Love Bombing pada Generasi Z: Analisis melalui Teori Atraksi Interpersonal Byrne dan Clore

Milenianews.com, Mata Akademisi – Love bombing adalah fenomena komunikasi interpersonal yang sering terjadi pada Generasi Z, di mana seseorang memberikan perhatian, pujian, dan kasih sayang secara berlebihan di awal hubungan untuk membangun ketertarikan emosional yang cepat dan intens. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan teori atraksi interpersonal yang digagas oleh Byrne dan Clore, yang menyatakan bahwa daya tarik antarpribadi muncul ketika seseorang merasa mendapat penghargaan atau pengalaman positif dari interaksi tersebut.

Teori interpersonal attraction oleh Byrne dan Clore menjelaskan bahwa daya tarik antar individu terbentuk melalui proses reinforcement. Individu cenderung tertarik pada orang yang memberikan pengalaman positif dan menghindari orang yang memberikan pengalaman negatif. Faktor seperti empati, dukungan, dan sikap positif menjadi stimulus yang memperkuat ketertarikan interpersonal.

Baca juga: Analisis Transformasi Pendidikan di Era Digital Menurut Teori Komunikasi Zaenal Mukarom

Pada awal hubungan, pelaku love bombing memberikan reinforcement positif secara berlebihan, seperti perhatian, pujian, dukungan emosional, dan hadiah. Komunikasi verbal dan nonverbal yang intens ini menciptakan ilusi keterhubungan dan keintiman yang cepat, sehingga korban merasa sangat tertarik dan terikat secara emosional. Namun, ketika pelaku tiba-tiba menghentikan semua bentuk komunikasi atau menggunakan perhatian itu sebagai alat manipulasi, korban mengalami reinforcement negatif yang kuat. Hal ini sesuai dengan teori Byrne dan Clore, di mana individu akan menghindari orang yang memberikan pengalaman negative.

Dampak love bombing pada komunikasi interpersonal korban cukup signifikan. Penelitian di Jabodetabek menunjukkan bahwa korban love bombing mengalami perubahan dalam pola komunikasi mereka. Komunikasi dengan orang tua cenderung melakukan dramaturgi (berpura-pura) karena khawatir tidak dipahami atau dihakimi. Komunikasi dengan teman terganggu sementara karena korban merasa tidak nyaman membuka diri. Dalam hubungan baru, muncul trust issue yang membuat komunikasi menjadi lebih berhati-hati dan terhambat. Dampak jangka panjang meliputi penurunan kepercayaan diri, keterpurukan emosional, isolasi sosial, serta pola komunikasi yang tertutup dan penuh kehati-hatian.

Analisis teoritis menunjukkan bahwa love bombing merupakan ilustrasi nyata dari penerapan teori interpersonal attraction Byrne dan Clore. Proses reinforcement positif dan negatif yang terjadi menjelaskan perubahan sikap dan pola komunikasi korban setelah mengalami trauma. Korban cenderung menghindari situasi yang dianggap berpotensi memberikan pengalaman negatif serupa, sesuai dengan mekanisme pembelajaran sosial dalam teori tersebut.

Generasi Z rentan terhadap love bombing karena penggunaan media sosial dan gaya komunikasi digital yang tidak hanya mempercepat, tetapi juga mendistorsi pembentukan hubungan. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari ekosistem media sosial yang menjadi medium utamanya. Platform seperti Instagram, TikTok, dan aplikasi kencan digital menciptakan ruang di mana performativitas afeksi dapat diproduksi dan dipercepat dengan mudah. Fitur seperti chat 24 jam, notifikasi yang terus-menerus, dan budaya “story” yang menuntut keterlibatan konstan memfasilitasi banjir perhatian (reinforcement positif) yang hiper-intens namun sering kali superficial.

Dalam konteks digital ini, teori Byrne dan Clore perlu dilihat melalui lensa ekonomi perhatian digital, di mana “penghargaan” berbentuk likes, komentar pujian, atau balasan chat yang cepat dapat disalahartikan sebagai kedalaman emosional. Pelaku love bombing memanfaatkan logika algoritmik ini di mana interaksi tinggi dianggap sebagai engagement yang positif—untuk menciptakan ilusi kesamaan dan kedekatan. Generasi Z, yang tumbuh dengan validasi digital, mungkin secara tidak sadar menginternalisasi metrik “jumlah perhatian” sebagai ukuran keaslian hubungan, sehingga lebih rentan terjebak dalam siklus reinforcement manipulatif ini sebelum sempat mengevaluasi konsistensi nilai dan ketulusan di baliknya. Teori Byrne dan Clore membantu menjelaskan mengapa mereka mudah tertarik pada komunikasi yang penuh penghargaan, meskipun pada akhirnya berdampak negatif bagi kesehatan psikologis dan batasan interpersonal.

Namun, di balik tindakan yang tampak penuh kasih, love bombing justru dapat menciptakan ketergantungan emosional dan memanipulasi penerima agar memenuhi kebutuhan atau keinginan pelaku. Dampak dari praktik ini sering kali menyebabkan korban mengalami fase liminalitas, yaitu transisi emosional yang membuat mereka merasa bingung, kehilangan arah, dan rentan secara psikologis setelah hubungan berubah atau berakhir. Fase liminalitas yang dialami korban love bombing menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan emosional dan ketidaksesuaian nilai dapat menyebabkan kebingungan dan trauma. Laki-laki cenderung mengalami penurunan harga diri dan kesulitan mempercayai orang lain, sementara perempuan lebih rentan mengalami ketergantungan emosional dan membutuhkan waktu lama untuk membangun kembali kemandirian.

Baca juga: Reaksi Sosial Otomatis Terhadap Media Digital

Untuk memutus siklus love bombing, pemahaman teoritis harus diimbangi dengan pengembangan kompetensi komunikasi interpersonal yang protektif. Literasi emosional yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi, menamai, dan mengatur emosi sendiri serta membaca dinamika hubungan menjadi benteng utama. Korban perlu diajak untuk mengenali tanda-tanda ketidakseimbangan, seperti perasaan terburu-buru, ketergantungan ekstrem pada validasi dari satu pihak, atau kecurigaan bahwa pujian yang diterima tidak sesuai dengan realitas diri. Di sinilah komunikasi asertif berperan krusial sebagai penyeimbang.

Dengan belajar menetapkan batasan (boundary setting) sejak awal, seperti menolak intensitas yang tidak nyaman atau meminta waktu untuk proses mengenal yang wajar, individu dapat menguji konsistensi niat pihak lain. Teori Byrne dan Clore pada akhirnya mengajarkan bahwa hubungan sehat dibangun dari reinforcement positif yang timbal balik dan berkelanjutan, bukan yang sepihak dan meledak-ledak. Oleh karena itu, edukasi bagi Generasi Z harus menekankan bahwa daya tarik interpersonal yang autentik tidak hanya tentang menerima penghargaan, tetapi juga tentang keberanian untuk berkomunikasi secara jujur, menghargai proses, dan memilih hubungan yang memberikan kedamaian (peace) lebih daripada gelombang emosi pasang-surut yang dramatis.

Penulis: Rika Lestari, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *