Tekologi Literalis dalam Dunia Digital: Relevansi Pemikiran Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah di Abad 21

Ibn Taimiyyah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Teknologi telah menjadi kekuatan pendorong utama dalam perkembangan manusia.  Abad ke-21 telah menyaksikan kemajuan teknologi yang tak terhitung jumlahnya, membawa manfaat dan tantangan yang signifikan. Dalam beberapa dekade terakhir, internet dan teknologi digital telah merevolusi cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Internet menghubungkan miliaran orang di seluruh dunia menciptakan jaringan sosial yang luas dan menghasilkan pertukaran informasi yang tak terbatas. Perkembangan pesat teknologi ini membawa dampak pada semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang Agama terutama dalam aspek teologi. Di tengah arus informasi yang deras dan tak terkendali, muncul pertanyaan kritis: bagaimana teologi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis dapat mempertahankan keasliannya? Nah, Di sinilah pemikiran teologi literalis yang diusung oleh Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah menemukan relevansinya yang baru.

Baca juga: Tantangan Pemikiran Ibnu Hanbal di Era Modern: Antara Keteguhan Teks dan Dinamika Zaman

Pemikiran Ibn Hanbal menolak rasionalisasi berlebihan

Dalam pemikiran teologi literalis yang dikembangkan oleh Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah berpusat pada penafsiran teks Al-Qur’an dan Hadis, secara harfiah menolak takwil fisolosofis yang dianggap menyimpang dari makna sesungguhnya. Sedangkan Ibn Hanbal sendiri menegaskan prinsip penolakan terhadap rasionalisasi berlebihan dalam teologi yang dapat mengaburkan makna ajaran Islam. Hal ini sangat relevan di era modern di mana banyak aliran pemikiran dan ideologi yang dapat menyesatkan umat Islam dari ajaran yang murni. Ibn Taimiyah dengan gagasannya tentang purifikasi tauhid dan penolakan terhadap bid’ah, memberikan landasan kokoh bagi umat Islam untuk menjaga kemurnian akidah di tengah tantangan globalisasi dan pluralisme yang seringkali mengikis nilai-nilai keislaman.

Selain itu, Ibn Hanbal sebagai tokoh utama mazhab Hanbali, menegaskan bahwa sifat-sifat Allah dalam teks wahyu harus diterima sebagaimana adanya. Hal itu diperkuat oleh prinsip Ibn Taimiyyah melalui penolakannya terhadap metodologi ilmu kalam dan filsafat Yunani. Dimana Prinsip ini bertujuan mempertahankan kemuliaan Islam dari inovasi atau bid’ah dan aliran yang menekankan pentingnya akal dan rasio sebagai sumber utama pengetahuan (rasionalisme yang berlebihan), sehingga hal tersebut membentuk dasar gerakan puritan seperti salafisme kontemporer. Dalam konteks dunia digital, prinsip ini menghadapi tantangan yang kompleks karena arus informasi yang masif memunculkan berbagai penafsiran agama, termasuk yang bercorak liberal, moderat dan radikal, sehingga klaim kebenaran teologi literalis sering dipertanyakan.

Dunia digital memperumit pemahaman agama

Dunia digital abad ke-21 memperumit posisi tersebut karena kemudahan akses informasi justru mengakibatkan penyebaran hoaks, manipulasi teks keagamaan dan kesalahpahaman terkait pemahaman Islam. Perkembangan sains modern seperti teori evolusi, menimbulkan ketegangan dengan pemahaman literal tentang penciptaan alam, sehingga memunculkan kritik terhadap relevansi teologi tradisional. Namun di sisi lain, digitalisasi juga memungkinkan dalam penyebaran pemikiran Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah secara lebih luas dengan banyaknya ulama yang menggunakan platform media sosial dalam menyebarkan dakwah. Misalnya, gerakan salafi wahabi yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kemurnian akidah. Dimana Al-Qur’an, hadis, dan pemahaman Salafus Shalih yang menjadi rujukannya langsung. Hal ini menunjukan adaptasi metode salaf tanpa mengubah isinya.

Pada zaman sekarang yang menjadi tantangan terbesar adalah menghindari hal-hal yang berlebihan yang dapat menghambat dialog antar aliran pemikiran atau menolak perkembangan keilmuan modern secara spekulatif. Sementara itu, cara berpikir tekstual ini juga mempunyai kelemahan. Terlalu kaku dalam beragama bisa membuat kita kesulitan menjawab masalah-masalah baru seperti teknologi AI, uang kripto, atau masalah medis modern yang tidak ada di zaman dulu. Sikap yang terlalu keras juga bisa membuat kita mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat.

Baca juga: Peran Perempuan sebagai Hakim dalam Perspektif Fiqh Islam: Telaah terhadap Madzhab Hanbali

Meskipun demikian, pemikiran teologi Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah tetap relevan di zaman ini sebagai pelindung orisinalitas ajaran Islam, tetapi perlu dikombinasikan dengan pendekatan ajaran yang kritis agar tidak mengakibatkan sikap fanatik dan tertutup. Karena digital bisa menjadi alat yang bermanfaat untuk mempertahankan kemurnian ajaran salafi jika digunakan secara hati-hati. Hal ini beresiko memperkeruh perbedaan jika disampaikan dengan cara yang kaku dan tanpa pertimbangan konteks. Pemikiran teologi Salaf ini, jika dimanfaatkan secara bijak dapat menjadi benteng terhadap penyimpangan agama. Namun sebaliknya jika disampaikan dengan cara yang salah dapat berisiko terhadap perpecahan agama. Pemikiran Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah ini tidak hanya relevan, tetapi juga menjadi solusi bagi berbagai tantangan umat Islam di abad ke-21. Keduanya mengajarkan keteguhan dalam berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang autentik, sekaligus fleksibilitas dalam merespons perubahan zaman melalui ijtihad yang berdasar pada nash yang sahih.

Penulis: Mujiburrahman, Dosen serta Lulu Munawaroh, Nadya Alfariza Ramadhany, Zahra Ghina Gamal, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *