran sastrawan tersebut.

Malam itu, aku tak bisa tidur sama sekali. Dalam keadaan bingung aku mengambil secarik kertas dan pulpen. Kalimat demi kalimat aku tuliskan, mulai meringankan kepalaku hingga tak sadar aku telah mencapai penghujung akhir kertas. Aku melihat kertas tersebut, tak tahu apa yang terjadi dengan diriku tapi aku tahu malam itu aku telah merapikan pikiranku.

Setiap malam aku kerap tenggelam dalam alunan kata yang aku tuliskan di secarik kertas. Dengan perasaan penasaran tentang menulis aku mulai mengikuti ekskul jurnalistik. Aku tak mengira jurnalistik sangatlah menyenangkan dan sangat menantang. Kemampuan menulisku dibandingkan dengan yang lain masih sangatlah jauh. Dengan alasan itulah maka dengan aku bersemangat untuk terus meningkatkan kemampuanku.

Di bulan ketiga aku mengikuti ekskul jurnalistik, akhirnya karyaku pantas untuk dipajang di mading utama sekolah. Pencapaian ini membuat diriku lebih semangat dalam menulis. Masalah sosialku ternyata berangsur-angsur berkurang.

Ternyata pencapaian ini tidak disambut baik oleh orang tuaku. Dengan prihatin mereka mengatakan bahwa aku tak akan sukses jika hanya menulis novel atau puisi. Saat itu, tak sedikitpun aku marah terhadap orang tuaku. Aku paham bahwa mereka hanya ingin yang terbaik untukku, dengan tulus kujelaskan bahwa ini adalah keputusanku yang aku sudah pikirkan.

Setiap tahun, pemerintah kerap akan mengadakan lomba karya tulis dengan peserta se-Indonesia. Mengetahui hal tersebut. Aku berambisi menjuarai lomba itu. Aku berlatih siang dan malam mengasah kemampuan menulisku tanpa ada rasa lelah sedikitpun. Alhasil pada kelas 11 aku berhasil menjadi 50 besar. Sayangnya saat aku ingin mengikuti seleksi 16 besar, aku terkena penyakit tifus yang membuatku harus istirahat total selama 2 minggu penuh.

Sembuhnya diriku tak berarti semangatku sembuh pula. Menyadari aku akan menjadi kelas 12, aku tak tahu apakah aku harus merelakan ambisiku untuk menjuarai lomba karya tulis tingkat nasional atau harus fokus belajar untuk ujian nasional.

Baca juga: Hampir Menyerah

Saat diriku sedang dilanda kebingungan, aku mendengar suara aneh di teras rumahku. Disana terdapat ayahku yang sedang bermain dengan barang usang. Ternyata barang usang itu adalah sebuah mesin ketik tua. Ayah mengatakan bahwa dia mendapatkannya dari temannya yang sedang pindahan rumah. Seketika aku teringat kembali dengan cerita di toko barang antik itu. Maka pada malam itu aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi mengikuti lomba itu.

Dengan perjuangan yang Panjang aku mengikuti tes seleksi karya tulis hingga akhirnya aku berhasil menjadi 16 besar. Kerja kerasku selama ini akan diuji dengan tes seleksi 3 besar. Untuk seleksi 3 besar kali ini cukup berbeda dengan seleksi sebelumnya. Aku harus membuat sebuah karya kisah inspiratif. Hal ini cukup mengejutkanku dikarenakan aku belum begitu terlatih dalam membuat sebuah cerita. Dengan bantuan para teman-teman dan pembimbingku dari ekskul jurnalistik, aku mampu menghasilkan sebuah cerita dengan tema pantang menyerah.

Ternyata ada rasa yang mengganjal setiap kali aku membaca kembali karya yang kubuat. Terasa ada sesuatu yang kurang. Hingga sekolah selesai pun aku tetap belum menemukan jawabannya. Dengan rasa kesal ku kendarai motor bebek ayahku dengan harapan angin sore akan menenteramkan hati ini.

Tak terasa seberapa jauh aku kendarai motor bebek ini hingga aku sampai ke tempat toko barang antik itu. Tak banyak yang berubah dari toko itu. Barang-barang antik kian bertambah dan yang lama masih pula dijaga. Kulihat Kembali mesin ketik itu dengan lamat- lamat, melihat hal ini pemilik toko itu mendekatiku.

Dia bertanya, “sepertinya kau sedang kesal, anak muda?”

Aku bingung bagaimana dia tahu. Walaupun dalam keadaan bingung, aku tetap menjawab pertanyaannya. Dia hanya menganggukkan kepala saat dia mendengar permasalahan yang sedang kualami. Akhirnya dia tersenyum. Dia berkata aku mengingatkan dia akan pemilik mesin ketik itu.

Dia bercerita bahwa sastrawan itu berhasil membuat sebuah karya bukan karena kehebatannya memilih kata tapi dia menulis karya itu dengan hati yang tulus dan semangat pantang menyerah. Mendengar jawaban dari pemilik toko itu, mukaku langsung cerah dan segera menyalami seraya berterimakasih atas jawabannya. Segera pada malam itu aku merombak seluruh karyaku dan menulisnya kembali dari nol. Kali ini aku akan mencurahkan hatiku untuk karya ini.

Pengumuman pemenang itu akan dilaksanakan setelah aku ujian nasional. Setelah aku susah payah mengerjakan ujian nasional, aku harus dihadapi perasaan gelisah. Apakah aku akan lolos menjadi 3 besar? Saat Pengumuman pemenang juara 3 dan 2, aku berharap namaku disebutkan. Sayang namaku tak kunjung disebut.

Baca juga: Delusi Dalam Diri

Pada pengumuman juara 1, aku sudah pasrahkan hasil ini kepada yang maha Esa agar mendapatkan hasil terbaik. Hasil terbaik dari apa yang kudapatkan ialah arti dari kata sabar. Dengan tegar, Aku ikhlaskan hasil ini kepada ALLAH SWT. Ternyata pengumuman belumlah selesai.

“Pengumuman karya terfavorit, dimenangkan oleh Muhammad Nur Haikal”. seakan tak percaya tentang apa yang terjadi. Aku langsung sujud syukur , dan berkali kali mengucap syukur atas pencapaian ini. Aku memang bukan seorang juara 1 ,2 maupun 3, tapi karya yang kubuat adalah curahan dari segala isi hatiku dan menurutku itu sudah lebih dari cukup.

Hidup ini tak selalu tentang menang ataupun kalah. Apapun hasil yang didapatkan, kita harus tetap berpegang teguh dengan tujuan kita. Tak peduli seberapa banyak kita kalah dalam kehidupan, yang terpenting adalah seberapa banyak kita bangkit untuk menjadi lebih baik.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Penulis:  Muhammad Haikal Noviandri, Siswa SMA Islam Nurul Fikri Boarding School Serang

Respon (2)

  1. Taruslah berkarya hanya dan tiada kata terlambat untuk memulai jadikan kritik untuk perbaikan dan menambah motivasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *