Tidak Menganggap Remeh

Dr. KH.  Syamsul Yakin MA., Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok (berbaju hijau), seusai berceramah di Masjid Agung Al-Muhajirin, Depok, Ahad (15/10/2023). (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Di dalam magnum-opusnya, yakni kitab Nashaihul Ibad, Syaikh Nawawi mengutip hadits Nabi tanpa menyebut perawi dan muhadditsnya. Nabi bersabda tentang lima perkara yang tidak boleh dianggap remeh. “(Pertama), barangsiapa yang menganggap remeh ulama, maka dia rugi dalam urusan agama. (Kedua), barangsiapa menganggap remeh pemerintah, maka dia rugi dalam urusan dunia.

(Ketiga), barangsiapa menganggap remeh tetangganya, maka dia rugi karena tidak mendapat manfaat apa-apa. (Keempat), barangsiapa menganggap remeh kerabatnya, maka dia rugi karena tidak mendapat kasih sayang mereka. (Kelima), barangsiapa menganggap remeh keluarganya, maka dia rugi karena tidak mendapat penghidupan yang baik”.

Ulama tidak boleh dianggap remeh. Karena Allah justru memuliakan mereka. “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah/58: 11). Di dalam kitab  Tafsir Jalalain disebutkan Allah akan meninggikan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat nanti di surga.

“Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima Pelajaran.” (QS. al-Zumar/39: 9). Pertanyaan ini adalah retoris. Karena tentu tidak sama antara orang berilmu dengan orang bodoh dalam berbagai segi dan dimensi. Tidak sama kedudukannya di dunia dan di akhirat.

Demikian juga pemerintah yang sah tidak boleh dianggap remeh. Karena tugas pemerintah adalah mengatur negara. Seperti  halnya ulama yang bertugas menjaga agama, harus dihormati dan dimuliakan. Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad mengatakan bahwa agama dan negara layaknya saudara kembar. Artinya sama seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Al-Ghazali menyebut paradigma simbiosis untuk hubungan agama dan negara.

Dalam kitab Ihya Ulumudddin, juga dituturkan bahwa keteraturan agama sangat tergantung kepada keteraturan negara. Sedangkan keteraturan negara sangat tergantung   kepada pemimpin yang ditaati. Ini artinya agama dan negara harus dikelola  berdasarkan pendekatan birokratis dan yuridis sekaligus. Hal ini telah dipraktikkan al-Ghazali pada saat beliau ditunjuk sebagai penasihat khalifah Abbasiyah waktu itu.

Kemudian dalam lingkup yang lebih kecil, Nabi berpesan agar tidak meremehkan tetangga, kerabat, dan keluarga. Sebab faktanya, tetangga adalah keluarga terdekat. Sementara kerabat adalah sahabat terdekat. Keluarga sendiri adalah harta paling berharga bagi seorang ayah, ibu, dan anak. Apa artinya kaya kalau tidak punya keluarga. Apa artinya berkeluarga kalau tidak punya tetanggga. Apa artinya punya banyak kenalan kalau tidak punya sahabat dekat.

Sekali lagi tetangga adalah keluarga terdekat yang memberi manfaat. Kerabat adalah sahabat terdekat yang memberi kasih sayang. Keluarga adalah harta berharga yang memberi penghidupan. Bertetangga, berkerabat, dan berkeluarga diatur secara normatif dalam hukum agama dan hukum negara. Karena itu negara harus berfungsi  secara instrumentalistik bagi keteraturan agama. Keterbelahan agama dan negara secara diameteral akan menimbulkan disharmonis belaka.

Penulis: Dr. KH.  Syamsul Yakin MA., Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *