Melukis Mimpi dengan Tinta Kegigihan

Melukis Mimpi dengan Tinta Kegigihan

Setiap orang tentu pernah mengalami kegagalan. Meski demikian, makna gagal bagi setiap orang bisa jadi berbeda-beda. Bila merujuk pada KBBI, gagal adalah tidak berhasil atau tidak tercapai. Saya merupakan orang yang awalnya sepakat dengan pengertian tersebut, sehingga saya sering merasa pesimis ketika akan melakukan sesuatu. Pandangan ini tumbuh tidak lepas dari pengalaman pahit yang saya terima sejak kecil.

Selama saya berada di bangku SD, saya jarang sekali mendapatkan nilai yang bagus. Sebaliknya, kakak saya memiliki kemampuan akademik yang baik. Hal ini membuat saya merasa kehadiran kakak saya lebih mudah diterima oleh orang-orang di sekitar. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa kakak saya sudah pintar sejak lahir.

Meski terkesan tidak adil, tetapi hal tersebut justru membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah saya mampu menjadi seperti kakak saya yang tidak perlu mengeluarkan banyak usaha untuk dipandang sebagai anak pintar?”. Semenjak itu saya mencoba untuk mengamati apa yang berbeda di antara kami berdua.

Baca juga: Kertas Tanpa Pena

Kami berdua memiliki sifat dan tipe kepribadian yang berbeda. Kakak saya cenderung menggunakan logika dan penalaran saat menyelesaikan suatu permasalahan, sedangkan saya dominan menggunakan perasaan. Kedua sifat inilah yang menjadikan saya dan kakak saya berbeda dalam bidang akademik. Banyaknya pujian serta dukungan yang kakak saya dapatkan menjadikan saya kurang percaya diri sehingga saya meragukan kemampuan diri saya sendiri.

Beruntungnya, saya memiliki orang tua yang mampu menjadi support system terbaik. Orang tua saya mencoba mengulik dan mengasah kemampuan saya dari berbagai bidang, mulai dari seni, olahraga hingga bahasa. Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami menyadari bahwa saya memiliki keterampilan di bidang seni dan orang tua saya sangat mendukung dalam pengembangan keterampilan yang saya miliki.

Sejak saat itu, saya mulai mengikuti berbagai kursus kesenian dan terus mengasah kemampuan. Saya menikmati berbagai kursus seni yang saya ikuti karena meningkatkan keingintahuan saya dalam bidang seni. Tanpa disadari, dukungan yang saya peroleh dari orang tua telah meningkatkan kepercayaan diri saya.

Saya tidak lagi minder dan merasa gagal karena tidak memiliki kemampuan akademik sebaik kakak saya. Saya mulai menemukan kemenangan dalam diri saya, yakni menang melawan sikap pesimistis yang sebelumnya saya miliki. Dari sini kemudian saya menemukan definisi gagal yang baru, bahwa gagal bukan berarti tidak berhasil melainkan batu loncatan menuju kemenangan.

Baca juga: Hampir Menyerah

Keberhasilan melawan sikap pesimistis dalam diri saya ternyata harus diuji saat saya harus tinggal terpisah dengan orang tua. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP, saya melanjutkan pendidikan SMA pada salah satu Pondok Pesantren Internasional yang berada di Malang. Bagi saya, hidup di asrama tanpa kehadiran orang tua merupakan hal yang tidak mudah terlebih saya bukan orang yang cepat beradaptasi.

Saat banyak teman sudah bisa berbaur di lingkungan sekolah, saya justru masih mencoba berdamai dengan keadaan dan mengamati segala hal yang mungkin dapat saya lakukan agar memperoleh rasa nyaman di lingkungan yang asing ini. Tetapi saya kembali teringat pada definisi gagal yang saya temukan sebelumnya bahwa itu merupakan batu loncatan menuju kemenangan. Dari situ, semangat saya untuk bangkit kembali membara.

Berbekal semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi, saya mencoba mengikuti berbagai acara eksternal maupun internal yang diadakan sekolah hingga menumbuhkan minat untuk berpartisipasi dalam berbagai perlombaan. Kali ini tidak hanya dibidang seni tetapi bidang bahasa, yakni lomba Bahasa Inggris yang diadakan oleh salah satu organisasi Pendidikan di Kota Malang.

Meski saat itu saya belum berhasil masuk ke babak selanjutnya, tetapi semangat saya tidak surut. Melihat teman-teman saya yang lolos dalam perlombaan tersebut justru meningkatkan semangat berkompetisi dalam diri saya.

Baca juga: Coretan Asa pada Arunika

Berselang satu bulan sejak kegagalan tersebut, saya kembali mengikuti lomba dengan kategori yang sama tetapi berasal dari penyelenggara yang berbeda. Kali ini saya sudah punya bekal dari kegagalan sebelumnya sehingga saya mencoba untuk menerapkan strategi yang digunakan oleh teman saya pada perlombaan sebelumnya. Kali ini saya berhasil dan mendapatkan peringkat harapan 3.

Meski bagi sebagian orang mendapat peringkat harapan 3 belum cukup memuaskan, tetapi saya tetap bersyukur. Bagi saya, ini merupakan buah dari sikap tidak menyerah atas berbagai kegagalan yang saya peroleh di masa lalu.

Pengalaman jatuh bangun menerima berbagai kegagalan dan berusaha keluar dari sikap pesimis menjadi batu loncatan bagi saya untuk terus berkembang mencapai berbagai kemenangan. Hingga akhirnya, kini saya memahami bahwa manisnya kemenangan hanya akan dirasakan oleh mereka yang tau pahitnya kegagalan dan perjuangan. Selain itu, dukungan orang-orang sekitar terutama orang tua dan teman merupakan karunia yang patut disyukuri keberadaannya, karena tanpa mereka, mungkin manisnya kemenangan belum bisa saya rasakan hingga hari ini.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Penulis: Ayasha Nabila Saquila, Siswi Thursina International Islamic Boarding School (IIBS)

Respon (11)

  1. KEREN! Seorang adik memang harus bisa keluar dari bayang-bayang kakak nya!! Ternyata bekal semangat sangat berpengaruh jika ditindak lanjuti dengan tindakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *