Milenianews.com, Jakarta – Wacana revisi Undang-Undang Penyiaran kembali mencuat dan bikin publik digital Indonesia waswas. Setelah sempat “tenggelam” sejak draft terakhir disebarluaskan pada 2023, pembahasan RUU Penyiaran kini resmi masuk Prolegnas Prioritas 2025–2029. Salah satu yang paling disorot? Rencana pemerintah mengatur platform digital seperti YouTube, Netflix, hingga media sosial layaknya siaran televisi.
Baca juga: Komisi I DPR RI Janji Selesaikan Segera Pembahasan RUU Penyiaran
Menanggapi isu ini, Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada membuka ruang diskusi lewat forum Difussion #125 bertajuk “Regulasi Penyiaran dan Masa Depan Tata Kelola Platform Digital di Indonesia.” Acara ini menghadirkan para narasumber kunci seperti Tulus Santoso (Komisioner KPI Pusat), Hafil Naufal Rahman (AVISI), dan Engelbertus Wendratama (PR2Media), dengan dipandu Azka Amananda Putri dari CfDS.
Aturan baru terancam cekik kreativitas digital
Salah satu sorotan utama dalam diskusi ini adalah perluasan definisi “penyiaran” yang kini juga menyasar platform digital berbasis user-generated content (UGC) dan layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix atau Prime Video. Padahal, dua jenis media ini punya karakter dan cara distribusi yang jauh berbeda dari televisi konvensional.
“OTT itu kontennya disaring dan on demand. Jadi nggak bisa disamakan dengan YouTube, apalagi TV,” tegas Hafil dari AVISI. Ia juga mengingatkan bahwa layanan OTT justru memberi ruang besar bagi ekonomi kreatif lokal. “Indonesia punya jam nonton OTT tertinggi se-Asia Tenggara, dan 59% user nonton konten lokal,” tambahnya.
Pasal-pasal seperti 50B ayat 2 dan 34F jadi kontroversial karena memberi wewenang KPI untuk menyensor dan memverifikasi konten digital. Hal ini dikhawatirkan bakal mengekang kreativitas konten kreator dan bikin ruang digital makin sempit. Track record KPI pun jadi perhatian. Engelbertus menyoroti bahwa beberapa aturan KPI selama ini dinilai problematik dan bisa memperparah diskriminasi terhadap kelompok rentan.
“Kalau pendekatannya masih kayak TV, ruang digital bisa jadi tempat baru sensor lama,” ujar Engelbertus. Ia mendorong agar Indonesia belajar dari negara-negara Eropa yang lebih fokus pada visibilitas konten lokal dan perlindungan publik, khususnya anak-anak.
Tata kelola digital butuh regulasi yang sinkron
Dalam forum ini, Tulus Santoso mengakui pentingnya menjaga arus informasi yang sehat di era digital. Namun, ia juga menegaskan bahwa regulasi platform digital nggak bisa sekadar tambal sulam dari UU lama.
“Kita butuh aturan yang relevan dengan media digital. Kalau tidak, akan muncul tumpang tindih antar regulasi seperti UU Penyiaran, UU ITE, dan PP,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa sinkronisasi antar regulasi harus jadi prioritas.
Hingga saat ini, draf RUU yang dibahas publik masih versi 2023. Engelbertus mengingatkan bahwa belum ada naskah terbaru yang dipublikasikan, jadi isi final regulasi belum bisa dipastikan. Meski begitu, kekhawatiran publik tetap valid, terutama soal potensi represi terhadap kebebasan berekspresi, khususnya bagi kreator independen.
“RUU ini bukan cuma soal teknis, tapi soal masa depan ruang digital kita,” pungkas Azka sebagai moderator.
Baca juga: RUU Penyiaran Sebagai ‘Topeng’ Pembungkam Pers
Difussion #125 menjadi ruang penting untuk menyuarakan keresahan publik, khususnya generasi muda yang aktif di platform digital. Forum ini mendorong agar tata kelola ruang digital dibentuk lewat kolaborasi, bukan kontrol sepihak. Yang dibutuhkan bukan penyensoran ketat, tapi aturan yang transparan, adil, dan berpihak pada kebebasan sipil.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.