STEI SEBI Depok Undang Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung Barat Jadi Narasumber Kuliah Tamu Hukum Dagang dan Bisnis Syariah

Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Prodi HES) STEI) SEBI Depok menyelenggarakan kuliah tamu untuk mata kuliah Hukum Dagang dan Bisnis Syariah,  dengan narasumber ahli, Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung Barat, Dr. Nasich Salam Suharto, Lc., LL.M., Sabtu (2/12/2023).  (Foto: Dok STEI SEBI)

Milenianews.com, Depok– Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Prodi HES) Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI Depok menyelenggarakan kuliah tamu untuk mata kuliah Hukum Dagang dan Bisnis Syariah pada Sabtu, 2 Desember 2023, pukul 09.00-12.00 WIB.

Kegiatan dengan tema “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Litigasi di Indonesia” tersebut menghadirkan narasumber ahli, yaitu Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung Barat, Dr. Nasich Salam Suharto, Lc., LL.M. Fokus kajian kuliah tamu ini adalah mengenai kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dengan dimoderatori langsung oleh Ketua Program Studi HES STEI SEBI, Rio Erismen Armen, Ph.D.

Mengawali kuliah, Dr. Nasich menegaskan bahwa keberadaan pengadilan agama di Indonesia dikukuhkan dalam UUD 1945 Pasal 24 (Ayat 2). Pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. “Dengan demikian menurutnya, kedudukan pengadilan agama kuat dan sejajar dengan pengadilan-pengadilan lainnya, sesuai dengan kewenangan masing-masing,” kata Dr. Nasich dalam rilis yang diterima Milenianews.com.

Selanjutnya, narasumber memaparkan isu-isu penting terkait topik pembahasan kuliah tamu, yaitu (1) definisi sengketa ekonomi syariah, (2) dinamika forum litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, (3) ruang lingkup kewenangan pengadilan agama, (4) regulasi peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman penyelesaian sengketa, dan (5) contoh-contoh perkara sengketa ekonomi syariah.

Dalam kaitan pendefinisian ‘sengketa ekonomi syariah’, Dr. Nasich menjelaskannya sebagai ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena ada hak yang terganggu/terlanggar di bidang ekonomi syariah. Menurutnya, definisi tersebut dikemukakan oleh Prof. Amran Suadi, pakar hukum ekonomi syariah dari lingkungan peradilan agama Mahkamah Agung.

Sebagai yang berpengalaman dalam menyidangkan kasus-kasus sengketa ekonomi syariah, Dr. Nasich juga mengungkapkan hal-hal yang berpotensi menimbulkan perselisihan ekonomi syariah, di antaranya sebagaimana berikut:

  1. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian baik syarat subyektif maupun obyektif (Pasal 1320 KUHPerdata) ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut pembatalan akad.
  2. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain karena perbedaan penafsiran diantara para pihak.
  3. Salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan atau wanprestasi, yang dapat berupa (a) tidak melaksanakan prestasi sama sekali; (2) melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya; (3) melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat waktu; (4) melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam akad atau tidak boleh dilaksanakan.
  4. Terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) vide Pasal 1365 KUHPerdata.
  5. Adanya resiko usaha yang mungkin tidak diduga pada saat pembuatan akad,

Berikutnya, Dr. Nasich mengungkapkan bahwa berdasarkan data terbaru yang ada di Mahkamah Agung hingga 2023, tercatat tidak kurang dari 2000 (dua ribu) perkara sengketa agama yang didaftarkan penyelesaiannya ke pengadilan agama. Menurutnya, jumlah tersebut belum termasuk perkara-perkara eksekusi jaminan pembiayaan berdasarkan akad-akad syariah.

Baca Juga : Hamasah dan Prodi Perbankan Syariah STEI SEBI  Gelar Kuliah Umum Perbankan Syariah (KUPAS)  Jilid 2

“Banyaknya perkara sengketa ekonomi syariah menunjukkan bahwa perkembangan transaksi di bidang ini semakin meningkat dan meluas di tengah masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Dalam hal ini, Dr. Nasich menggarisbawahi bahwa forum penyelesaian sengketa ekonomi syariah tersebut terbagi kepada dua, (1) non-litigasi (di luar pengadilan) antara lain melalui perdamaian, mediasi, negosiasi, konsultasi, rekonsiliasi, arbitrase dan lain-lain (Pasal 1 Angka 1 dan 10 UU No. 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016); dan (2) jalur litigasi melalui pengadilan.

Mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi, Dr. Nasich menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus kewenangan pengadilan negeri dalam penyelesaian sengketa dalam Putusan No. 93 Tahun 2012 atas pengujian (judicial review) UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Menurutnya, berdasarkan keputusan tersebut maka pengadilan agama menjadi satu-satunya forum litigasi (pengadilan) untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

“Selanjutnya, berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ruang lingkup kewenangan pengadilan agama mencakup seluruh perkara sengketa ekonomi syariah, antara lain bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reksadana syaria, obligasi syariah (sukuk), dan lain-lainnya,” paparnya.

Banyak pertanyaan yang dikemukakan peserta dalam sesi tanya jawab, mulai upaya menjaga integritas pengadilan agama dan hakim, keterkaitan pengadilan agama dan badan arbitrase syariah dalam memutuskan perkara ekonomi syariah, sengketa pengelolaan dana tabungan haji, hingga penyelesaian kasus penipuan jemaah umrah oleh salah satu perusahaan travel umrah yang sempat mengemuka beberapa tahun lalu. Kuliah tamu secara online ini dihadiri dengan antusias dari kalangan mahasiswa dan dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah STEI SEBI Depok.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *