Milenianews.com, Mata Akademisi– Inspirasi mengenai astronomi setidaknya terkuak dalam makna ayat di Surat al-Rahman ayat 33, “Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. al-Rahman/55: 33). Seperti pada ayat sebelumnya objek ayat ini adalah jin dan manusia. Allah memberi perintah kepada keduanya.
Pada ayat ini jin disebut lebih dulu ketimbang manusia. Alasannya, menurut al-Zuhaili, karena dalam hal menembus penjuru langit dan bumi jin lebih mampu ketimbang manusia. Berbeda halnya dengan ketika Allah berbicara tentang membuat al-Qur’an, Allah memandang manusia yang lebih mampu.
Misalnya, pada ayat ini, Allah menyebut manusia lebih dulu ketimbang jin, “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Israa/17: 88).
Perintah Allah pada surah al-Rahman ayat 33 di atas, bagi pengarang Tafsir Jalalain adalah perintah yang menunjukkan ketidakmampuan (al-Ta’jiz) bagi jin dan manusia untuk menembus penjuru langit dan bumi. Namun Allah memberi inspirasi untuk menembusnya. Caranya adalah dengan al-Sulthan.
Di dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir fi Dzilalil Qur’an, diksi “al-Sulthan” dimaknai dengan “al-Quwwah” atau kekuatan. Syaikh Nawawi mengartikannya dengan kekuasaan. Sementara al-Maraghi dan al-Zuhaili memaknainya dengan kekuatan dan kekuasaan. Artinya, kekuatan dan kekuasaan untuk menembus penjuru langit berasal dari Allah.
Para penulis buku-buku tafsir yang lain tidak hanya memahami al-Sulthan dengan kekuatan dan kekuasaan. Misalnya, Ibnu Jauzi (wafat 1201 Masehi) dan al-Thabari di dalam tafsir mereka masing-masing memaknainya dengan hujjah atau argumentasi. Sementara al-Samarqandi (wafat 983 Masehi) dalam tafsirnya mengartikan al-Sulthan dengan hujjah dan burhan (bukti).
Pemaknaan seperti inilah yang dianggap bahwa ayat di atas memberi inspirasi bagi ilmu pengetahuan. Hujjah (argumentasi) adalah alasan logis. Burhan (bukti) maksudnya adalah bisa diverifikasi. Jadi hujjah dan burhan memenuhi sebagian dari ciri ilmu yakni logis dan bisa diverifikasi. Untuk menembus penjuru langit dan bumi diperlukan ilmu pengetahuan.
Dalam filsafat ilmu, sebenarnya dibedakan antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu mencakup pengetahuan. Tapi pengetahuan belum tentu mencakup ilmu. Sebab pengetahuan baru disebut ilmu apabila sudah teruji kebenarannya secara ilmiah dan disusun secara sistematis. Informasi mengenai suatu peristiwa lazim disebut pengetahuan. Namun kedua kata ini sering disandingkan jadi ilmu pengetahuan.
Sayangnya Inspirasi tentang angkasa raya yang dapat dijelajahi dengan ilmu pengetahuan ini, bukan orang Islam yang pertama kali membuktikannya. Sejarah mencatat Orville Wright (wafat 1948 Masehi) dan Wilbur Wright (wafat 1912 Masehi) sebagai pembuat pesawat terbang pertama sekaligus orang yang pertama kali terbang.
Sementara pada 1969 Neil Armstrong dan Buzz Aldrin mendarat di bulan dengan menggunakan Apollo. Sekali lagi, Inspirasi tentang astronomi ada di dalam al-Qur’an, sedangkan astronot pertama bukan berasal dari kalangan muslim. Sungguh paradoks.
Kesimpulannya, inilah nikmat berselancar di angkasa di mana Allah menunjukkan cara melakukannya sebagaimana nikmat Allah menundukkan lautan hingga kapal dapat berlayar di atasnya. Layaklah kalau Allah kembali bertanya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. al-Rahman/55: 34).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Dai Lembaga Dakwah Darul Akhyar (LDDA) Kota Depok.