Mileninews.com, Jakarta – Baru-baru ini European Commission (EC) selaku badan eksekutif di Uni Eropa menyatakan volume emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia 1,24 Gt CO2e atau setara 2,3 persen dari total emisi global pada tahun 2022. Mendengar laporan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun turun tangan untuk mengkaji data dari hasil laporan terkait volume emisi GRK di Indonesia itu.
Pasalnya, data dari laporan EC tersebut dalam GHG Emissions of All World Countries 2023 menyatakan peningkatan emisi GRK Indonesia telah mencapai 10 persen. Khususnya pada 2022 dibandingkan satu tahun sebelumnya.
“Kami harus tahu metodologi apa yang digunakannya (EC) sehingga dikatakan berkontribusi 2,3 persen. Serta akan disandingkan dengan data dan metodologi yang kami lakukan,” kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi dalam siaran pers yang dikutip Milenianews pada Sabtu (20/7) waktu setempat.
Baca juga: Polusi Udara Jakarta Memburuk, dan Pentingnya Peran Corporate Social Responsibility (CSR)
Ia menjelaskan, Indonesia bukan penyumbang emisi terbesar salah satunya dibuktikan melalui emisi per kapita Indonesia. Hal tersebut jauh lebih kecil dibandingkan negara maju sehingga data EC tersebut tidak seutuhnya akurat.
Bahkan dalam hal ini, lanjutnya, emisi GRK Indonesia terus ditekan dan mengalami pengurangan. Khususnya dalam lima sektor meliputi Energi, Limbah, Proses industri dan penggunaan produk (IPPU), Agrikultur, dan FOLU.
Hasil data pengurangan emisi yang berhasil dikumpulkan KLHK
KLHK mencatat pengurangan emisi Indonesia mencapai 47,3 persen pada 2020. Kemudian 43,8 persen pada 2021, dan 41,6 persen pada 2022 dibandingkan dengan baseline tahunan, yang berada di sekitar target NDC sebesar 43,2 persen.
Hal tersebut dilakukan dengan kerja sama internasional dan jauh melebihi target kapasitas nasional sebesar 31,89 persen. Begitu pun untuk tahun 2023, meski data masih dalam proses verifikasi, dalam waktu dekat akan segera dipublikasikan. Akan tetapi, KHLK meyakini hasilnya akan berbanding lurus dengan capaian penurunan emisi tahun sebelumnya.
“Intervensi juga terus dilakukan termuat dalam RPJMN dan program yang ada. Seperti misalnya transisi energi ke yang lebih berkelanjutan, termasuk penghentian dini PLTU. Serta penguatan sektor kehutanan demi meningkatkan serapan karbon, dan pengendalian sampah penghasil gas metana,” ujar Laksmi.
Dalam upaya ini KLHK menambahkan unsur hidrofluorokarbon atau HFC yang secara umum diproduksi oleh alat pendingin ruangan itu ke dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Hal tersebut dilakukan untuk menekan emisinya dan menghapuskan penggunaannya mulai tahun ini.
Baca juga: Meminimalkan Risiko Polusi dengan Mengkampanyekan Transportasi Umum
Di samping itu, ia menegaskan, upaya pengendalian iklim juga semakin diperkuat dengan dukungan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang telah menginisiasikan pembangunan menara pemantau GRK dua dari enam unit menara yang ditargetkan.
Keberadaan menara pantau GRK tersebut penting dalam keakurasian kebijakan pengendalian iklim karena memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan level kadar karbon perusak ozon utama seperti karbondioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan hidrofluorokarbon.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.