Mata Akademisi, Milenianews.com – Pendidikan sejatinya bukan sekadar rutinitas mengantar anak ke sekolah atau mengejar angka-angka di rapor. Ia adalah usaha sadar, terencana, dan berkelanjutan yang menjadi fondasi kokoh dalam membentuk karakter, kecerdasan, dan masa depan generasi bangsa. Namun, realita yang kita hadapi sering kali jauh dari harapan. Di balik idealisme itu, kita menyaksikan kegagalan demi kegagalan: mulai dari nilai anak yang terus merosot, semangat belajar yang padam, hingga perilaku yang semakin mengkhawatirkan.
Saat kegagalan tersebut terjadi, tak jarang jari telunjuk langsung diarahkan ke sekolah. Banyak argumen yang dengan mudah menyalahkan sekolah atas ketidakberhasilan dalam proses pendidikan. Argumen seperti “gurunya kurang kompeten”, “gurunya kurang tegas”, “kurikulumnya tidak relevan”, atau “lingkungannya tidak kondusif” begitu sering dilontarkan. Namun, pernahkah kita bertanya lebih jujur: apakah kegagalan pendidikan anak sepenuhnya salah sekolah? Ataukah justru ada tanggung jawab besar yang sedang diabaikan oleh banyak pihak?
Baca juga: Solusi Inovatif Mengatasi Kebosanan dalam Pembelajaran Sejarah Pendidikan Agama Islam
Pendidikan sejatinya adalah proses besar dan kompleks yang tidak bisa ditanggung sendirian oleh sekolah. Ia adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan banyak elemen, mulai dari orang tua, lingkungan, bahkan anak itu sendiri. Sekolah memang menjadi tempat utama dalam pendidikan formal, tetapi karakter, etika, semangat belajar, dan pola pikir anak banyak dibentuk di luar tembok sekolah. Maka, ketika anak “gagal”, menyalahkan guru dan kurikulum saja adalah cara berpikir yang sempit, bahkan tidak adil.
Sekolah Tercekik Tuntutan, Orang Tua Cuci Tangan
Apabila kita lihat realitas pendidikan di Indonesia hari ini, kurikulum silih berganti, sistem evaluasi berubah, sementara tantangan di lapangan justru semakin kompleks. Guru dituntut menjadi pendidik, konselor, bahkan “orang tua cadangan” bagi siswa. Guru juga dituntut menjadi pendidik yang senantiasa mengerti perasaan siswa dan memenuhi ekspektasi orang tua terhadap pendidikan. Namun, adakah dari sebagian siswa dan orang tua yang mengerti perasaan seorang guru? Mungkin hanya sebagian kecil yang menyadarinya.
Faktanya, masih banyak orang tua yang “cuci tangan”, menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan kepada sekolah, seolah rumah bukan tempat belajar kehidupan. Lingkungan sosial pun sering kali justru menjadi ancaman, seperti pergaulan bebas, kekerasan verbal, hingga banjir konten digital negatif yang tanpa kontrol membentuk cara berpikir anak-anak saat ini. Lantas, mungkinkah pendidikan bisa berhasil jika semua pihak berjalan sendiri-sendiri?
Faktanya, pendidikan yang berhasil adalah hasil dari kerja sama yang utuh dan selaras. Sekolah membutuhkan dukungan dari rumah. Guru memerlukan sinergi dengan orang tua agar pendekatan pendidikan tidak bertolak belakang. Anak pun butuh lingkungan sosial yang mendukung pertumbuhan karakter positifnya. Dan yang tak kalah penting, siswa sendiri perlu ditanamkan kesadaran bahwa ia bukan objek pendidikan, melainkan subjek aktif yang memegang kendali atas masa depannya.
Langkah Nyata untuk Menyelamatkan Pendidikan
Lalu, bagaimana kita bisa menyelamatkan wajah pendidikan di negeri ini dari kegagalan demi kegagalan?
- Ubah pola pikir kolektif bahwa pendidikan adalah urusan sekolah semata. Orang tua perlu terlibat lebih dalam, bukan hanya hadir saat pembagian rapor, tetapi hadir dalam kehidupan belajar anak setiap hari.
- Bangun komunikasi yang sehat dan terbuka antara guru dan orang tua. Jangan sampai sekolah dan rumah bicara dalam bahasa yang berbeda.
- Ciptakan lingkungan sosial yang ramah anak dan edukatif. Hal ini dikarenakan sesungguhnya, butuh satu kampung untuk mendidik satu anak.
Lebih dari itu, Indonesia butuh strategi besar dan menyeluruh untuk memastikan setiap anak mendapat hak atas pendidikan yang utuh. Mulai dari penguatan pendidikan karakter di sekolah, pelatihan parenting bagi orang tua, hingga regulasi yang mendorong terbentuknya ekosistem belajar yang aman dan positif. Teknologi pun harus diberdayakan secara bijak sebagai alat kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan siswa, bukan malah menjadi sumber distraksi.
Sudah saatnya kita berhenti mencari kambing hitam setiap kali anak tidak mencapai ekspektasi. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan kegagalannya adalah cermin dari kelalaian bersama. Jika anak-anak kita kehilangan arah, mungkin bukan hanya karena guru yang kurang kompeten dalam mengajar, atau kurikulum sekolah yang tidak sesuai, tetapi karena lengahnya semua elemen yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut.
Baca juga: Integrasi Teknologi dalam Evaluasi PAI untuk Wujudkan Pembelajaran Bermakna dan Berkarakter
Tanpa disadari, semua elemen yang seharusnya terlibat telah membiarkan proses pendidikan berjalan tanpa sinergi. Orang tua sibuk dengan pekerjaan, lingkungan sibuk dengan urusannya sendiri, dan sekolah dibiarkan memikul beban yang seharusnya dibagi bersama. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pegangan yang utuh. Mereka mungkin hadir di ruang kelas, tapi jiwanya tidak pernah benar-benar hadir dalam proses belajar.
Maka, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan, dan mulai membangun kembali pendidikan dengan semangat kolaborasi, cinta, dan kesadaran bahwa masa depan bangsa ini ditentukan oleh seberapa serius kita mau terlibat.
Penulis: Faiz Aswa Nazhan
Instagram: @feez.nazzz
Profil singkat: Mahasiswa semester 8 Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam yang memiliki minat besar dalam bidang pendidikan dan dakwah. Aktif sebagai pemuda masjid dan pengajar di madrasah, serta memiliki keterampilan komunikasi dan public speaking yang baik. Berkomitmen untuk terus belajar dan berkontribusi dalam dunia pendidikan dan dakwah, dengan fokus pada pembinaan generasi muda dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













