“Jika kamu ingin punya anak berikan air ini ke istrimu. Suruh dia minum air ini hingga habis, maka kau akan punya keturunan. Tapi kau sendiri akan membayar kepadaku”
Ratri dan suaminya Parjo, sudah menikah selama 15 tahun. Ratri yang berasal dari keluarga berada harus menelan pahitnya kehidupan menikah dengan Parjo. Ia diusir oleh keluarganya sendiri karena menikah dengan pria miskin yang hanya bekerja sebagai petani singkong.
Parjo tak punya penghasilan tetap, namun kesetiaan Ratri rupanya tak luntur. Parjo akhirnya memboyong Ratri ke perkebunan singkong tempatnya bekerja, dibangunlah gubuk beralaskan tanah, atap dari daun kelapa dan perabot yang digunakan semuanya terbuat dari bambu.
**
Perbincangan malam itu membuat Ratri merasa kecewa terhadap Parjo.
“Lima belas tahun sudah kita menikah, tapi kau belum juga memberiku keturunan,” ketus Parjo sembari menikmati teh hangat dengan singkong goreng di teras rumahnya.
Baca Juga : Rumah Sakit Ghaib
Ratri hanya bisa menatap Parjo dan tanpa basa basi ia masuk ke rumah. Ratri meneteskan minyak goreng di kain bekas dan menyalakannya, hanya penerangan itu yang bisa diandalkan. Ratri membersihkan ranjang bambu dan membaringkan tubuhnya.
Tanpa rasa bersalah, Parjo masuk ke kamar dan kembali membuka topik menyebalkan itu.
“Ratri jangan pura-pura tidak mendengar begitu, teman-teman ku semua sudah punya anak. Sedangkan kita belum, aku malu tri, aku juga pengin jadi bapak,” Ratri menghiraukan Parjo, ia lantas beranjak dan pergi keluar meninggalkan suaminya itu.
“Mas…mas, kenapa sih kamu nggak bersyukur punya istri sepertiku. Ya memang aku nggak bisa jadi istri sepenuhnya. Tapi ya kamu lihat dong keadaan kita,” gumam Ratri.
Untuk makan sehari-hari saja mereka bahkan susah, hanya singkong dari kebun yang bisa diandalkan. Untung saja Ratri begitu setia kepada suaminya itu, meski Parjo miskin namun tetap memilih hidup dengan Parjo.
**
Esoknya teh dan singkong tak tersedia di meja, Parjo yang hendak pergi bekerja marah ke Ratri dan mencacinya.
“Kamu ini gimana sih suami mau kerja kok nggak dibuatkan sarapan. Ngurus suami nggak becus, ngasih keturunan juga nggak“.
Kesabaran Ratri mulai habis, pertengkaran antara mereka semakin meledak.
“Terus mas, kamu hina aku begitu. Selama 15 tahun aku menikah denganmu, aku juga hidup susah mas. Kamu nggak pernah nyukupin kebutuhanku, buat makan aja susah. Beras, sayuran kita pun nggak bisa beli mas,” Parjo menampar wajah Ratri dan bergegas mengambil cangkul melangkah pergi ke kebun.
Ratri menjatuhkan tubuhnya yang lemas, ia menangis dan menjambak rambutnya sendiri.
Matahari terbenam, hari mulai malam. Sahutan suara jangkrik dan serangga malam terdengar. Parjo yang biasa pulang sore, kini pulang malam.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan wanita tua. Wanita tua itu memberikan sekendi air kepada Parjo dan membisikkan “Jika kamu ingin punya anak berikan air ini ke istrimu. Suruh dia minum air ini hingga habis, maka kau akan punya keturunan. Tapi kau sendiri akan membayar kepadaku”.
Belum mengucapkan sepatah kata, wanita tua itu menghilang. Mata Parjo terbelalak melihat sekelilingnya yang gelap gulita.
Tanpa pikir panjang, malam itu juga sepulang bekerja ia menyuruh Ratri meminum air dari kendi itu. Ratri kebingungan, ia tak mau namun Parjo terus memaksa dan mengatakan bahwa air itu diberi temannya.
“Ratri, aku dapat air ini dari temanku. Istrinya bisa hamil karena minum air ini. Coba dulu jangan takut aku nggak mungkin meracunimu”.
Karena Ratri mengingat pertengkaran kemarin, ia pun akan berusaha supaya bisa dapat keturunan. Di minumlah air itu.
