Milenianews.com, Mata Akademisi– Terinspirasi buku Nadzarat fi Risalah al-Ta’alim karya Muhammad Abdullah Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, setidaknya ada tiga peran santri. Pertama, irsyadul mujtama’. Maksudnya, santri berperan membimbing masyarakat.
Misalnya, membimbing masyarakat dalam mengamalkan rukun iman dan rukun Islam. Dalam pelaksanaannya, seseorang harus mempertimbangkan maqashid syari’ah, yakni mashlahah (kebaikan dan harmoni hidup bersama).
Selain itu masyarakat juga harus dibimbing agar beragama secara moderat. Artinya tidak berlebih-lebihan, atau sebaliknya asal-asalan. Secara ideologis, moderasi beragama berarti tidak liberal (bebas tanpa batas) dan radikal (keras tanpa pertimbangan perasaan dan pengetahuan).
Untuk itu masyarakat perlu dibimbing soal beragama secara moderat dengan memperkenalkan tiga dasar utamanya. Pertama, berlaku adil (al-‘adalah). Kedua, berimbang (al-tawazun). Ketiga toleran (al-tasamuh).
Peran santri yang kedua adalah tahrir al-wathan atau membebaskan negeri dari penjajahan bangsa asing. Oleh karena itu santri harus menjadi pribadi yang berdikari, unggul, dan merespons setiap perkembangan dunia yang terus berubah. Dalam konteks ini santri tidak cukup mempersiapkan diri dengan ilmu agama saja. Berbagai ilmu lain, seperti humaniora dan eksakta perlu juga dipelajari.
Kemajuan elektronik dan otomotif yang diraih bangsa-bangsa di dunia harus diimpor filosofinya, bukan hanya didatangkan, dibeli, dan dinikmati produk jadinya. Mudahnya, santri harus berperan dalam membebaskan negeri dari keterjajahan ekonomi (utang dan ketergantungan komoditi), keterjajahan teknologi (elektronik dan otomotif), dan keterjajahan budaya (media sosial dan gaya hidup hedonis).
Ketiga, peran santri adalah ishlah al-hukumah atau ikut serta membenahi pemerintahan, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maka itu santri perlu menyuarakannya dengan masuk partai politik atau lembaga lain yang sah menurut undang-undang.
Ikut serta dalam membenahi pemerintahan, menurut Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah hukumnya wajib berdasar ijma’ (kesepakatan ulama). Maka santri berpeluang jadi presiden, seperti Gus Dur yang santri par exellence, atau jadi menteri, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan jabatan tinggi lainnya.
Imam al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad menyatakan bahwa keteraturan agama sangat tergantung dengan keteraturan negara. Maka itu negara harus dibenahi agar maju, makmur, dan sejahtera sehingga umat beragama yang ada di Indonesia merasa aman dan nyaman beribadah.
Pemikiran seperti inilah yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa “Agama dan negara layaknya saudara kembar.” Sementara tujuan dibenahinya pemerintahan (maksudnya diaturnya negara), meminjam pandangam Imam al-Mawardi adalah menjaga agama dan mengatur urusan dunia (seperti ekonomi, perdagangan, pertanian, dan lainnya).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok
Apa yg ditulis oleh KH Syamsul Yakin semestinya menjadi kepribadian setiap santri di Indonesia.