Milenianews.com, Mata Akademisi – Ilmu tafsir Al-Qur’an adalah salah satu dari berbagai disiplin keilmuan lain yang menjadi bagian dari kajian tradisi keilmuan pesantren. Salah satu aspek yang paling penting dari tradisi keilmuan pesantren ialah masalah tafsir Al-Qur’an. Selain menjaga tradisi ilmu pengetahuan Islam menjadi lanjutan dari generasi ke generasi, tradisi ilmu ini juga melahirkan corak penafsiran yang unik dengan bernilai lokal. Pada awal islamisasi di Nusantara, para ulama- ulama lokal selain berdakwah juga banyak yang mengajarkan ilmu – ilmu dasar seperti fikih, akidah, nahwu-sharaf, dan tafsir.
Hal ini memberi indikasi atau pertanda bahwa pesantren telah memainkan peran penting dalam hal menjaga warisan tafsir klasik. Semakin berkembangnya waktu, ilmu tafsir di pesantren juga mengalami perkambangan yang signifikan. Pada masa awal, tafsir dipelajari melalui metode bandongan, Sebagai contoh, kiai membaca kitab, sementara santri menyimak dan mencatat, menekankan transmisi teks dan otoritas ulama. Metode tersebut kemudian tumbuh menjadi menelusuri, syarḥ, atau komentar pinggir, di mana para kiai menjelaskan konteks ayat atau memodifikasi contoh demi contoh agar sesuai dengan budaya lokal.
Baca juga: Sumatera Berduka: Kerusakan Lingkungan sebagai Konsekuensi Moral Peradaban
Pada era modern ini, ada juga karya-karya tafsir Nusantara yang berbeda, seperti Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, yaitu sebuah tafsir yang ditulis dengan bahasa Jawa dalam aksara Pegon, diselesaikan tahun 1960. Oleh karena itu tafsir ini juga menjadi sebuah upaya untuk mentraslasikan dan mengontekstualisasi Al-Qur’an, agar mudah dipahami oleh masyarakat Jawa yang tidak memahami bahasa Arab. Sebagaimana dikutip dari berbagai kajian Ilmiah, tafsir al-Ibriz menggunakan bahasa Jawa yang ditulis atau Pegon dengan makna ghandul, sebagai alat untuk menyelamati Pesantren ilmu”.
Hal-hal yang membuat tafsir pesantren layaknya al-Ibriz mempunyai karakter kuat yaitu; pertama pesantren masih menggunakan kitab-kitab klasik atau turots dan cara belajar klasik serta pola belajar klasik seperti bandongan dan sorogan. Namun pertama, proses belajar di pesantren jelas sangat melindungi tradisi yang telah dijalankan oleh para kiai. Kedua, yang membuat tafsir pesantren terpisah adalah cara penyampaiannya yaitu para kiai secara tradisional menjelaskan tafsir menggunakan bahasa daerah dan tulisan lokal.
Contohnya, dalam Tafsir al-Ibriz KH Bisri Musthofa menggunakan bahasa Jawa dan tulisan Pegon agar santri dan masyarakat Jawa lainnya dapat memahami arti dari ajaranNya. Ilustrasi ini mengindikasikan seberapa dekat tafsir pesantren dengan budaya sendiri. Ketiga, tafsir pesantren tidak hanya fokus pada makna teks semata. Tafsir yang dipelajarkan di pesantren juga biasanya mudah diterapkan pada kehidupan sehari-hari karena ada banyak yang menyangkut akhlak, pergaulan, hukum Islam praktikal ataupun masalah sosial yang dialami masyarakat setempat. Beberapa studi menyatakan bahwasanya KH. Bisri Musthofa dalam tafsirnya sering kali menambahkan elemen-elemen kehidupan budaya Jawa dan kondisi sosial setempat ketika ia menafsirkan ayat-ayat tertentu, sehingga sanitasi kehidupan dalam tafsir dapat terlaksana. Itu artinya, kontribusi pesantren dalam ilmu tafsir bertumbuh besar di Indonesia. Tidak hanya dijaga, dipelihara dan dijelaskan penafsiran klasik-kitab, pesantren juga turut menciptakan penafsiran baru dengan warna budaya lokal.
Al-Ibriz dan karya-karya sejenis menunjukkan bahwa interpretasi Al-Qur’an dapat disampaikan dalam bahasa dan budaya yang akrab dengan populasi yang dituju sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip dasar ilmu tafsir. Juga, ini membuat Al-Qur’an lebih mudah dipahami bagi orang-orang yang tidak berbicara bahasa Arab. Tradisi inilah yang bertanggung jawab atas lahirnya banyak cendekiawan besar Indonesia yang saat di pesantren, menghasilkan karya-karya tafsir yang sangat sesuai dengan pengalaman hidup masyarakat.
Aspek tradisi untuk mempelajari penafsiran Al-Qur’an di pesantren juga menghadapi tantangan di era modern, termasuk: pergeseran kurikulum, modernisasi pendidikan, pergeseran minat santri, dan kebutuhan untuk menangani isu-isu terkini seperti: radikalisme, etika digital, dan dinamika sosial kontemporer. Tantangan ini tentu saja dibayangi oleh potensi yang jauh lebih besar dari tradisi ini untuk (mempersatukan) warisan klasik lama, bahasa lokal, dan pendekatan kontekstual, yang memungkinkan pesantren untuk menghasilkan karya penafsiran yang relevan dengan masa kini.
Sebagai kesimpulan, tradisi komentar di pesantren Indonesia adalah salah satu pilar penting dalam melestarikan, menyampaikan, dan mengembangkan pemahaman Al-Qur’an di nusantara. Sejak awal Islamisasi nusantara hingga saat ini, pesantren telah mampu melestarikan tradisi tafsir klasik dan menjadikannya relevan dengan budaya lokal melalui penggunaan bahasa vernakular lokal, skrip tradisional seperti Pegon, dan pendekatan yang responsif terhadap masalah komunitas.
Berkat para penulis dari pesantren seperti KH Bisri Musthofa, pesantren juga telah melahirkan interpretasi khas Indonesia yang mudah dipahami, aplikatif, dan masih memiliki dasar ilmiah. Meskipun menghadapi tantangan zaman, pesantren memiliki peluang besar untuk terus mengembangkan interpretasi yang relevan dengan menggabungkan warisan klasik dan pendekatan kontekstual. Akibatnya, pesantren telah menjadi tidak hanya penjaga interpretasi tradisional, tetapi juga mesin penting dalam pengembangan pemahaman Islam yang moderat, realistis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Penulis: Aisah Nurlaila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













