Sekularisasi Ilmu Pengetahuan di Era Digital: Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

sekularisasi ilmu pengetahuan

Milenianews.com, Mata Akademisi — Di era digital saat ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat. Berbagai proses penelitian, pembelajaran, hingga penyebaran informasi tidak lagi sepenuhnya bergantung pada otoritas keagamaan maupun nilai-nilai tradisional. Fenomena ini dikenal sebagai sekularisasi ilmu pengetahuan, yaitu proses pemisahan pengetahuan dari unsur metafisik, spiritual, dan kepercayaan tertentu.

Perkembangan teknologi, khususnya internet dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), turut mengubah pola berpikir masyarakat. Untuk memahami perubahan tersebut secara lebih sistematis, sekularisasi ilmu pengetahuan dapat ditinjau melalui tiga aspek utama dalam filsafat ilmu, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi: Cara Manusia Memahami Realitas di Era Digital

Ontologi membahas tentang “apa yang dianggap ada” atau hakikat realitas. Dalam dunia modern, realitas tidak lagi dipahami sebatas hal-hal fisik, melainkan juga mencakup ruang digital yang kini menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.

Manusia hari ini hidup dalam dua dunia sekaligus, yaitu dunia nyata dan dunia virtual. Identitas di media sosial, transaksi digital, interaksi melalui aplikasi daring, hingga reputasi yang dibangun di ruang digital, semuanya diakui sebagai bentuk realitas baru. Keberadaan ini meskipun tidak berwujud secara fisik, tetapi memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologis manusia.

Fenomena tersebut merupakan konsekuensi dari sekularisasi, di mana realitas semakin dipahami melalui kerangka sains dan teknologi, bukan lagi dikaitkan dengan makna spiritual. Perkembangan kecerdasan buatan juga memunculkan pertanyaan ontologis baru, seperti apakah mesin dapat dianggap sebagai entitas yang memiliki bentuk keberadaan tertentu. Meski tidak memiliki tubuh atau kesadaran seperti manusia, kemampuan AI dalam berpikir, mengambil keputusan, dan menghasilkan karya menjadikan batas antara manusia dan mesin semakin kabur.

Epistemologi: Perubahan Cara Memperoleh Pengetahuan

Epistemologi membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Dalam konteks sekularisasi, pengetahuan semakin didasarkan pada data empiris, bukti ilmiah, dan logika rasional. Di era digital, perubahan epistemologis ini terlihat sangat jelas.

Pada masa lalu, sumber pengetahuan banyak bertumpu pada guru, pemuka agama, atau tokoh masyarakat. Kini, informasi dapat diakses dengan mudah melalui mesin pencari seperti Google hanya dalam hitungan detik. Big data dan algoritma bahkan mampu menganalisis perilaku manusia dan memberikan rekomendasi tertentu.

Namun, kemudahan akses ini tidak selalu diiringi dengan kebenaran informasi. Maraknya media sosial justru mempercepat penyebaran hoaks dan misinformasi. Akibatnya, masyarakat sering mengalami kebingungan dalam membedakan antara pengetahuan ilmiah dan opini pribadi. Selain itu, sekularisasi juga berdampak pada melemahnya otoritas tradisional. Struktur kebenaran yang dahulu terpusat kini menjadi lebih longgar, karena siapa pun dapat memproduksi dan menyebarkan informasi.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Aksiologi: Nilai dan Dampak Penggunaan Ilmu Pengetahuan

Aksiologi membahas tentang tujuan dan nilai penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam proses sekularisasi, ilmu sering dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai. Padahal, dalam praktiknya, penggunaan teknologi selalu membawa konsekuensi moral dan etis.

Teknologi memang memberikan banyak kemudahan, tetapi juga membuka peluang penyalahgunaan. Contohnya adalah teknologi pengeditan wajah yang digunakan untuk membuat deepfake, serta pemanfaatan data pribadi tanpa persetujuan. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu digunakan untuk kepentingan kemanusiaan.

Kehadiran kecerdasan buatan juga menimbulkan berbagai dilema etis. Pertanyaan seperti apakah pekerjaan manusia akan tergantikan oleh mesin, bagaimana menjaga privasi di ruang digital, serta siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan AI menjadi isu penting dalam diskursus aksiologi. Karena dorongan efisiensi dan keuntungan, nilai-nilai moral sering kali terabaikan.

Pada dasarnya, teknologi AI diciptakan untuk membantu manusia, seperti meningkatkan efisiensi kerja dan mempercepat analisis data. Namun, tanpa pertimbangan nilai, teknologi tersebut justru dapat merugikan manusia. Di sinilah peran aksiologi menjadi sangat penting, yaitu memastikan bahwa ilmu pengetahuan digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau teknologis.

Menjaga Nilai Kemanusiaan di Tengah Sekularisasi Ilmu

Sekularisasi ilmu pengetahuan di era digital membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami realitas, memperoleh pengetahuan, dan memanfaatkan teknologi. Realitas kini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga digital. Pengetahuan menjadi lebih terbuka dan berbasis data, namun sekaligus rawan disalahgunakan. Sementara itu, penggunaan teknologi menghadirkan kemudahan sekaligus risiko moral yang tidak kecil.

Oleh karena itu, meskipun sekularisasi membawa kemajuan signifikan, perkembangan ilmu pengetahuan tetap perlu diimbangi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa keseimbangan tersebut, ilmu dan teknologi berpotensi kehilangan orientasi moral dan justru merugikan manusia itu sendiri.

Penulis: Nissa assyifa, Mahasiswa Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *