Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan ilmu pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari proses panjang sekularisasi yang mengubah cara manusia memahami dunia. Seiring berjalannya waktu, pemikiran sekuler membentuk keyakinan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada rasionalitas, pengamatan, dan metode yang dapat diuji. Proses ini muncul melalui perjalanan intelektual panjang sejak era filsafat Yunani hingga revolusi ilmiah abad ke-17. Sekularisasi kemudian mendorong lahirnya gagasan bahwa ilmu harus berdiri di atas fakta objektif tanpa dipengaruhi nilai moral, keyakinan, atau tradisi tertentu. Keyakinan inilah yang kemudian dikenal sebagai pandangan “ilmu bebas nilai”. Namun, perkembangan ilmu dan teknologi modern justru memunculkan banyak persoalan yang membuat gagasan tersebut patut dipertanyakan kembali.
Baca juga: Tantangan Dan Peluasan Islamisasi Di Era Digital
Sejak masa Yunani kuno, para pemikir seperti Thales, Socrates, dan Aristotle mulai menjauh dari penjelasan mitologis dan beralih pada penalaran. Mereka berupaya memahami alam melalui pengamatan dan analisis logis. Meskipun cara berpikir ini belum sepenuhnya sekuler, pendekatan mereka membuka jalan bagi munculnya pemikiran ilmiah. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, manusia sudah memiliki dorongan untuk menjelaskan dunia melalui akal. Namun, pemikiran rasional pada masa klasik belum memiliki metode pengujian yang ketat sehingga perkembangannya terbatas.
Pemikiran rasional mengalami pasang surut hingga akhirnya bangkit kembali pada masa kebangkitan Eropa. Renaissance atau masa kebangkitan membuka ruang bagi manusia untuk mengkaji ulang warisan intelektual klasik dan memandang dunia secara lebih kritis. Sikap ingin tahu yang lebih bebas dari otoritas tradisional memperkuat lahirnya pemikiran sekuler, hingga akhirnya mencapai bentuk yang lebih sistematis pada masa Revolusi Ilmiah. Tokoh seperti Copernicus, Galileo, Kepler, dan Newton menunjukkan bahwa alam dapat dipahami melalui hukum yang mampu diuji dan diprediksi. Penemuan mereka tidak hanya mengubah arah perkembangan sains, tetapi juga menggeser cara masyarakat memandang realitas, dunia tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kekuatan di luar alam, melainkan sebagai sistem yang bekerja sesuai prinsip yang dapat dipelajari manusia.
Pada tahap inilah sekularisasi mulai memiliki dampak besar terhadap cara manusia membangun pengetahuan. Francis Bacon memperkenalkan metode empiris yang menekankan pengalaman dan observasi sistematis. Sementara René Descartes memperkuat dasar rasionalitas dengan pendekatan keraguan metodis. Kombinasi empirisme dan rasionalisme ini membentuk fondasi epistemologis sains modern. Sains kemudian berkembang dengan keyakinan bahwa pengetahuan harus objektif, dapat diuji ulang, dan bebas dari pengaruh eksternal. Keyakinan ini menjadi dasar dari gagasan “ilmu bebas nilai”, sebuah pandangan yang berusaha menempatkan sains sebagai bidang yang netral dan murni faktual.
Namun, seiring perkembangan ilmu, muncul kesadaran bahwa posisi ilmu yang dianggap netral justru menyimpan persoalan. Secara ontologis, sekularisasi menjadikan realitas dipahami hanya dari aspek yang dapat diukur dan diamati. Pendekatan ini memang memperkuat kemampuan sains membaca fenomena fisik, tetapi sekaligus membuat aspek nilai, moral, dan pengalaman manusia yang tidak dapat diukur menjadi terpinggirkan. Ketika realitas dipersempit menjadi hal-hal yang bersifat kuantitatif, maka segala dimensi non-fisik dianggap tidak relevan. Pemahaman seperti ini membentuk kerangka berpikir bahwa nilai tidak memiliki posisi dalam ilmu karena dianggap berada di luar objek kajian ilmiah.
Pada sisi epistemologis, metode ilmiah memang memberikan keandalan dalam menghasilkan temuan yang akurat. Namun, menganggap proses ilmiah benar-benar bebas nilai adalah pandangan yang terlalu sederhana. Pemilihan masalah penelitian, pendekatan metodologis, hingga penafsiran data selalu melibatkan keputusan manusia. Keputusan-keputusan ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial, konteks budaya, dan kepentingan tertentu. Dengan demikian, meskipun sains berusaha objektif, langkah-langkah yang membentuk proses ilmiah tetap tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari nilai.
Masalah menjadi semakin jelas ketika dilihat dari aspek aksiologi. Pandangan bahwa ilmu bebas nilai membuat sains seolah tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap hasil yang dihasilkan. Ilmu menjadi alat yang sangat kuat, tetapi arah penggunaannya ditentukan oleh pihak lain. Ketika ilmu berkembang tanpa mempertimbangkan dampaknya, muncul berbagai persoalan yang hingga kini dirasakan dampaknya. Perkembangan teknologi modern, mulai dari rekayasa genetika, kecerdasan buatan, hingga teknologi militer, membuktikan bahwa fakta ilmiah saja tidak cukup untuk menjamin kebaikan. Tanpa pertimbangan moral, kemajuan justru bisa membawa risiko besar. Situasi ini menunjukkan bahwa memisahkan ilmu dari nilai tidak selalu menghasilkan dampak positif bagi manusia.
Melihat persoalan tersebut, pandangan ilmu bebas nilai tampak tidak sepenuhnya sejalan dengan kenyataan yang terjadi dalam perkembangan ilmu itu sendiri. Sekularisasi memang memberikan ruang bagi sains untuk berkembang lebih bebas, tetapi kebebasan tersebut juga membawa tantangan besar. Pada banyak kasus, masalah modern bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan ilmiah, melainkan oleh ketiadaannya sikap reflektif ketika ilmu diposisikan sebagai sesuatu yang sepenuhnya objektif. Di sinilah pentingnya meninjau kembali bagaimana sekularisasi membentuk cara manusia memahami pengetahuan.
Baca juga: Warisan Ilmu Filsafat Islam Klasik dalam Menghadapi Hoaks
Dalam konteks ini, refleksi menjadi bagian penting agar ilmu tidak hanya berkembang secara teknis, tetapi juga selaras dengan kebutuhan manusia. Pemahaman bahwa nilai tidak perlu dihapus dari proses ilmiah membuka ruang bagi pendekatan yang lebih manusiawi. Objektivitas memang penting, tetapi objek penelitian, pilihan metode, dan dampak riset tetap membutuhkan pertimbangan moral. Dengan memahami bahwa ilmu tidak pernah sepenuhnya terpisah dari nilai, manusia dapat menempatkan pengetahuan dalam posisi yang lebih bertanggung jawab.
Akhirnya, kritik terhadap gagasan ilmu bebas nilai bukan berarti menolak objektivitas ilmiah, tetapi mengingatkan bahwa pengetahuan selalu berada dalam konteks sosial yang lebih luas. Sekularisasi telah membentuk wajah ilmu modern, namun dampaknya juga memperlihatkan bahwa pemisahan yang terlalu tegas antara fakta dan nilai justru melahirkan tantangan baru. Melihat perjalanan tersebut, penting untuk terus menempatkan refleksi, pertimbangan moral, dan kesadaran nilai dalam perkembangan ilmu. Dengan cara itu, ilmu pengetahuan dapat tetap maju tanpa kehilangan orientasi kemanusiaannya.
Penulis: Kholisah Qotrunnada Ahmad, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













