Milenianews.com, Mata Akademisi – Seni merupakan salah satu jalan dakwah yang sangat penting. Karya seni bisa menjadi jalan dakwah yang abadi. Karya seni bisa menjadi sarana dakwah yang abadi, karena dapat menembus waktu (bahkan ratusan hingga ribuan tahun) dan ruang (diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa).
Sejarah mencatat bahwa seni Islami tidak dapat dilepaskan dari dakwah. Penetrasi Islam di Nusantara banyak mengandalkan jalur-jalur kultural, termasuk pendekatan seni dan dialog budaya.
“Para wali yang mendakwahkan Islam di Nusantara sangat memahami kekuatan seni. Mereka berdakwah di antaranya melalui seni dan budaya,” kata Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dalam Kata Pengantar buku Prinsip dan Panduan Umum Seni Islami (sastra Islami, seni musik Islami, seni rupa Islami, film dan teater Islami) yang diterbitkan oleh LSBPI dan bekerja sama dengan Republika Penerbit.
Baca juga: Pendekatan Dakwah: Menemukan Hakikat Kembali dari Dakwah
Dalam buku yang sama, Ketua MUI Bidang Seni dan Budaya Islam, KH Sodikun mengemukakan, “Seni dan budaya menjadi alat diplomasi dan syiar dakwah Islam yang sangat menyentuh hati masyarakat.”
Ma’ruf Amin juga menegaskan bahwa dalam Islam, keindahan seni mesti selaras dengan kebenaran. Sebab, muara nilai Islam adalah ajaran Tauhid, yang bersumber dari yang Maha Indah dan Maha Benar, yakni Allah SWT.
Namun, ia mengingatkan bahwa seni seperti pisau bermata dua. Jika digunakan untuk kebaikan, seni akan menjadi kekuatan yang dahsyat. “Namun, jika digunakan untuk keburukan, seni juga memiliki daya rusak yang sangat besar,” kata Ma’ruf Amin.
Seni yang Menggerakkan
Seni memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati dan pikiran. Contohnya adalah sajak karya Muhammad Iqbal (1877-1938), seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20 dari Pakistan:
Binalah pribadimu demikian hebat dan jayanya
Sehingga sebelum Tuhan menentukan takdir-Nya buatmu
Sudilah Dia bermusyawarah dengan kau dahulu
Apakah kehendakmu yang sebenarnya
Buya HAMKA menegaskan bahwa manusia tidak boleh lari dari takdir, melainkan harus “Menyerbu ke dalam takdir.”
Buya HAMKA merupakan contoh sosok Muslim yang selalu optimis dalam menghadapi kehidupan. Ia menafsirkan Surat Al-Insyirah ayat 5-6, “Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan” dengan pernyataan yang sangat indah dan optimistis: “Untuk setiap satu kesulitan, tersedia banyak kemudahan.”
Inspirasi dari Buya HAMKA
Buya HAMKA (1908-1981) adalah salah satu ulama yang juga berdakwah melalui seni. Selain sebagai ulama, ia juga seorang filsuf dan sastrawan. Ia berkarir sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.
Buya HAMKA telah menulis dan menerbitkan lebih dari 115 buku. Dari buku novel/roman, tasawuf, sejarah, hingga Tafsir Al-Azhar yang sangat fenomenal. Karyanya sudah diterbitkan sejak akhir tahun 1930-an dan hingga kini masih terus dicetak ulang. Buku-bukunya tidak hanya laris di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand.
Buku Tasawuf Modern karya Buya HAMKA merupakan salah satu karya yang sangat baik dalam menggambarkan jiwa tasawuf atau kehidupan sufi, yakni jiwa yang bergerak dan dinamis. Dalam bukunya, Buya HAMKA mengutip pernyataan Junaid Al-Baghdadi yang menyatakan, “Tasawuf adalah berpindah dari akhlak yang buruk ke akhlak yang baik.”
Seorang sufi tidak menempatkan harta di hatinya, melainkan di tangannya. Oleh karena itu, seorang sufi ringan tangan dalam berzakat dan bersedekah. Berdasarkan definisi tasawuf dari Junaid Al-Baghdadi tersebut, semua Sahabat Nabi bisa dikatakan sebagai seorang sufi.