Selama tiga hari, Ratri rutin minum air yang diberikan suaminya. Ia pun merasakan sakit di bagian perutnya, kepalanya pusing dan mual-mual. Parjo kegirangan melihat istirnya, dia berusaha berfikir positif bahwa istirnya hamil.
“Kayaknya kamu hamil Tri, besok aku pinjam sepeda temanku kita ke klinik. Cek keadaanmu siapa tahu kamu hamil”.
Dengan sepeda, Parjo memboncengi Ratri pergi ke klinik mengeceknya. Benar saja kata bidan, Ratri hamil. Parjo menangis haru, penantian selama 15 tahun akhirnya membuahkan hasil.
“Air itu ternyata benar-benar ajaib, tapi siapa wanita yang memberiku air itu. Aku sungguh ingin berterima kasih kepadanya. Tapi, ah…. sudahlah sekarang aku harus giat bekerja, supaya Ratri bisa makan makanan bergizi”.
**
Kehamilan Ratri memasuki usia 3 bulan, Parjo tetap kekeh merahasiakan asal muasal air itu.
Ratri ke sungai mencuci pakaian. Di sungai Ratri melihat wanita tua mendekat kearahnya, dengan suara serak wanita itu berkata bahwa anak yang dikandung Ratri adalah anaknya.
Melihat wanita itu tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya, Ratri berteriak ketakutan. Rupanya itu hanya mimpi. Untung saja ia terbangun dan Parjo segera memeluknya.
Ratri menceritakan mimpi mengerikan yang ia alami, Parjo berusaha menenangkan Ratri dan berfikir positif. Ia lalu pamit ke istrinya itu, untuk menggait pundi-pundi rupiah.
“Sudah, kamu itu kecape’an, aku pamit kerja dulu tapi aku pulang besok. Singkong hasil panen akan dijual ke pasar. Pasar ke rumah kan jauh, kamu nggak papa ya aku tinggal?,” tanya Parjo ragu. Ratri mengangguk.
Perasaaan Ratri campur aduk, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada suaminya.
“Perasaanku kok nggak enak gini ya, semoga mas Parjo nggak kenapa-kenapa,” ucap Ratri cemas.
Benar saja, di perjalanan menuju pasar, Parjo mendadak sakit dan meninggal. Ia pun dibawa teman-temannya dengan mobil bak terbuka ke rumahnya.
Ratri histeris, ia tak bisa membendung air matanya. Digoyangkan tubuh Parjo berharap suaminya hidup kembali. Tapi takdir berkata lain, Parjo sudah dipanggil oleh sang Maha Kuasa.
Semenjak kepergian Parjo, Ratri kini jadi sering bengong, ia bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri. Usia kandungan yang sudah memasuki usia 9 bulan, tak pernah dapat perhatian khusus.
Kadang Ratri tertawa, kadang ia menangis. Semua dilakukan tanpa sebab. Ia sering bicara sendiri.
“Mas.. ini anakmu sebentar lagi mau lahir, apa kamu nggak sayang? Kamu bilang pengen punya anak. Tapi sekarang kamu pergi ninggalin aku dan anakmu,” lantur Ratri dengan tatapan kosong.
Hanya teman-teman Parjo dan istrinya, yang kadang sering menjenguk Ratri dan memberinya makan. Teman Parjo bahkan sudah menghubungi keluarga Ratri, tapi tak ada jawaban sama sekali, mereka sudah tak peduli lagi dengan Ratri. Kelakuan Ratri semakin hari semakin aneh. Mereka memutuskan untuk tidak lagi berkunjung dan meninggalkan Ratri. Kebun singkongnya juga sudah tak terurus.
**
Pukul 00.00 tengah malam, terdengar suara jeritan dari gubuk Ratri. Ratri melahirkan. Ratri, janda yang ditinggal mati suaminya, berjuang melahirkan anaknya sendirian. Ia nekat melahirkan sendiri tanpa bantuan siapapun. Tubuhnya lemas, nafasnya tersenggal.
Tangis merdu seorang bayi menyeruak di ruangan sepi, Ratri membersihkan darah yang menempel di tubuh bayi mungil itu. Air matanya menetes, mengingat mendiang suaminya yang sangat ingin punya momongan.
“Nak bapakmu pasti seneng lihat kamu lahir, bapakmu sayang nak sama kamu,” sambil meneteskan air mata, Ratri menggendong bayinya itu.
Ratri yang awam pengetahuan tentang melahirkan, membuat bayi yang tak berdosa harus kehilangan nyawanya selama 30 menit setelah lahir. Jantungnya tak lagi berdetak, tangis yang terhenti, nadinya tak lagi berdenyut.
Ratri tak kuasa melihat tubuh sang anak membiru, dingin dan pucat. Dalam kecemasan itu, tiba-tiba angin kencang berhembus dan mendobrak pintu rumahnya. Tanah yang dipijaknya seketika retak, membuat Ratri ketakutan.
Wanita tua yang pernah muncul di mimpinya, berdiri tepat di hadapannya dengan senyum sumringah, “Itu anakku, terima kasih sudah menjaganya selama 9 bulan. Sekarang dia akan hidup bersamaku dan bapaknya Parjo”.
Teriakkan dan cekikikan wanita itu menggaet bayi yang ada dipelukkan Ratri. Ratri merebutnya kembali dan berlari ke arah sungai, berusaha mencari pertolongan. Tapi karena minim penerangan Ratri tak sengaja menendang batu, yang membuat kakinya bengkak.
Bayi itu terlempar ke sungai. Air sungai yang deras membawa bayi itu entah kemana. Ratri kalang kabut, suara tawa wanita tua itu terus mengikuti langkahnya. Ratri tak sanggup berjalan lagi, ia mengumpat di balik pohon beringin. Ratri bingung anaknya jatuh ke sungai, ditambah gelapnya malam, ia tak mampu melihat dengan jelas. Kini Ratri hanya bisa pasrah dan menunggu pagi tiba.
Matahari menyoroti mata Ratri yang sembab. Ia terbangun dan berlari ke sungai menceburkan diri mengikuti aliran air. Ia terus berusaha mencari anaknya. Akan tetapi, sudah menjelang Maghrib, ia bahkan tak bisa menemukan anaknya. Ratri hanya bisa ikhlas merelakan anaknya. Ratri memutuskan pulang ke rumah orang tuanya. Tapi karena keadaan mentalnya yang terganggu, keluarganya terpaksa membawa Ratri ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa).
**
Empat pemancing dari luar kota, datang ke sungai, dimana anak Ratri hanyut. Mereka memancing dengan asyik. Sedang asyik mengobrol berempat, tiba-tiba mendengar suara tangis bayi.
Karena penasaran, dua pemancing dari mereka mencari asal suara itu. Bayi di bak hitam, mengapung di aliran sungai yang deras ditambah lagi saat itu hujan turun deras. Dua pemancing turun ke sungai, berusaha sekuat tenaga menyelamatkan bayi itu.
Setelah dibawanya, bayi itu berwajah tua, berambut panjang dan bergigi tajam. Karena terkejut, mereka berusaha lari, tapi naas pemancing itu ditarik dengan rambut bayi ke dasar sungai. Dua pemancing yang lain terkejut, matanya melotot melihat kejadian aneh itu, air sungai berubah menjadi merah darah.
Mereka lalu berlari dan berusaha kabur, namun sayang, satu pemancing berhasil ditarik lagi dengan rambut bayi itu dan terpeleset, akhirnya jatuh ke sungai. Satu pemancing lagi berhasil kabur, dan ia segera lapor polisi. Kasus itu segera ditangani polisi. Tapi nyatanya tiga pemancing yang tewas tak ditemukan luka sedikitpun. Tak ada jejak darah di TKP. Rumor yang beredar setelah peristiwa itu, sering terdengar tangisan bayi di sekitaran sungai. Terdengar teriakan orang minta tolong. Terutama saat hujan turun dan aliran sungai menjadi deras.
Baca Juga : Lapangan Tenis Tak Bertuan
Seiring berjalannya waktu, dan tersebarnya cerita itu di kalangan masyarakat, sekarang banyak dari mereka menyebut bayi siluman itu dengan sebutan Bayi Buncul.
Iya adalah anak Ratri, tapi kini jiwanya dikendalikan oleh kekuatan ghaib. Parjo pun meninggal karena membayar nyawa istrinya yang bisa selamat, setelah melahirkan bayi buncul itu. Meski mentalnya terganggu, ia tetap hidup karena nyawa Parjo dan anak didalam kandungan jadi taruhannya. Wanita tua itu adalah roh jahat yang merenggut banyak nyawa, dan menjadikan anak Ratri menjadi siluman.
Penulis : Anissa Putri Nabil
Sobat Milenia yang punya cerita horror, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.
Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.