Serangga membiarkan terik matahari membakar dirinya saat hari mencapai tengah. Tidak menggeram tapi meraung karena seekor serangga tahu diri. Di tengah kesengsaraan, induk serangga telah memperoleh kesudahannya sebab Harriet Tubman tidak lagi hidup dalam atma. Boleh jadi Ajeng adalah seekor serangga, sehingga pasukan kekejian sudah siap memborbardir kerangka miliknya sewaktu ia lengah. Gadis itu mencoba bertahan saat mencapai garis tengah sebab Sang Baginda butuh anggur dan dolar untuk hidup.
Menggores kulit dengan pisau tumpul tidak cukup untuk memuaskan ruang gelap itu, Ajeng ingin ditelan bumi seperti ibunya. Tidak setitik pun terpikirkan gelar dunia sebab nalarnya telah kalut dimakan para penagih dan hutang.
Tiba-tiba saja si Penagih Hutang menyambar Ajeng. Gawat! Ia belum siap menjelma sebagai Harriet Tubman. Gumpalan kabut menghadang pandangannya, ia kehabisan akal. Si Penagih Hutang sudah menggedor-gedor pintu, situasi ini genting. Ajeng berniat melompat lewat jendela sebab dalam sekejap mata si Penagih Hutang tidak akan ragu mendobrak pintu.
Baca juga: Delusi Dalam Diri
Di tengah pergumulan, si Penagih Hutang berhasil mendobrak pertahanan gadis itu. “Ajeng sayang…, tagihan bulan ini belum sampai di tanganku, lho. Kemanakah gerangan dirimu?” Pertanyaan itu dibiarkan tersangkut di udara sedang Ajeng terpaku di kamarnya.
Si Penagih Hutang telah berdiri tepat di hadapannya, tangan berbau cengis mulai membelai rambut pendek Ajeng. Hening berkuasa di antara dua insan itu. Tubuhnya gemetaran, ia menatap lantai dengan wajah pucat, “Bagaimana jika bulan depan?” Tanpa aba-aba rambut gadis itu ditarik hingga kulit kepalanya terasa seperti akan lepas.
Si Penagih Hutang terkekeh, “Kurasa…, kamu suka konsekuensi,” gadis itu diseret keluar, “nakal sekali…”
Hitam begitu pekat hingga secercah cahaya pun tidak tampak oleh gadis itu. Setengah jam berlalu, gendang telinganya telah dipenuhi gelak tawa perempuan dengan musik heboh mengiring. Beberapa terdengar bercengkerama ingin memasuki wilayah yang lebih intim. Gadis itu diseret ke sebuah ruangan yang sarat dengan asap rokok dan alkohol. Kala itu hari mencemari kesuciannya, melabraknya sedemikian rupa. Ia terengah-engah, tak mampu memaknai kejutan hari itu.
Matahari terbit lagi. Ia kembali berada di singgasana Sang Baginda. Sayup-sayup lenguhan para lelaki bejat meneriaki jiwanya bahkan pekikan anak-anak kecil yang menggelegar tidak dapat menembus. Rohnya diliputi kegentaran dahsyat, ia ingin mati.
Ajeng berlari ke dapur. Ia mendapati pisau tumpul lantas menjumpai penghakiman. Sembilu dan kepuasan itu berbaur, mendoktrin bahwa ia telah kalis. Goresan itu efektif dalam menjaga kewarasannya walaupun tidak untuk jangka yang lama, sebab ia harus bekerja.
Hari telah gelap tetapi udara terik yang tak diinginkan menjangkitnya. Ia menghela napas, “Bapak ambil uang lagi?” Ajeng bergidik ngeri menatap tilikan mata Sang Baginda. Sedetik, tamparan tepat mengenai tulang pipi kirinya. Ia mengeluh.
“Sudah gila kamu!” Hipotesa gadis itu benar sebab reaksi Sang Baginda adalah jawabannya. Sang Baginda kembali menampar pipi kanan Ajeng seraya meracau sesekali mengumpat. Mulanya Ajeng tidak menanggapi, jika ya, perdebatan sepihak itu akan berlangsung sampai fajar menyingsing.
Tetapi tanpa sadar, teriakan keluar dari mulutnya berdesak-desakan. Air bah membludak menelusuri pipi cekung Ajeng. Sang Baginda naik pitam mendengar lolongan derita yang menggempur telinganya. Dentuman-dentuman keras menghantam telak Ajeng layaknya api. Ia meringis kesakitan.
Baca juga: Bangkit Karena Harapan Atau Menyerah Karena Cobaan
Cahaya pagi menyeruak masuk melalui celah-celah dinding, meminta bangun gadis yang berlebam di sekujur tubuh. Ia masih hidup, pikirnya. Sejenak ia berharap bara tadi malam telah padam, namun angin tidak membiarkannya tenteram.
Sang Baginda menggedor pintu rimpuh itu seakan ingin menghancurkan satu kota. Ia berteriak, “Uang!!! Cepat cari uang!” Sesaat gadis itu ingin mati, ia meraih sebilah pisau tumpul lantas menggores perutnya sembari berhalusinasi sesungguhnya ia sudah mati.
Terik menggerogoti pori-pori Ajeng, tetapi ia tak peduli walau pandangannya dipenuhi kunang-kunang. Selangkah lagi tubuh ringkihnya merosot tajam di jalanan kota. Berbagai mata menyaksikan, berbagai tangan diam. Keajaiban berlabuh kesiangan, seorang gelandangan memercikkan air, membangunkan gadis itu. Gelandangan itu menyodorkan tangannya dengan sepotong roti, sepersekian detik Ajeng termangu.
“Aku punya roti…, kalau kamu mau…” Ajeng sudah tidak mampu mengatasi hasrat ganas yang merasuki kedagingannya, ia merampas sepotong roti itu secepat kilat. Gelandangan itu duduk di dekat Ajeng seraya tersenyum ramah meskipun debu menabrak mereka berulang kali. Khalayak memutar kepala mereka hingga sembilan puluh derajat hanya untuk menyaksikan pertunjukkan pelik itu.
Ajeng menawarkan rotinya, ia menduga gelandangan itu belum mengunyah apapun sedari pagi sebab perawakannya kurus kering. Namun gelandangan itu menggeleng dengan lesung pipit yang mencuri hati. Ajeng semakin tidak enak hati, “Aku ingin membalasmu, apa yang kamu kehendaki?”
“Jika bisa… aku ingin kita memasuki ruang pribadi bersama…,” Ajeng mengernyit mendengar suara parau gelandangan itu, “maksudku, relung hati kita…, nurani…” Gelandangan itu memperjelas maksudnya.
Ajeng menimbang-nimbang sembari mencermati tiap inci tampang teman bicaranya, sayatan di pelipis kanan melukis rupa gelandangan itu. Ajeng mantuk-mantuk, “Sesuatu mengganjali sanubariku, darimana kamu mendapati luka itu?”
Gelandangan itu meraba wajahnya, “Ini luka lama, tanda kejatuhanku. Kala itu lembah curam menarikku untuk jatuh, tetapi cahaya selalu mendekap hingga aku hidup kembali. Begitu hangatnya walau aku hanya seorang pengelana asing miskin yang tersesat sebab dunia penuh hipokrit dan saksi palsu.”
Bibir Ajeng getir meski gumpalan roti memenuhi mulutnya. “Bagaimana bisa? Cahaya itu tak pernah sekalipun terasa melirikku,” netranya berkaca-kaca, “apakah aku menghilang dari pandangannya? Apakah aku telah menjadi bagian dari bayangan suram itu?”
Gelandangan itu berdiri lalu mengulurkan tangannya, “Cahaya mengulurkan tangannya seperti ini…, uluran itu senantiasa menunggumu bangkit.”
Baca juga: Merajut Asa Sampai Malam Menjemput
Mata gadis itu memudar, akalnya menjelajahi dunia gulita yang selalu menghantui. Fragmen-fragmen kejam berbaris, menunggu giliran untuk diputar seperti piringan hitam. Merangkai melodi hingar-bingar yang memekakkan telinga. Ajeng bersuara, “Aku rasa aku tidak bisa. Aku sudah terlalu dalam jatuh…,” ia memegangi perutnya yang terasa nyeri sedari pagi.
Tangan gelandangan itu tetap terbentang, “Siapa yang berkata? Lihatlah…, aku tetap mengulurkan tanganku seperti cahaya itu. Aku tidak peduli seberapa dalam kamu telah jatuh, karena cahaya itu siap sedia menunggumu. Aku peduli jika kamu tidak berhenti sampai terbang jauh hingga bangkit dari kepahitan.”
Ajeng memandang dalam mata gelandangan itu lantas memeluknya, “Aku ingin…, aku ingin terlahir kembali.”
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.
Penulis: Rini Yolanda Marbun, Siswi SMAS Tadika Pertiwi Depok
LET’S GOOO WINNER WILL ALWAYS BE A WINNER
menyala abangkuh🔥🔥🔥
OMAGAAA RINIII PERFECT BANGET CERITANYAA😭😻😻✨✨🙌SEMANGATTT RINIII SEMOGAA MENANGG GOOD LUCK RINIII😻🙌❤🤩
wihhh kerenn